KABARBURSA.COM – Revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang mengubah struktur kelembagaan menjadi Badan Pengelola (BP) BUMN dan menetapkan Danantara sebagai pengendali ekonomis korporasi pelat merah, menuai sorotan luas dari kalangan ekonom.
Di satu sisi, langkah ini dianggap sebagai terobosan menuju tata kelola yang lebih profesional. Namun di sisi lain, banyak pihak mengingatkan bahwa efektivitasnya akan bergantung pada sejauh mana pengawasan dan transparansi dapat dijalankan secara konsisten.
Ekonom dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN), Achmad Nur Hidayat menilai bahwa revisi ini adalah momentum penting untuk menata ulang relasi antara negara sebagai pemilik, regulator, dan operator bisnis. “Revisi ini baru akan efektif jika BP BUMN benar-benar berfungsi sebagai regulator yang independen, bukan sekadar perpanjangan tangan politik,” ujar Achmad dalam keterangan tertulis, Selasa, 7 Oktober 2025.
Menurutnya, pemisahan peran antara BP BUMN dan Danantara bisa menjadi solusi atas dualisme yang selama ini menghambat efisiensi. Namun ia menegaskan, desain kelembagaan yang ideal harus diikuti dengan guardrail yang tegas, termasuk larangan rangkap jabatan, kontrak Public Service Obligation (PSO) yang transparan, serta profesionalisasi dewan komisaris yang berbasis kompetensi. Tanpa itu, perubahan kelembagaan hanya akan memindahkan masalah lama ke struktur baru.
“Kalau peraturan dijalankan setengah hati, maka reformasi ini hanya kosmetik. Kuncinya bukan pada nama lembaganya, tetapi pada kualitas pengawasan dan integritas pelaksanaannya,” lanjut Achmad.
Revisi UU BUMN sendiri menghapus model lama di mana Kementerian BUMN berperan ganda sebagai regulator dan pengelola ekonomi. Kini, BP BUMN akan fokus pada pengaturan, standardisasi tata kelola, dan pengawasan kinerja korporasi, sedangkan Danantara bertindak sebagai entitas holding yang mengendalikan portofolio, pembiayaan strategis, serta rotasi aset BUMN lintas sektor.
Konstruksi baru ini dirancang agar pengambilan keputusan bisnis menjadi lebih cepat, terukur, dan bebas intervensi politik. Namun, para pengamat mengingatkan potensi trade-off yakni semakin terpusat kekuasaan ekonomi negara di satu entitas, semakin tinggi pula risiko konsentrasi kewenangan tanpa akuntabilitas yang memadai.
Secara makro, desain kelembagaan ini diharapkan memperkuat daya saing BUMN sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi, sekaligus mengurangi beban fiskal negara dari penugasan sosial yang tidak efisien. Dengan garis peran yang jelas, proyek strategis seperti infrastruktur, energi, hingga digitalisasi layanan publik diharapkan dapat dikelola dengan pendekatan korporasi yang lebih profesional.
Meski demikian, ia menekankan bahwa guardrails kelembagaan harus segera diimplementasikan. Salah satunya adalah larangan rangkap jabatan bagi pejabat pemerintah yang duduk di kursi komisaris. Langkah ini dinilai krusial untuk menghindari conflict of interest dan memperkuat kepercayaan pasar terhadap tata kelola BUMN.
Di sisi lain, penataan dewan komisaris menjadi tantangan tersendiri. Penunjukan berbasis afiliasi politik selama ini telah menurunkan efektivitas pengawasan dan menciptakan ketimpangan dalam proses pengambilan keputusan. Karena itu, reformasi kelembagaan harus disertai pembentukan komite nominasi independen yang menilai kandidat berdasarkan kompetensi dan rekam jejak, bukan kedekatan politik.
Achmad menambahkan bahwa publik juga perlu mendapat akses terhadap laporan portofolio tiap holding agar kinerja BUMN dapat dinilai secara objektif. “Transparansi portofolio per holding dan pelaporan IRR proyek akan menjadi indikator nyata apakah reformasi ini berhasil atau tidak,” katanya.
Jika langkah-langkah tersebut dijalankan konsisten, reformasi tata kelola BUMN berpotensi menjadi titik balik yang mengubah perusahaan negara dari beban fiskal menjadi penggerak utama ekonomi nasional. Namun tanpa disiplin transparansi dan akuntabilitas, desain baru ini hanya akan menambah satu lapisan birokrasi di atas masalah lama.(*)