KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia kembali melakukan pembaruan kebijakan tarif royalti sektor pertambangan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2025.
Kebijakan ini menggantikan PP No. 26 Tahun 2022, dengan tujuan untuk meningkatkan kontribusi sektor mineral terhadap penerimaan negara sekaligus menciptakan skema yang lebih adaptif terhadap fluktuasi harga komoditas global. Selain itu, memberikan struktur tarif yang lebih progresif terhadap tiga komoditas utama: emas, bijih tembaga, konsentrat tembaga, dan katoda tembaga.
Tarif Royalti Emas: Progresif hingga 16 Persen
Salah satu perubahan paling mencolok terjadi pada tarif royalti emas. Sebelumnya, tarif dihitung berdasarkan sembilan rentang harga HMA (Harga Mineral Acuan) emas dalam USD per troy ounce (TOz), dimulai dari tarif 3,75 persen untuk harga di bawah USD1.300/TOz dan meningkat secara bertahap hingga 10 persen untuk harga di atas USD2.000/TOz.
Dalam aturan baru, PP No. 19/2025 menyederhanakan struktur tersebut menjadi tujuh rentang harga yang lebih terfokus pada kisaran harga emas yang lebih tinggi. Tarif royalti kini dimulai dari 7 persen untuk harga emas di bawah USD 1.800/TOz, dan terus meningkat secara progresif hingga mencapai puncaknya sebesar 16 persen untuk harga emas di atas USD3.000/TOz. Ini menunjukkan bahwa ketika harga emas dunia tinggi, kontribusi perusahaan tambang kepada negara juga akan semakin besar.
Berikut struktur tarif baru:
- USD1.800 –
- USD2.000 –
- USD2.200 –
- USD2.500 –
- USD2.700 –
- ≥ USD3.000: 16 persen
Bijih Tembaga: Dari Tarif Flat ke Progresif
Perubahan besar juga terjadi pada tarif royalti untuk bijih tembaga. Jika sebelumnya hanya dikenakan tarif tetap sebesar 5%, kini diatur secara bertingkat sesuai dengan harga acuan (HMA) dalam USD per dry metric ton (DMT).
Tarif baru adalah sebagai berikut:
- USD7.000 –
- USD8.500 –
- ≥ USD10.000: 17 persen
Kenaikan ini cukup signifikan, terutama jika harga tembaga melampaui USD10.000/DMT, yang menyebabkan lonjakan royalti hingga 17 persen. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mendorong hilirisasi, karena bahan mentah seperti bijih tembaga dikenakan tarif yang lebih tinggi dibandingkan produk olahan.
Konsentrat Tembaga: Kenaikan Bertahap
Untuk konsentrat tembaga, sebelumnya berlaku tarif flat sebesar 4%. PP terbaru menetapkan struktur tarif baru yang lebih adaptif:
- USD7.000 –
- USD8.500 –
- ≥ USD10.000: 10 persen
Dengan kenaikan tarif ini, pemerintah mendorong industri untuk terus meningkatkan nilai tambah produk tambang dan menyesuaikan beban royalti berdasarkan kondisi pasar.
Katoda Tembaga: Tarif Tetap Paling Rendah, Tapi Naik
Komoditas katoda tembaga, yang merupakan produk olahan dengan nilai tambah tinggi, sebelumnya hanya dikenai tarif flat 2%. Namun, dalam regulasi baru, tarif ini dinaikkan menjadi:
- USD7.000 –
- USD8.500 –
- ≥ USD10.000: 7 persen
Meskipun mengalami kenaikan, tarif royalti katoda tembaga tetap merupakan yang paling rendah dibandingkan bentuk produk tembaga lainnya. Ini menjadi insentif bagi perusahaan tambang untuk memprioritaskan hilirisasi dan industrialisasi dalam negeri.
