Logo
>

Rupiah Keok Akibat Sinyal Meragukan dari The Fed

Ditulis oleh KabarBursa.com
Rupiah Keok Akibat Sinyal Meragukan dari The Fed

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pada hari ini, Senin 2 September 2024, nilai tukar rupiah ditutup mengalami pelemahan. Para analis memprediksi bahwa penurunan ini kemungkinan akan berlanjut pada perdagangan esok hari, Selasa 3 September 2024.

    Nilai tukar rupiah ditutup melemah ke level Rp 15.525 per dolar AS. Rupiah terkoreksi sebesar 0,45 persen dibandingkan penutupan pada Jumat 30 Agustus 2024 yang tercatat di Rp 15.455 per dolar AS. Sejalan dengan itu, rupiah Jisdor BI juga melemah sekitar 0,40 persen pada level Rp 15.536 per dolar AS.

    Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengungkapkan bahwa para pelaku pasar kini mulai meragukan kemungkinan Federal Reserve (Fed) akan menerapkan langkah agresif seperti memangkas suku bunga secara signifikan. Fokus para pedagang kini beralih ke laporan pekerjaan AS.

    Di sisi lain, imbal hasil obligasi AS mengalami lonjakan hingga mencapai level tertinggi pada bulan Agustus, semakin mengurangi ekspektasi pemangkasan suku bunga sebesar 50 basis poin pada pertemuan 18 September mendatang.

    Ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga Fed sebesar 50 basis poin bulan ini menurun menjadi 33 persen, dibandingkan dengan kemungkinan pemangkasan seperempat poin yang sebesar 67 persen.

    Seminggu lalu, ekspektasi terhadap pemangkasan yang lebih besar masih berada di angka 36 persen, kata Ibrahim dalam risetnya pada Senin 2 September 2024.

    Ibrahim menambahkan, survei Reuters yang mencatatkan kenaikan jumlah pekerjaan dari 114.000 pada bulan sebelumnya menjadi 165.000 pada bulan Agustus, serta penurunan tingkat pengangguran menjadi 4,2 persen, turut memperkuat indeks dolar.

    Selain itu, aktivitas manufaktur China merosot ke level terendah dalam enam bulan akibat anjloknya harga di tingkat pabrik.

    Sementara itu, dari sisi domestik, Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur Indonesia terkontraksi lebih dalam ke level 48,9 pada Agustus 2024, membawa rupiah ke level pelemahan.

    Menurut laporan terbaru S&P Global pada Senin 2 September 2024, indeks yang mencerminkan aktivitas manufaktur nasional ini turun dari level 49,3 pada bulan sebelumnya.

    Penurunan permintaan asing juga semakin tajam hingga mencatatkan penurunan paling dalam sejak Januari 2023. Selain berkurangnya permintaan ekspor secara umum, tantangan pengiriman global turut membebani penjualan, lanjut Ibrahim.

    Dengan berbagai sentimen tersebut, Ibrahim memperkirakan pada perdagangan besok, rupiah akan ditutup melemah pada rentang Rp 15.510 per dolar AS hingga Rp 15.590 per dolar AS.

    Pengamat Mata Uang, Lukman Leong, memperkirakan rupiah akan bergerak dalam konsolidasi dengan kecenderungan melemah terbatas. Ia menilai mata uang regional juga akan melemah terhadap dolar AS yang rebound setelah data inflasi PCE pada Jumat lalu.

    "Investor umumnya akan menunggu dan melihat di awal bulan serta menantikan data ekonomi seperti NFP pada akhir pekan ini. Ditambah dengan data resmi manufaktur China yang lebih lemah, sentimen regional juga tertekan," kata Lukman, dikutip Senin 2 September 2024.

    Oleh karena itu, Lukman memprediksi rupiah akan bergerak di level Rp 15.500 per dolar AS hingga Rp 15.600 per dolar AS.

    Sinyal Optimis

    Sebelumnya, Gubernur Federal Reserve San Francisco, Mary Daly, menyatakan keyakinannya bahwa saatnya Bank Sentral AS menurunkan suku bunga telah tiba.

    "Waktunya untuk menyesuaikan kebijakan telah tiba," ungkap Daly dalam sebuah wawancara dengan Michael McKee, pada hari Senin pekan lalu.

    Pernyataan Daly sejalan dengan komentar yang disampaikan oleh Ketua The Fed, Jerome Powell. Powell mengungkapkan pada simposium Jackson Hole minggu lalu bahwa dia semakin yakin inflasi akan turun kembali ke 2 persen, dan "saatnya telah tiba bagi kebijakan untuk menyesuaikan diri."

    Gubernur Bank Sentral San Francisco tersebut menilai masih terlalu awal untuk menentukan jalur kebijakan yang tepat dan enggan mengungkapkan apakah dia akan mendukung pemangkasan suku bunga seperempat atau setengah poin persentase dalam pertemuan bank sentral pada 17-18 September.

