KABARBURSA.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) bicara soal deflasi yang terjadi di Indonesia selama lima bulan berturut-turut.
Menurut dia, deflasi bisa terjadi karena dua hal, pertama penurunan harga yang terjadi karena pasokan dan distribusi bahan pokok yang baik. Dan, kedua, deflasi juga bisa terjadi karena adanya daya beli yang berkurang.
Dia menekankan, harus dicari tahu di antara dua hal tersebut mana yang jadi penyebab deflasi untuk melihat apakah deflasi menjadi alarm bahaya atau justru keuntungan buat masyarakat.
“Coba dicek betul deflasi itu karena penurunan harga-harga barang, karena pasokannya baik, karena distribusinya baik, karena transportasi enggak ada hambatan. Atau karena memang ada daya beli yang berkurang,” kata Jokowi di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, Minggu, 6 Oktober 2024.
Namun dia menekankan, pengendalian harga, baik deflasi maupun inflasi harus bisa dikendalikan dengan baik. Hal ini dilakukan agar semua pihak tetap mendapatkan keuntungan.
Di sisi produsen dan distributor tetap bisa mendapatkan untung usaha, di sisi konsumen bisa mendapatkan suatu barang dengan harga terjangkau.
“Apapun yang namanya deflasi maupun inflasi itu memang dua-duanya harus dikendalikan, sehingga harga stabil tidak merugikan produsen, petani, nelayan, UMKM, dan pabrikan. Tapi harganya terjangkau oleh konsumen, tidak naik,” ujar Jokowi.
Kata Jokowi, secara tahunan Indonesia masih mengalami inflasi 1,8 persen, artinya harga di pasar tetap terjaga dengan seimbang. Menurutnya, pengendalian keseimbangan harga memang menjadi pekerjaan rumah pemerintah saat ini, dan hal itu tidak mudah untuk dilakukan.
“Menjaga keseimbangan itu yang tidak mudah dan kita akan berusaha terus,” ucapnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada September 2024 kembali terjadi deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan. Secara rinci terjadi penurunan indeks harga konsumen dari 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93 pada September 2024. Ini merupakan deflasi berturut-turut dalam lima bulan terakhir.
BPS juga mencatat secara year on year (yoy) terjadi inflasi 1,84 persen dan secara year to date (ytd) inflasi nasional mencapai 0,74 persen.
Sektor Ritel Terkena Dampak Deflasi
Emiten di sektor ritel dinilai bakal mengalami dampak signifikan setelah BPS melaporkan adanya deflasi yang melanda Indonesia pada September 2024. Laporan tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa penurunan harga secara keseluruhan dapat memengaruhi daya beli konsumen, terutama di sektor ritel.
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Abdul Azis Setyo Wibowo mengatakan kondisi deflasi yang terjadi pada bulan September lalu memiliki potensi besar untuk mempengaruhi emiten-emiten ritel, terutama yang berfokus pada segmen menengah ke bawah.
Menurut Azis, ada dua kemungkinan dampak yang akan terjadi. Pertama, emiten yang bergerak di segmen menengah ke bawah berpotensi merasakan penurunan pendapatan akibat melemahnya daya beli konsumen. Deflasi sering kali diikuti oleh perilaku konsumen yang menunda pembelian, mengharapkan harga turun lebih lanjut, yang pada akhirnya mengganggu permintaan di pasar ritel.
“Emiten retail yang cenderung segmen kelas menengah kebawah terkena dampak,” kata dia kepada Kabar Bursa, Sabtu, 5 Oktober 2024.
Sedangkan untuk emiten ritel segmen menengah ke atas, lanjut Aziz, cenderung akan lebih stabil menghadi kondisi deflasi.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, menyebut deflasi pada September 2024 terlihat lebih dalam jika dibandingkan bulan sebelumnya. Adapun kelompok pengeluaran deflasi terbesar adalah makanan, minuman, dan tembakau dengan deflasi sebesar 0,59 persen dan memberikan andil deflasi sebesar 0,17 persen.
Amalia menuturkan, deflasi pada September 2024 didorong oleh komponen bergejolak dan harga diatur pemerintah. Komponen harga bergejolak mengalami deflasi sebesar 1,34 persen.
“Komoditas yang dominan memberikan andil deflasi adalah cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, daging ayam ras, dan tomat,” ujar Amalia saat konferensi pers, Selasa, 1 Oktober 2024.
Sementara komponen harga diatur pemerintahan, lanjut Amalia, mengalami deflasi sebesar 0,04 persen dengan andil deflasi sebesar 0,01 persen. Adapun komoditas yang berandil memberikan deflasi pada komponen harga diatur pemerintah adalah bensin.
“Sebanyak 24 dari 38 provinsi Indonesia mengalami deflasi sedangkan 14 lainnya mengalami inflasi. Deflasi terdalam sebesar 0,92 persen terjadi di Papua barat sementara inflasi tertinggi terjadi di Maluku utara sebesar 0,56 persen,” jelas Amalia.
Kinerja Saham Ritel
Pada Jumat, 4 Oktober 2024, sejumlah saham ritel menutup perdagangan dengan catatan yang kurang memuaskan. Beberapa emiten ritel berada di zona merah pada penutupan perdagangan kemarin.
Mengutip RTI Business, PT Mitra Adi Perkasa (MAPI) misalnya, yang ditutup melemah di level 1655 atau turun -75 poin atau -4,34 persen.
Pun dengan PT Aspirasi Hidup Indonesia (ACES) yang menutup perdagangan dengan bertengger di posisi 860 atau turun sebanyak -1,71 persen.
Sementara itu PT Erajaya Swasembada (ERAA) mengalami kondisi serupa dengan menempati level 436 atau turun -18 poin.
Namun di sisi lain, terdapat pula saham ritel yang menutup perdagangan akhir pekan ini dengan berada di zona hijau. Seperti PT Hero Supermarket (HERO) yang berada di level 660, naik +5 poin atau +0,76 persen.
PT Midi Utama Indonesia (MIDI) juga menutup perdagangan di zona hijau setelah menempati level 454 atau naik sebesar +10 poin (+2,25 persen).
Sebelum diumumkannya deflasi lima bulan beruntun ini, emiten ritel sejatinya baru mendapat angin setelah suku bunga acuan dipangkas Bank Indonesia. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.