Logo
>

RI Siap Beli Produk AS hingga Rp318 Triliun

Nilai pembelian produk dari AS yang direncanakan pemerintah berkisar antara USD18 miliar hingga USD19 miliar atau sekitar Rp318,6 triliun dengan asumsi kurs Rp16.770 per dolar AS.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
RI Siap Beli Produk AS hingga Rp318 Triliun
Ilustrasi hubungan dagang antara Amerika Serikat dengan Indonesia. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia menyatakan kesiapannya untuk membantu memangkas defisit neraca dagang Amerika Serikat terhadap Indonesia dengan cara melakukan pembelian produk asal Negeri Paman Sam. 

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengungkapkan pemerintah Indonesia berjanji akan melakukan pembelian produk.

    Untuk diketahui, nilai pembelian produk dari AS yang direncanakan pemerintah berkisar antara USD18 miliar hingga USD19 miliar atau sekitar Rp318,6 triliun dengan asumsi kurs Rp16.770 per dolar AS.

    "Indonesia akan beli barang dari Amerika sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Senilainya (defisit negara) mendekati,” tutur Airlangga dalam konferensi pers, Perkembangan dan Persiapan Pertemuan dengan Pemerintah Amerika Serikat Terkait Tarif Perdagangan, Senin 14 April 2025.

    Menurutnya, transaksi ini bukan semata-mata untuk meredakan ketegangan akibat kebijakan tarif resiprokal AS, melainkan juga demi menyeimbangkan hubungan dagang kedua negara.

    “Indonesia akan beli barang dari Amerika sesuai dengan kebutuhan Indonesia,” ujar Airlangga.

    Meski belum merinci secara detail komoditas apa saja yang akan dibeli dalam kerangka negosiasi dengan Amerika Serikat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa komoditas yang diimpor Indonesia mayoritas berasal dari sektor pertanian atau agri-culture.

    Adapun sebagian besar komoditas pertanian yang diimpor Indonesia dari Amerika Serikat, seperti kedelai dan gandum, sebenarnya sudah dikenakan tarif nol persen.

    Ia juga menambahkan bahwa untuk komoditas lain seperti kapas, tarif maksimal yang diberlakukan hanya sebesar 5 persen. 

    “Dan agri-culture komoditas kan kedelai (soya bean) dan gandum (wheat). sebetulnya tarifnya nol. Jadi kapas, jadi itu sebetulnya maksimum dengan Amerika kita punya tarif 5 persen. Jadi yang kita import, tarifnya 5 persen,” terangnya. 

    Karena tarif impor sudah sangat rendah atau bahkan mendekati nol, menurutnya pihak Amerika kini lebih fokus pada hambatan non-tarif dalam perdagangan.

    “Jadi kita keluarkan yang selesai kita keluarkan dalam paket-paket. Nanti kita akan, karena itu banyak. Ada tarif, ada PPN, ada non-tarif. Jadi itu menjadi bagian dari negosiasi,” papar Airlangga.

    Sementara untuk sektor energi seperti LNG dan LPG menjadi salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan. 

    Namun, ia menegaskan bahwa pembelian ini tidak serta-merta dalam bentuk impor langsung, melainkan akan disesuaikan dengan skema dan kebutuhan nasional yang tengah dibahas dalam kerangka negosiasi.

    “Untuk LNG-LPG ada tonnya berapa yang mau di… Kita belum bicarakan,” jelasnya.

    Hubungan Dagang AS-Indonesia

    Pada tahun 2024, hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Indonesia menunjukkan dinamika yang menarik dan semakin intensif. Berdasarkan data terbaru, impor barang Amerika Serikat dari Indonesia mencapai angka sebesar 28,1 miliar dolar AS.

    Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 4,8 persen atau setara dengan 1,3 miliar dolar dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini mencerminkan adanya permintaan yang stabil, bahkan cenderung meningkat, terhadap produk-produk buatan Indonesia di pasar Amerika.

    Namun, di balik tren ekspor yang positif bagi Indonesia, terdapat fakta lain yang patut dicermati: Amerika Serikat mengalami defisit perdagangan barang dengan Indonesia yang cukup besar. Defisit ini tercatat sebesar 17,9 miliar dolar AS pada tahun 2024, meningkat 5,4 persen atau sekitar 923 juta dolar dibandingkan dengan tahun 2023. 

    Ini berarti bahwa Amerika Serikat mengimpor jauh lebih banyak barang dari Indonesia dibandingkan dengan yang diekspornya ke negara tersebut. Defisit perdagangan ini pada dasarnya menggambarkan kondisi di mana neraca perdagangan Amerika dengan Indonesia terus berada dalam posisi negatif.

    Defisit perdagangan seperti ini bukan hal baru dalam hubungan bilateral kedua negara. Fenomena tersebut mencerminkan bahwa produk-produk Indonesia memiliki daya saing yang kuat di pasar Amerika, mulai dari produk manufaktur hingga komoditas agrikultur. 

    Dari sektor pertanian misalnya, Indonesia terus memperkuat posisinya sebagai pemasok utama berbagai produk unggulan ke Negeri Paman Sam. Kopi, minyak kelapa sawit, dan kakao menjadi komoditas utama yang diekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Bahkan pada tahun 2023, total ekspor produk pertanian Indonesia ke Amerika mencapai sekitar 215,5 juta dolar AS.

    Dalam kerangka ekonomi makro, defisit neraca perdagangan suatu negara tidak selalu buruk, namun tetap harus dikelola secara hati-hati. Dalam kasus Amerika Serikat, defisit ini berarti negara tersebut harus menutup kekurangan dalam neraca barang dengan surplus di bagian lain neraca pembayaran, yaitu dari arus masuk modal atau investasi asing. Artinya, untuk membiayai defisit ini, Amerika menerima investasi atau melakukan pinjaman dari luar negeri, termasuk dari negara-negara mitra dagangnya seperti Indonesia.

    Secara lebih luas, situasi ini menandakan hubungan ekonomi yang saling bergantung. Indonesia mendapatkan keuntungan dari sisi ekspor dan peningkatan pendapatan devisa, sementara Amerika Serikat mengandalkan ketersediaan produk-produk berkualitas dengan harga kompetitif dari pasar global, termasuk dari Indonesia. 

    Ke depan, menjaga keseimbangan ini menjadi tantangan penting, baik dalam konteks memperkuat hubungan bilateral maupun dalam menciptakan perdagangan internasional yang adil dan berkelanjutan.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.