    Sinyal tentang kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh The Fed pada September 2024 semakin menguat. Jerome Powell menyatakan bahwa saatnya bagi kebijakan moneter untuk menyesuaikan dengan dinamika saat ini. "Waktu yang tepat untuk penyesuaian kebijakan telah tiba," tegas Powell dalam konferensi tahunan Jackson Hole di Kansas City, sebagaimana dilaporkan Reuters pada Sabtu (24/8).

    Saat ini, suku bunga di Amerika Serikat berada di kisaran 5,25 persen hingga 5,5 persen. Powell mengindikasikan bahwa fokus The Fed ke depan akan tertuju pada penyediaan lapangan kerja setelah inflasi mencapai titik stabil. Ia memperkirakan pemangkasan suku bunga kemungkinan besar akan dilakukan sekitar tujuh minggu sebelum Pemilu AS pada 5 November 2024, yakni pada pertengahan September 2024.

    Pemangkasan suku bunga menjelang Pemilu AS bukanlah hal baru. Fenomena serupa pernah terjadi sebelum Pemilu AS 1976. Beberapa anggota parlemen dari partai Republik memperingatkan bahwa penurunan suku bunga bisa jadi langkah partisan untuk memperbaiki ekonomi menjelang Pemilu. Meski demikian, Powell menegaskan bahwa keputusan penurunan suku bunga akan tetap didasarkan pada data ekonomi yang menunjukkan penurunan inflasi.

    Kongres menugaskan The Fed untuk menjaga tingkat lapangan kerja yang optimal sambil mempertahankan inflasi yang stabil. Saat ini, tingkat pengangguran telah meningkat satu poin, dari 3,4 persen menjadi 4,3 persen. Powell mengakui bahwa dalam setahun terakhir, The Fed telah menyaksikan tren ini. "Kami tidak mencari, menyambut, atau berencana untuk memperketat lebih lanjut kondisi pasar tenaga kerja," kata Powell.

    Pasar saham Amerika Serikat mencatatkan performa positif pekan lalu, didorong oleh sinyal kuat pemangkasan suku bunga pada bulan September. Ketua The Fed, Jerome Powell, menegaskan bahwa saatnya untuk merombak kebijakan, dengan keyakinan yang semakin menguat bahwa inflasi dapat konsisten menurun menuju level 2 persen. Selain itu, risalah rapat FOMC terbaru menunjukkan bahwa mayoritas pejabat The Fed melihat September sebagai waktu yang ideal untuk pemangkasan suku bunga.

    Revisi data non-farm payroll tahunan AS menunjukkan penurunan sebesar 818 ribu untuk periode 12 bulan yang berakhir pada Maret 2024—revisi terbesar sejak Maret 2009. Indeks S&P 500 mengakhiri pekan dengan kenaikan 1,45 persen, sementara imbal hasil UST 10Y turun dari 3,88 persen menjadi 3,80 persen.

    Di kawasan Asia, pasar saham bergerak bervariasi pekan lalu, dengan pelaku pasar menunggu pernyataan Powell di Jackson Hole Symposium akhir pekan ini. Pasar saham di China, Korea Selatan, dan Taiwan ditutup lebih rendah, sementara pasar Jepang, Hong Kong, dan ASEAN menunjukkan performa yang lebih baik.

    Fokus pasar ASEAN meningkat, didorong oleh ekspektasi pivot The Fed dan performa pasar ASEAN yang unggul sepanjang tahun. Gubernur Bank Sentral Jepang, Kazuo Ueda, tetap mempertahankan pandangan bahwa kenaikan suku bunga masih akan dilakukan jika kondisi ekonomi sesuai dengan harapan, sambil tetap menjaga stabilitas pasar finansial.

    Minat investor asing terhadap pasar saham Indonesia menunjukkan perbaikan, sejalan dengan meningkatnya ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed. Investor asing mencatatkan pembelian bersih sebesar IDR8,2 triliun di pasar saham, yang mendorong indeks IDX80 menguat sebesar 1,77 persen.

    Pasar obligasi juga menguat 0,41 persen, dengan imbal hasil SBN 10Y turun dari 6,72 persen menjadi 6,64 persen. Nilai tukar Rupiah melanjutkan penguatan di tengah arus dana asing yang meningkat, ditutup menguat 1,27 persen terhadap USD ke level 15.490. Bank Indonesia mempertahankan suku bunga pada 6,25 persen, sesuai dengan ekspektasi.

    Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa di kuartal ketiga, BI akan fokus menjaga stabilitas Rupiah, namun penurunan suku bunga di akhir tahun masih memungkinkan. Sementara itu, defisit transaksi berjalan Indonesia melebar pada 2Q-24 menjadi USD3 miliar (0,9 persen dari PDB), dibandingkan dengan USD2,4 miliar (0,7 persen dari PDB) pada 1Q-24. (*)

     

     

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi