Logo
>

Risiko dari Defisit APBN yang bakal Dirasakan Indonesia

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Risiko dari Defisit APBN yang bakal Dirasakan Indonesia

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Defisit APBN yang diwariskan Jokowi kepada pemerintah mendatang, Prabowo Subianto, dikhawatirkan akan menyebabkan menurunnya pendapatan negara, termasuk pendapatan dari pajak.

    Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM INDEF Eisha Rachbini memaparkan bahwa akar masalah defisit tidak hanya terletak pada ketidakseimbangan belanja dan penerimaan, tetapi juga pada ketergantungan terhadap utang.

    Menurut dia, defisit APBN yang melebar selama pemerintahan Jokowi disebabkan oleh struktur APBN yang rusak. Ketika belanja negara terus melambung sementara penerimaan negara stagnan, pemerintah terpaksa menutup celah dengan utang.

    “Akar dari kenapa menyimpang defisit, biasanya dari struktur dan komposisi APBN, didalami lagi. Apakah defisit APBN dikarenakan pembelanjaaan lebih besar dari penerimaan? Maka untuk membiayai operasional diperoleh dari utang,” kata Eisha Rachbini dalam diskusi virtual yang bertajuk ‘Warisan Hutang Jokowi dan Prospek Pemerintahan Prabowo’, kemarin.

    Adapun data menunjukkan bahwa defisit fiskal selama periode 2015-2023 semakin melebar. Selisih antara penerimaan dan pengeluaran negara melebar, terutama selama pandemi COVID-19, dengan defisit mencapai minus 2,8 persen.

    Meskipun angka ini masih di bawah batas 3 persen yang ditetapkan Undang-Undang (UU) Keuangan, Eisha menekankan bahwa kedekatannya dengan batas tersebut menunjukkan kurangnya ruang fiskal yang memadai.

    “Tapi jika dekat sekali dengan 3 persen maka implikasinya kita jadi tidak punya ruang fiskal yang memadai dan rentan alami shock, berisiko untuk ke depan. Contohnya kemarin, ketika tibat-tiba ada pandemi COVID,” jelasnya.

    Penerimaan pajak yang semakin menurun menjadi salah satu indikasi krisis fiskal yang lebih dalam. Eisha mengungkapkan, sejak 2015, realisasi penerimaan pajak selalu kalah dari target, kecuali pada 2021-2023.

    Peningkatan pada periode ini lebih karena lonjakan harga komoditas global, bukan karena reformasi struktural yang efektif. “Ya, karena itu tertolong dari harga komoditas dunia yang sedang booming akibat geopolitik,” tuturnya.

    Lebih lanjut dia mengatakan, penurunan penerimaan pajak sangat jelas terjadi pada sektor perdagangan dan pertambangan. Eisha mencatat, penerimaan dari sektor perdagangan merosot karena daya beli masyarakat melemah dan sektor pertambangan menghadapi penurunan tajam akibat harga komoditas mineral yang jatuh.

    “Penerimaan yang jauh menurun terjadi pada sektor pertambangan, dan harga komoditas mineral yang semakin menurun," katanya.

    Bahkan, PPh Badan mengalami penurunan drastis karena pertumbuhan negatif di sektor korporasi. “Pada sisi penerimaan PPh Badan alami penurunan pertumbuhan yang drastis karena korporasi saat ini alami pertumbuhan negatif,” ungkapnya.

    Selain itu, rasio pajak terhadap Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) juga terus menurun. Meski ada upaya harmonisasi pajak pada 2021, dampaknya sangat minimal, dan rasio kepatuhan pajak tetap stagnan di sekitar 70-80 persen.

    “Dibandingkan dengan negara lain, segi rasio penerimaan pajak kita yang hanya 10.9 persen amat tertinggal jauh dibandingkan Malaysia, Filipina, Vietnam, apalagi China dan Jepang,” ungkap Eisha.

    Sedangkan dari sisi neraca belanja, hal keseimbangan primer terlihat bahwa belanja pemerintah pusat masih didominasi oleh pembayaran utang. Ada juga belanja pegawai, sementara belanja modal maih rendah dan turun terus.

    Sementara, lanjut Eisha, utang yang diambil pemerintah tidak produktif karena dilihat komponen belanja modal, untuk membiayai belanja modal hanya sedikit. Digunakan bukan pada sektor produktif seperti akumulasi barang modal dan teknologi.

    “Komponen belanja hanya besar di belanja pegawai atau barang. jadi hal-hal itu tidak bisa mendorong produktivitas di jangka panjang,” terangnya.

    Meskipun rasio utang terhadap GDP Indonesia masih berada di bawah 60 persen, proporsi utang jangka panjang mencakup 90 persen, sementara utang jangka pendek hanya sekitar 1 persen. Hal ini menunjukkan ketergantungan yang ekstrem pada utang jangka panjang.

