KABARBURSA.COM - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai bahwa regulasi baru yang melarang penjualan rokok secara eceran, khususnya di warung-warung kecil, tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap pola konsumsi masyarakat.
Meski ada kemungkinan sedikit penurunan daya beli konsumen, Tauhid berpendapat bahwa pengaruh aturan ini akan minimal karena rokok termasuk barang inelastis artinya, perubahan harga tidak banyak memengaruhi konsumsi.
“Menurut saya, konsumsi akan tetap tinggi. Hanya saja, pedagang kecil akan mencari rokok dengan harga lebih murah. Misalnya, rokok dengan ukuran bungkus 16 batang yang biasanya seharga Rp20.000-Rp30.000, mungkin akan dijual dalam kemasan 12 batang dengan harga lebih rendah,” jelas Tauhid saat dihubungi, Kamis 1 Agustus 2024
Namun, Tauhid juga menyoroti bahwa peraturan ini bisa memengaruhi daya beli masyarakat, terutama di kalangan peminat rokok dari golongan menengah ke bawah.
Presiden Jokowi baru-baru ini menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 17/2023 tentang Kesehatan, yang mencakup larangan penjualan rokok eceran pada Pasal 434. Selain itu, pemerintah juga melarang penjualan rokok baik tembakau maupun elektrik—dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta melalui situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi, mengkritik RPP Kesehatan yang tengah dibahas, dengan menyebutkan bahwa aturan tersebut terlalu banyak membatasi produsen rokok.
Benny Wahyudi mengingatkan bahwa rokok merupakan penyumbang signifikan bagi penerimaan negara melalui cukai. Dia meminta pemerintah untuk meninjau ulang atau membatalkan tambahan ketentuan tersebut. “Kita melihat perlu adanya pembatalan atau pengkajian ulang. Pasal-pasal yang terlalu umum berpotensi menyebabkan kesalahan dalam implementasi penjualan rokok, yang merupakan kontributor utama dalam pajak kita,” kata Benny.
Benny juga mengungkapkan kekhawatiran mengenai potensi meningkatnya peredaran rokok ilegal akibat peraturan yang ketat. Data Gaprindo menunjukkan bahwa produksi rokok ilegal pada 2020 telah melebihi 15 miliar batang, sementara produksi rokok putih pada 2023 turun menjadi kurang dari 10 miliar batang. Cukai rokok berkontribusi 10 persen-20 persen terhadap pendapatan negara, atau hampir Rp220 triliun.
Di sisi lain, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mengungkapkan adanya potensi kenaikan tarif cukai rokok pada 2025. Dirjen Bea dan Cukai, Askolani, menyebutkan bahwa pihaknya telah mendapatkan persetujuan untuk menyesuaikan tarif cukai dan akan terus melakukan intensifikasi Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2025.
“Kami sudah mendapatkan persetujuan untuk menyesuaikan tarif cukai pada 2025 dan akan melanjutkan intensifikasi CHT,” kata Askolani di kompleks DPR RI, awal Juni. Besaran penyesuaian tarif akan dibahas dan dimasukkan ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, dengan penetapan yang direncanakan pada Agustus mendatang.
Tanggapan Larangan Rokok Eceran
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, memberikan tanggapan terkait Peraturan Pemerintah (PP) Kesehatan Nomor 28 Tahun 2024. PP ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya mengenai larangan penjualan rokok secara eceran yang tercantum dalam Pasal 434 PP 23 Tahun 2024.
Prof. Hasbullah menyambut baik penerbitan PP ini dan mengucapkan terima kasih kepada pemerintah. Namun, ia menegaskan bahwa tujuan utama para aktivis pengendalian konsumsi rokok bukanlah untuk menghapuskan tembakau secara total. “Kami telah lama berjuang untuk mengatasi masalah ini. Dalam konferensi pers virtual pada Rabu 31 Juli 2024, kami menggarisbawahi pentingnya perlindungan terhadap anak-anak dan penduduk miskin. Meskipun tidak semua elemen dalam regulasi ini sesuai dengan harapan kita, kami tetap menghargai langkah ini.”
Hasbullah juga mengapresiasi aturan yang melarang penjualan rokok, baik tembakau maupun elektronik, dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak-anak, serta batas usia perokok yang ditetapkan pada usia 21 tahun. Ia menilai regulasi mengenai lingkungan sekolah dan zonasi ini sebagai langkah positif. “Kami sangat menghargai keputusan pemerintah yang menyetujui batas usia perokok. Ini adalah langkah yang patut diapresiasi,” ungkapnya.
Sumarjati Arjoso, Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI), juga menyambut baik PP Kesehatan No. 28 Tahun 2024 ini. Menurutnya, regulasi ini bisa mewujudkan cita-cita generasi emas 2045. “Terima kasih kepada Presiden Jokowi yang meski sibuk dengan IKN, masih sempat menandatangani aturan ini pada 26 Juli. Jumat berkah,” ujar Sumarjati.
Namun, Sumarjati menekankan perlunya pengawasan yang lebih ketat di lapangan. “Walaupun ada larangan penjualan rokok eceran, kita masih menghadapi tantangan dalam penegakan di lapangan. Kepatuhan masih rendah, hanya 35 persen, dan sering kali sulit untuk mengawasi penjualan eceran di jalan atau gang. Hal ini berpotensi memicu pembelian oleh orang tua untuk anak-anak mereka,” jelasnya.
Dia juga menceritakan pengalamannya dalam penelitian mengenai pengendalian stunting pada remaja, di mana banyak remaja yang tidak mendapatkan makan malam karena keluarganya lebih memilih membeli rokok. “Keluarga malah lebih memilih membeli rokok daripada makanan, ini sangat memprihatinkan. Kita harus menghadapi tantangan ini dengan tegas untuk mengurangi dampak negatif rokok dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat,” tambahnya.
Menurutnya, meskipun pengendalian rokok dapat mengurangi penyakit menular seperti stroke, jantung, dan kanker, masih ada kekurangan dalam kualitas hidup dan produktivitas yang dapat mempengaruhi generasi muda. “Pengendalian rokok harus lebih efektif untuk mengurangi dampak kesehatan,” tegasnya.
Ia juga berpendapat bahwa iklan rokok sebaiknya dihilangkan sepenuhnya. “Kami ingin iklan rokok benar-benar dihapuskan, namun saat ini industri rokok masih aktif dengan sponsor iklan, meskipun jam tayangnya sudah dikurangi. Kami berharap ada tindakan yang lebih tegas,” tutupnya. (*)