KABARBURSA.COM - Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam menilai penurunan restrukturisasi kredit di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) sebagai pilar penting dalam menjaga daya tahan sektor perbankan Indonesia. Menurutnya, penurunan ini mengindikasikan ketangguhan sektor perbankan Indonesia meskipun menghadapi berbagai tekanan, termasuk pandemi dan ancaman resesi global.
Ecky menekankan bahwa perbankan harus tetap waspada terhadap potensi risiko resesi yang dapat memengaruhi sektor riil, pertumbuhan ekonomi, dan kinerja debitur. Ia juga meminta bank-bank di Indonesia untuk secara berkala melakukan uji ketahanan modal dan likuiditas guna mengantisipasi risiko peningkatan kredit bermasalah. Seperti dalam keterangan di Jakarta, 20 September 2024.
Per Juni 2024, total kredit yang direstrukturisasi BNI turun menjadi Rp38,9 triliun atau 5,4 persen dari total kredit, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Rp74 triliun atau 12 persen pada semester I-2023. Penurunan ini terjadi di berbagai segmen, termasuk korporasi, UMKM, dan sektor konsumer.
Rasio kredit bermasalah (NPL) BNI juga mengalami perbaikan, turun dari 2,5 persen pada tahun 2023 menjadi 2 persen per Juni 2024. Loan at Risk (LaR), yang mencakup NPL dan kredit dengan kolektibilitas 2 serta kredit lancar yang direstrukturisasi, juga menurun dari 16,1 persen menjadi 12,3 persen pada periode yang sama.
Meskipun indikator kualitas aset terus membaik, BNI tetap menjaga pencadangan risiko pada tingkat yang memadai. Rasio biaya kredit (credit cost) pada semester I-2024 tercatat sebesar 1 persen, turun 40 basis poin dibandingkan semester I-2023. Selain itu, Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang dibentuk BNI cukup untuk menghadapi potensi risiko masa depan, dengan rasio pencadangan untuk NPL di level 298 persen dan untuk LaR mencapai 48 persen.
Dengan berbagai langkah ini, BNI diharapkan mampu menjaga stabilitas dan menghadapi tantangan ekonomi ke depan, termasuk potensi risiko kredit dari debitur yang masih berada dalam perhatian khusus.
Catatan Pertumbuhan Kredit
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI mencatat pertumbuhan kredit yang impresif sebesar 11,7 persen secara tahunan (Year on Year/YoY) hingga Juni 2024, mencapai Rp727 triliun. Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan kuartal pertama yang mencatatkan kenaikan 9,6 persen YoY.
Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar, menjelaskan bahwa lonjakan kredit ini didorong oleh ekspansi yang hati-hati namun strategis, terutama pada segmen berisiko rendah seperti korporasi blue chip, baik dari sektor swasta maupun BUMN, kredit konsumer, serta perusahaan anak.
“Pertumbuhan kredit yang akseleratif ini tidak terlepas dari stabilitas perekonomian nasional di tengah gejolak global yang dinamis. Selain itu, lingkungan operasi perbankan juga terus membaik, terutama sejak Bank Indonesia [BI] memberikan insentif berupa pelonggaran kewajiban pemenuhan giro wajib minimum [GWM] dalam rupiah kepada bank yang menyalurkan kredit ke sektor-sektor tertentu. Insentif ini berlaku mulai 1 Juni 2024,” ungkap Royke dalam konferensi pers virtual, Kamis 22 Agustus 2024.
BI memperluas cakupan sektor prioritas kebijakan likuiditas makroprudensial (KLM), yang kini mencakup sektor otomotif, perdagangan, listrik, gas, air, serta jasa sosial, ekonomi kreatif, dan pembiayaan hijau. Sektor-sektor ini melengkapi sektor hilirisasi minerba, perumahan, dan pariwisata yang sudah lebih dulu diprioritaskan.
Dengan adanya insentif ini, perbankan memperoleh tambahan likuiditas yang dapat dioptimalkan untuk menyalurkan kredit lebih luas ke masyarakat.
Bagi BNI, insentif ini juga membawa dampak positif pada biaya dana (Cost of Fund/CoF) yang mulai menunjukkan perbaikan pada kuartal II 2024. Hal ini memberikan momentum bagi BNI untuk memperbaiki struktur Dana Pihak Ketiga (DPK).
Pada semester I 2024, BNI berhasil menyalurkan kredit (bank only) sebesar Rp171 triliun, meningkat 48 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kredit ini mayoritas disalurkan kepada korporasi blue chip, baik swasta maupun BUMN. Tiga sektor ekonomi dengan penyaluran kredit terbesar adalah perdagangan, energi, dan manufaktur.
Namun, Royke juga menekankan bahwa secara keseluruhan, permintaan kredit masih cukup baik di seluruh sektor ekonomi. “Ekspansi kredit kami fokuskan pada debitur top tier di setiap industri dan regional, serta mengoptimalkan bisnis dari ekosistem debitur. Hal ini mendorong pertumbuhan kredit di segmen lain, termasuk konsumer yang tumbuh hingga 15,1 persen YoY,” pungkas Royke.
PT BNI Multifinance (BNI Finance), anak usaha PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI, mencatatkan kinerja cemerlang sepanjang Semester I-2024. Di sektor pembiayaan, BNI Finance berhasil membukukan pembiayaan sebesar Rp2,89 triliun, melonjak 216 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp915 miliar.
Kinerja gemilang ini juga tercermin dari lonjakan total aset yang dimiliki BNI Finance. Total aset perseroan naik drastis 240 persen, dari Rp1,60 triliun pada Semester I-2023 menjadi Rp5,45 triliun di Semester I-2024. Dengan pencapaian tersebut, BNI Finance kini telah naik kelas menjadi perusahaan multifinance dengan aset dalam kisaran Rp5-10 triliun.
Digitalisasi BNI dan Keberlanjutan
BNI melanjutkan fokus pada pertumbuhan digital banking melalui BNI Mobile Banking, yang kini menjadi Super Apps Ecosystem. Pengguna BNI Mobile Banking mencapai 16,9 juta pada kuartal I-2024, tumbuh 18,5 persen YoY. Nilai transaksi mencapai Rp347 triliun, meningkat 35,9 persen YoY, dan jumlah transaksi tumbuh 54,9 persen YoY menjadi 318 juta.
BNI Mobile Banking menyediakan berbagai solusi finansial untuk kebutuhan harian, manajemen kekayaan, gaya hidup digital, pinjaman digital, kartu kredit, serta layanan bernilai tambah lainnya. BNI terus memperluas layanan digital untuk memenuhi kebutuhan nasabah di era perbankan digital, mendukung pencapaian tujuan keuangan mereka.
Direktur Risk Management, David Pirzada, menegaskan komitmen BNI dalam keberlanjutan. BNI telah menetapkan target Net Zero Emission (NZE) untuk aktivitas operasional pada 2028 dan pembiayaan pada 2060, serta mendorong berbagai inisiatif operasional dan pembiayaan.
Penyaluran kredit hijau BNI tumbuh rata-rata 23 persen per tahun (CAGR), mencapai Rp67,4 triliun pada akhir Maret 2024, meningkat dari Rp29,5 triliun pada akhir Desember 2020. Kredit hijau ini mencakup 14,2 persen dari total wholesale loan, meningkat dari 7,8 persen pada Desember 2020.
Contoh signifikan termasuk pembiayaan akuisisi Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap senilai Rp1,6 triliun, serta penyaluran green bond sebesar Rp5 triliun untuk sektor energi terbarukan, transportasi ramah lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam. Melalui green bond, BNI berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca, produksi energi bersih, penghematan energi, dan daur ulang limbah.
BNI juga menerapkan Sustainability Linked Loan (SLL) untuk mendorong prinsip ESG dan transisi energi debitur. Hingga akhir Maret 2024, BNI telah menyalurkan SLL senilai Rp4,9 triliun kepada perusahaan-perusahaan terkemuka di sektor semen, baja, dan agroindustri. BNI berhasil mempertahankan Rating A dari MSCI dan Rating Medium Risk dari Sustainalytics dengan skor 21,4, menegaskan komitmennya dalam keuangan berkelanjutan.(*)