KABARBURSA.COM - Bursa Efek Indonesia (BEI) mengambil langkah tegas dengan menghentikan sementara perdagangan enam saham di Pasar Reguler dan Pasar Tunai.
Enam emiten yang terkena suspensi itu ialah PT Danasupra Erapacific Tbk (DEFI), PT Era Graharealty Tbk (IPAC), PT Indonesia Pondasi Raya Tbk (IDPR), PT Samator Indo Gas Tbk (AGII), PT Royaltama Mulia Kontraktorindo Tbk (RMKO), serta PT Multi Makmur Lemindo Tbk (PIPA).
Dalam pengumuman resminya, BEI menegaskan bahwa penghentian sementara perdagangan keenam saham tersebut berlaku mulai sesi I pada 7 Oktober 2025 hingga adanya pengumuman lanjutan. Langkah ini diambil sebagai respons atas lonjakan dan penurunan ekstrem—auto reject atas (ARA) dan auto reject bawah (ARB)—yang terjadi secara beruntun. Bursa menilai perlu adanya masa pendinginan (cooling down) demi menjaga stabilitas pasar dan melindungi investor.
Saham IPAC kembali disuspensi setelah terus mencatat ARA sejak 23 September, hampir dua pekan berturut-turut. Pada perdagangan Senin 6 Oktober 2025, harga IPAC naik 10 persen ke level Rp330 di papan akselerasi.
Saham IDPR menunjukkan penguatan impresif selama hampir sebulan, menanjak 156,20 persen. Pada hari yang sama, saham ini kembali menembus ARA dengan kenaikan 24,50 persen ke harga Rp630.
Sementara AGII berada di jalur hijau sejak pekan lalu, menorehkan dua kali ARA berturut-turut. Saham emiten gas industri ini melesat 24,80 persen ke posisi Rp1.560.
RMKO juga mencuri perhatian, melompat 34,72 persen ke Rp260 setelah sebelumnya sempat tertekan selama dua hari.
Saham PIPA tak kalah agresif. Sejak awal Oktober, harga terus mendaki dengan rata-rata kenaikan 24 persen per hari. Pada Senin (6/10/2025), saham ini melonjak 25 persen ke Rp625.
Berbanding terbalik, DEFI justru terpuruk di zona merah sejak 23 September. Saham ini mengalami auto reject bawah (ARB) beruntun di papan FCA, terkoreksi 9,52 persen hingga menyentuh Rp171.
Langkah suspensi ini menjadi sinyal bahwa otoritas pasar modal terus waspada terhadap gejolak ekstrem di lantai bursa, menjaga agar euforia maupun kepanikan tak berbalik menjadi risiko sistemik.(*)