    Selain itu, Eisha menyoroti bahwa bunga utang Indonesia yang sangat tinggi dibandingkan negara-negara lain.

    Meskipun rasio pajak terhadap GDP Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lain, yield imbal hasil obligasi Indonesia mencapai 7,2 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara seperti Singapura atau Vietnam.

    “Singapura hanya 3,2 persen, Vietnam dan thailand 2,7 persen. Itu menunjukkan bahwa bunga yang kita harus bayar pasti lebih besar dari negara lain,” pungkasnya.

    Ancaman bagi Stabilitas Pasar Modal?

    Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas menilai, kenaikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat menimbulkan kekhawatiran di pasar modal.

    Dampak dari kenaikan ini sangat bergantung pada beberapa faktor, termasuk alasan di balik kenaikan defisit, kebijakan pemerintah, dan kondisi pasar global saat ini.

    “Kenaikan defisit APBN memang berpotensi menimbulkan kekhawatiran di pasar modal,” ujar Sukarno kepada Kabar Bursa, Senin, 19 Agustus 2024.

    Lanjutnya menurut Sukarno, defisit yang membengkak mengindikasikan bahwa pemerintah perlu menambah utang untuk menutupi pengeluaran. Peningkatan beban utang ini berpotensi menjadi beban jangka panjang bagi negara dan dapat meningkatkan risiko gagal bayar di masa depan.

    Namun, dalam beberapa tahun terakhir, belum terlihat tanda-tanda signifikan menuju kondisi tersebut, dan ekonomi negara masih dinilai cukup kuat.

    Penting untuk terus memantau perkembangan kebijakan pemerintah dan situasi pasar global guna memahami sepenuhnya dampak dari kenaikan defisit APBN terhadap stabilitas ekonomi dan pasar modal.

    “Tapi dalam beberapa tahun ini sepertinya belum ada tanda arah ke situ dan ekonomi masih dinilai masih kuat,” imbuhnya.

    Selain soal meningkatnya defisit APBN, dalam upaya menghadapi krisis ekonomi global, pemerintah Indonesia menerapkan strategi stimulus fiskal besar-besaran sebagai counter-cyclical policy.

    Namun Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menilai, langkah tersebut membawa risiko signifikan terkait dengan lonjakan utang pemerintah yang dapat berdampak negatif pada stabilitas ekonomi.

    “Dalam paradigma mainstream yang sangat pro-kreditor (investor) namun abai terhadap kondisi debitur,” ujar Yusuf kepada Kabar Bursa, Senin, 19 Agustus 2024.

    “Pembayaran bunga utang terus mendapat prioritas tertinggi di atas biaya kemampuan negara yang semakin melemah untuk melakukan stimulus fiskal dan perlindungan sosial kepada rakyat,” tambahnya.

    Strategi stimulus yang melibatkan tambahan utang besar berpotensi mengancam prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

    Yusuf juga memperingatkan bahwa lonjakan utang publik yang tidak terkendali bisa memicu tekanan inflasi dan merusak fungsi intermediasi keuangan dari sektor perbankan. Selain itu, belanja publik yang semakin tidak pro-poor juga memperburuk situasi.

    “Agar setiap rezim bertanggung jawab secara fiskal dan mencegah time-inconsistency dari preferensi pemerintah, maka banyak negara menerapkan fiscal rule untuk menahan tingkat utang pemerintah, sesuatu yang telah diadopsi kita pasca-krisis 1997,” jelasnya.

    Ia pun mengungkapkan bahwa defisit anggaran yang mendekati batas 3 persen dari PDB ini menunjukkan adanya potensi risiko signifikan terhadap stabilitas fiskal negara. Menurutnya, meskipun anggaran tersebut masih di bawah ambang batas yang diizinkan, tren ini tidak mencerminkan pendekatan yang hati-hati dalam pengelolaan fiskal.

    “Defisit anggaran hingga 2,53 persen dari PDB menunjukkan adanya potensi ketidakstabilan, terutama jika melihat kondisi makroekonomi saat ini,” kata Yusuf.

    Yusuf juga menyoroti bahwa pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto tengah dihadapkan pada berbagai program prioritas yang memerlukan alokasi dana besar. Program-program ini mencakup pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), program Makan Bergizi Gratis (MBG), serta rencana pembentukan kementerian atau lembaga baru yang akan membutuhkan pembiayaan signifikan.

    Selain itu, Yusuf mengingatkan bahwa APBN 2025 berpotensi mengalami perubahan melalui mekanisme APBN-P, yang dapat menyebabkan defisit anggaran melebihi 3 persen dari PDB. Jika hal ini terjadi, maka dampaknya bisa lebih luas dan berpotensi menekan stabilitas fiskal secara keseluruhan. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.