Skema royalti baru ini menggambarkan arah kebijakan pemerintah yang semakin menekankan pada optimalisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan serta penguatan rantai nilai domestik melalui hilirisasi. Tarif yang lebih tinggi untuk produk mentah dan lebih rendah untuk produk olahan menunjukkan dorongan kuat bagi perusahaan untuk mengembangkan kapasitas pengolahan mineral di dalam negeri.
Selain itu, pendekatan berbasis harga pasar memungkinkan skema royalti yang lebih adil, baik bagi negara maupun pelaku industri. Ketika harga komoditas rendah, tarif yang dibayarkan relatif lebih kecil. Namun, saat harga melonjak, negara bisa mengamankan pendapatan yang lebih besar dari sektor ini.
Dengan langkah ini, pemerintah tidak hanya menyesuaikan kebijakan terhadap dinamika pasar global, tetapi juga mengarahkan pembangunan ekonomi nasional menuju model yang lebih berkelanjutan dan berdaya saing tinggi.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun mayoritas komoditas mineral mengalami kenaikan tarif royalti, beberapa perubahan signifikan terjadi pada komoditas feronikel dan nickel matte. Sebelumnya, tarif royalti untuk feronikel direncanakan berada pada rentang 5-7 persen, dan untuk nickel matte sekitar 4,5-6 persen.
Namun, dalam regulasi final, tarif royalti untuk feronikel dipangkas menjadi 4-6 persen, sedangkan untuk nickel matte menjadi 3,5-5,5 persen. Penyesuaian tarif ini tentunya berdampak pada strategi dan operasional perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam produksi kedua komoditas tersebut, seperti Vale Indonesia (INCO), Trimegah Bangun Persada (NCKL), Aneka Tambang (ANTM), Bumi Resources Minerals (BRMS), dan Amman Mineral Internasional (AMMN).
Selain itu, belum ada kejelasan terkait pajak royalti untuk perusahaan tambang batu bara yang beroperasi dengan kontrak PKP2B dan IUP. Hal ini mungkin menimbulkan ketidakpastian bagi para pelaku industri batu bara yang belum sepenuhnya terpengaruh oleh perubahan regulasi ini.
Namun, bagi produsen batu bara dengan IUPK, penyesuaian tarif royalti dipandang sebagai langkah positif yang dapat mendukung kinerja mereka, terutama dalam kondisi harga batu bara yang relatif stabil. Harga Batubara Acuan (HBA) per Maret 2025 tercatat sebesar USD128 per ton, yang menunjukkan adanya peluang bagi perusahaan-perusahaan dengan kontrak IUPK, seperti Bumi Resources (BUMI), Indika Energy (INDY), dan Adaro Andalan Indonesia (AADI), untuk memperoleh keuntungan lebih besar.
Dengan adanya perubahan ini, pemerintah secara tidak langsung berupaya menciptakan iklim investasi yang lebih seimbang dalam sektor energi dan mineral. Bagi produsen mineral, meski tarif royalti lebih tinggi dapat menekan profitabilitas, di sisi lain hal ini juga berpotensi untuk meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi dan mendukung pembangunan berkelanjutan sektor mineral Indonesia.
Sebaliknya, penurunan royalti bagi produsen batu bara IUPK memberikan dorongan untuk meningkatkan produksi dan kontribusi sektor batu bara terhadap perekonomian nasional.
Secara keseluruhan, perubahan royalti ini memiliki dampak yang cukup luas, baik bagi industri mineral maupun batu bara. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor ini akan menghadapi tantangan baru dalam mengelola biaya operasional dan strategi pemasaran mereka.
Di sisi lain, ini juga membuka peluang bagi sektor-sektor tertentu, khususnya batu bara yang beroperasi dengan IUPK, untuk menikmati keuntungan tambahan dalam kondisi pasar yang lebih menguntungkan.
Bagi investor, perkembangan ini memberikan gambaran tentang bagaimana regulasi baru ini bisa mempengaruhi kinerja emiten-emiten tambang besar di Indonesia.(*)