KABARBURSA.COM – Rupiah mulai menunjukkan sinyal bangkit melawan dominasi dolar Amerika Serikat (USD) yang sempat bikin ngos-ngosan selama beberapa bulan terakhir. Di tengah tekanan geopolitik dan data ekonomi global yang bergejolak, grafik pergerakan USD/IDR memberikan sinyal teknikal yang layak dicermati. Apakah ini pertanda kebangkitan Mata Uang Garuda?
Berdasarkan analisis dari Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata, saat ini USD/IDR telah menutup gap penting di kisaran Rp16.600 dan berada tepat di area support uptrend channel jangka menengah yang terbentuk sejak Oktober 2024.
“USD/IDR finally tutup GAP Rp16.600 dan saat ini persis berada di support area dari uptrend channel jika menengah (since bottom Oct 2024),” kata Liza dalam analisis hariannya, Rabu, 30 April 2025.
Liza juga mengingatkan pelaku pasar untuk mencermati apakah momentum penguatan rupiah bisa berlanjut. Ia menilai bahwa penutupan di bawah level 16.570 dapat membuka peluang penguatan secara relatif hingga Rp16.000.
“Closing di bawah Rp16.570 akan bawa penguatan rupiah lebih lanjut ke arah 16520 / 16240 / 16080-16000,” kata Liza.
Artinya, kalau rupiah bisa menutup hari di bawah Rp16.570, potensi penguatan lebih lanjut terbuka lebar—bahkan bisa membawa kurs dolar turun sampai area Rp16.000-an, yang notabene menjadi level psikologis kuat sekaligus ujian penting buat dolar.
Potensi Reversal dan Relevansi Level Rp15.000
Jika tren pelemahan dolar AS terus berlanjut—didukung oleh faktor makro seperti inflasi AS yang meleset dari ekspektasi, sikap dovish The Fed, atau meningkatnya aliran modal asing ke pasar berkembang—rupiah berpeluang bergerak ke kisaran Rp15.000 per dolar AS. Ini bukan target optimistis, melainkan skenario teknikal realistis apabila pola reversal benar-benar terkonfirmasi dalam waktu dekat.
Berdasarkan struktur candle bulanan pada grafik USD/IDR yang dilihat di data Investing, ada indikasi dolar telah mengalami break resistance namun gagal mempertahankan momentum. Rejection yang muncul di bagian atas chart dapat dibaca sebagai sinyal bahwa pasar mulai kehilangan kepercayaan terhadap kekuatan lanjutan dolar. Bila pola ini bertahan hingga akhir bulan dan menghasilkan candle full body bearish, maka potensi penurunan lanjutan terbuka lebar.
Kisaran Rp15.000 bukan sekadar angka psikologis. Dalam tren jangka panjang sejak pandemi, itu adalah zona konsolidasi penting yang pernah menjadi resistance dan kini bisa menjadi support. Jika level ini kembali tersentuh, ia berpotensi menjadi titik balik signifikan atau bahkan awal dari tren penguatan baru bagi rupiah.
Jangan Lengah Dulu
Meski mayoritas indikator teknikal saat ini condong ke arah pelemahan dolar AS—baik dari sinyal RSI, MACD, hingga Moving Average—pasar tetap harus dihadapi dengan kepala dingin. Kecemasan atas perang tarif Donald Trump, potensi ketegangan geopolitik baru, atau rilis data ekonomi yang mengejutkan bisa memicu volatilitas dan membalikkan arah tren.
Rupiah pun masih sangat bergantung pada variabel eksternal lain, yakni harga komoditas, sentimen investor global, serta kebijakan suku bunga domestik. Jadi meskipun momentum saat ini berpihak ke rupiah, bukan berarti bisa langsung tancap gas. Alih-alih spekulatif, investor sebaiknya menyikapi momen ini dengan strategi bertahap dan kalkulatif.
UBS: Dolar Masih Perkasa, Tapi Bisa Reversal di Paruh Kedua 2025
UBS Global Wealth Management memproyeksikan dolar AS akan tetap kuat dalam waktu yang lebih panjang. Mereka bahkan merevisi proyeksi nilai tukar negara-negara G10 demi menyesuaikan dengan dominasi dolar yang tampaknya belum akan redup dalam waktu dekat.
Menurut UBS, daya tarik dolar saat ini tidak hanya soal suku bunga, tapi juga soal keperkasaan ekonomi AS. Selagi pertumbuhan ekonomi Amerika masih solid, kondisi di kawasan lain justru cenderung lesu. Eropa misalnya, masih menghadapi tekanan pertumbuhan, sementara China memang diproyeksikan tumbuh hingga 5 persen secara tahunan pada kuartal IV, namun risiko dari tarif dagang AS tetap menghantui.
Kondisi politik dalam negeri yang tidak stabil di beberapa kawasan—seperti Korea Selatan, Uni Eropa, dan Inggris—juga turut memperlemah nilai tukar masing-masing mata uang. Dalam konteks ini, kekuatan dolar bukan hanya hasil dari fundamental domestik AS, tapi juga dari kelemahan lawannya.
UBS menilai, potensi perbedaan arah kebijakan moneter bisa menjadi penggerak utama penguatan dolar dalam jangka pendek. Meski mereka masih memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga sebanyak dua kali tahun ini alias total sebesar 50 basis poin, namun penurunan itu kemungkinan baru akan terjadi pada kuartal II dan III. Bandingkan dengan proyeksi pemangkasan suku bunga ECB yang diprediksi bisa mencapai 100 basis poin hanya dalam paruh pertama tahun ini.
Kondisi ini memperkuat narasi pasar bahwa selisih suku bunga yang makin lebar akan mendorong capital inflow ke aset dolar dan otomatis mengangkat nilainya. UBS menyebut, perbedaan arah kebijakan inilah yang berpotensi menciptakan tren jangka pendek yang mendukung dolar AS, bahkan dengan kemungkinan nilai tukar yang menembus level-level ekstrem (overshooting).(*)