Logo
>

Risiko Resesi AS Turun 20 Persen, Data Ekonomi Kembali Segar

Ditulis oleh KabarBursa.com
Risiko Resesi AS Turun 20 Persen, Data Ekonomi Kembali Segar

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Para ekonom dari Goldman Sachs Group Inc telah mengurangi estimasi risiko resesi di Amerika Serikat dalam setahun ke depan menjadi 20 persen, menurun dari sebelumnya 25 persen. Penurunan prediksi ini didorong oleh data penjualan ritel dan klaim pengangguran yang dirilis minggu ini.

    Menurut laporan yang disampaikan oleh Jan Hatzius dan timnya kepada klien pada Sabtu 17 Agustus 2024, jika laporan pekerjaan untuk bulan Agustus, yang dijadwalkan rilis pada 6 September, menunjukkan hasil yang positif, kemungkinan resesi bisa dipangkas lebih lanjut menjadi 15 persen. Ini merupakan revisi dari angka yang bertahan hampir setahun sebelum perubahan terakhir pada 2 Agustus.

    Serangkaian data yang mengindikasikan ketahanan ekonomi AS telah mendorong pasar saham mencapai minggu terbaiknya tahun ini. Investor yang membeli saham saat harga turun (dip buyers) muncul setelah penurunan baru-baru ini. Penjualan ritel pada bulan Juli mengalami kenaikan yang signifikan, tertinggi sejak awal 2023. Sementara itu, jumlah klaim tunjangan pengangguran mencapai level terendah sejak awal Juli.

    Goldman Sachs juga menilai bahwa kemungkinan besar Federal Reserve (The Fed) akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan kebijakan September mendatang. Namun, jika terjadi penurunan signifikan dalam lapangan kerja pada 6 September, penurunan suku bunga hingga 50 basis poin masih bisa terjadi.

    Inflasi yang melambung tinggi—tertinggi sejak dekade 1980-an—telah menimbulkan kecemasan di kalangan banyak orang. Banyak warga Amerika kini terpaksa mengurangi perjalanan dengan mobil untuk menghemat bensin, menghindari produk organik, dan memburu diskon untuk menghemat beberapa dolar.

    Ada kabar lebih mengecewakan lagi. Pasar perumahan yang pernah meroket kini melambat, menjadikan ekuitas yang tertanam dalam sektor properti penuh ketidakpastian.

    Indeks S&P 500 pun terdampak. Sepanjang tahun ini, indeks tersebut merosot 19 persen, menghapus triliunan dolar dari nilai pasar—membuat para investor, dari pemula hingga pensiunan, merasa cemas.

    Namun, mungkin resesi yang dirasakan saat ini hanyalah perasaan semata. Lembaga pemerintah terkait yang bertugas mengumumkan status resesi belum memberikan pernyataan resmi.

    Dalam kondisi pertumbuhan ekonomi, rata-rata warga negara akan merasa sedikit lebih kaya karena nilai Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat. Namun, resesi didefinisikan sebagai penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut. Umumnya, ini menandakan kondisi ekonomi yang buruk dan dapat memicu PHK massal.

    PDB Amerika Serikat mengalami penurunan berturut-turut sebesar 1,6 persen pada kuartal pertama 2022 lalu dan 0,6 persen pada kuartal berikutnya. Bagi beberapa negara, ini bisa berarti resesi, namun tidak demikian di AS.

    Secara resmi, status resesi diumumkan oleh Business Cycle Dating Committee—sebuah badan yang kurang dikenal yang terdiri dari delapan ekonom yang ditunjuk oleh Biro Nasional Riset Ekonomi, sebuah organisasi non-profit. Hingga kini, komite ini belum mengumumkan adanya resesi di AS.

    Dampak Suku Bunga Tinggi pada Ekonomi AS

    Untuk mengendalikan inflasi, Federal Reserve (The Fed) telah menaikkan suku bunga. Dengan mempersulit pinjaman uang, diharapkan orang akan mengurangi pengeluaran dan meningkatkan tabungan. Penurunan permintaan konsumen diharapkan dapat menurunkan harga barang dan jasa yang melonjak, meski ini memerlukan waktu.

    Meskipun harga bahan bakar baru-baru ini menurun, biaya makanan dan sewa properti terus merangkak naik, menarik perhatian tajam dari bank sentral AS. The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga jangka pendek sebanyak tiga per empat poin untuk ketiga kalinya secara berturut-turut pada pertemuan terakhirnya, mengangkat suku bunga acuannya ke level tertinggi dalam 14 tahun, antara 3 persen hingga 3,25 persen.

    Namun, langkah ini berpotensi memicu risiko, seperti terhambatnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya tingkat pengangguran—sebuah kekhawatiran yang melatarbelakangi ketakutan akan resesi.

    Apakah Soft Landing Masih Mungkin?

    Meski berbagai peringatan menambah kekhawatiran, sebagian pihak optimis bahwa "soft landing"—perlambatan ekonomi yang moderat tanpa gejolak besar—masih mungkin terjadi. Dalam skenario ini, pertumbuhan ekonomi melambat tanpa penurunan drastis.

    Optimisme ini didukung oleh pasar kerja AS yang tetap kuat. Sebanyak 315.000 pekerjaan baru tercipta pada bulan Agustus lalu. Menurut Gubernur The Fed, Christopher Waller, ini bukanlah indikasi kemerosotan ekonomi.

    Dalam pidatonya di Wina, Waller menepis kekhawatiran resesi dan menyatakan bahwa kekuatan pasar tenaga kerja AS memberikan fleksibilitas untuk melawan inflasi secara agresif. Fed berkomitmen untuk mempertahankan suku bunga tinggi demi menurunkan inflasi.

    Namun, dengan bank sentral yang tampak bulat tekadnya dalam menurunkan harga, proses ini mungkin tidak akan mulus. Jika suku bunga terlalu tinggi, resesi dapat terjadi. Sebaliknya, jika kenaikan terlalu kecil, inflasi mungkin akan terus melambung. Raphael Bostic, Presiden Federal Reserve Bank of Atlanta, mengakui kompleksitas proses ini dan menyebut soft landing sebagai "sangat sulit dilakukan." (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi