Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN menghadirkan pekerjaan rumah besar bagi DPR RI dan pemerintah. Tantangannya adalah merumuskan regulasi yang mampu menjembatani dua logika yang kerap bertentangan: orientasi keuntungan dan mandat negara sebagai agent of development yang dijalankan BUMN.
Pernyataan itu disampaikan Anggota Komisi VI DPR RI, Gde Sumarjaya Linggih, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi VI bersama pakar hukum Prof. Dr. Mailinda Eka Yuniza (UGM), Prof. Dr. I Gede Widhiana Suarda (Universitas Jember), dan Prof. Rudy Lukman (Universitas Lampung), di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta.
“Ini memang susah-susah gampang membuat undang-undang ini. Satu pihak terkait undang-undang PT yang profit-oriented, sementara BUMN adalah agent of development yang benefit-oriented. Persoalannya, bagaimana menyeimbangkan antara bicara profit dan bicara benefit,” ujar Demer, sapaan akrabnya.
Ia mencontohkan pembangunan Nusa Dua oleh ITDC. Sejak era 1970-an, kawasan itu tidak pernah menguntungkan bila dihitung murni dari sisi investasi. Namun, manfaat ekonomi dan statusnya sebagai ikon pariwisata menjadikan Bali bertumbuh pesat. “Kalau dihitung dengan business judgment rule, ini nggak pernah untung. Tapi dari sisi benefit, Bali tidak akan seperti sekarang,” katanya.
Fenomena itu, lanjutnya, adalah bukti nyata tujuan pembangunan kerap melampaui logika profit semata. Transformasi kawasan Nusa Dua memperlihatkan bagaimana mandat pembangunan BUMN mampu memberi dampak luas bagi ekonomi daerah.
Demer juga menyinggung dilema hukum korporasi, khususnya penerapan business judgment rule (BJR). Menurutnya, BJR memberi ruang bagi direksi untuk mengambil keputusan bisnis tanpa takut langsung dipidana ketika hasilnya rugi, selama dilakukan dengan itikad baik. Namun, aparat penegak hukum di Indonesia kerap memakai pendekatan result-oriented, menjadikan kerugian sebagai pintu masuk penyelidikan pidana. Perlindungan BJR pun belum sepenuhnya efektif bagi pejabat BUMN.
Lebih jauh, Demer menguraikan lima alasan pendirian BUMN: alasan keamanan (security reason), penugasan khusus seperti penyediaan pangan, riset dan pengembangan yang belum menghasilkan profit, pembangunan daerah tertinggal, serta proyek raksasa yang mustahil dijalankan swasta (too big for private party), misalnya infrastruktur pelabuhan dan fasilitas publik.
“Kalau kita kejar profit terus, berat juga bagi negara yang sedang berkembang. BUMN sangat diperlukan sebagai pemacu pertumbuhan,” tegasnya.
Atas dasar itu, ia menilai revisi UU BUMN harus merumuskan kriteria jelas untuk membedakan aktivitas yang layak mendapat perlakuan khusus—misalnya mandat publik, subsidi, atau perlindungan hukum bagi pengambil keputusan—dengan aktivitas komersial yang wajib tunduk pada aturan pasar dan akuntabilitas korporat.
Menurut Demer, tantangan utamanya adalah menyusun formula yang dapat memberi ruang bagi BUMN menjalankan mandat publik, tanpa membuat pejabatnya rentan kriminalisasi akibat keputusan bisnis yang berujung kerugian. “Ini PR yang luar biasa. Semoga dalam perjalanan kita bisa menemukan formula yang menggabungkan profit dan benefit, antara undang-undang PT dan penugasan sebagai agent of development,” ucapnya.
Menutup pernyataan, ia menegaskan bahwa keberhasilan revisi bergantung pada kemampuan seluruh pihak menemukan formula hukum yang mampu mengharmoniskan tujuan pembangunan nasional dengan tata kelola korporasi yang sehat. “Kita sama-sama punya PR ini bersama para profesor, semoga kita temukan formula terbaik yang menyatukan profit dan benefit,” pungkas politisi Fraksi Partai Golkar tersebut.(*)