KABARBURSA.COM – Rencana revisi Undang-Undang (UU) TNI yang memungkinkan prajurit aktif mengisi jabatan sipil dikhawatirkan bakal mengguncang kepercayaan investor terhadap pasar Indonesia. Para analis dan ekonom menilai kebijakan ini berisiko menciptakan ketidakpastian hukum, memperburuk tata kelola bisnis, serta menimbulkan ketimpangan dalam kompetisi pasar.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai revisi ini dapat berdampak negatif terhadap iklim investasi. Menurutnya, investor akan berpikir ulang untuk masuk ke Indonesia jika keterlibatan militer dalam sektor bisnis semakin meluas.
“Buat apa investor asing atau swasta bersaing dengan perusahaan yang punya akses ke jaringan militer? Ini jelas akan berdampak negatif, karena investor enggan masuk ke pasar yang tidak kompetitif,” ujarnya saat dihubungi KabarBursa.com di Jakarta, Senin, 17 Maret 2025.
Sentimen ini semakin menguat seiring dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang tengah bergulir di DPR RI. Revisi terhadap UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ini menuai sorotan lantaran membuka peluang lebih luas bagi perwira aktif TNI untuk menduduki jabatan sipil, termasuk di kementerian dan lembaga negara.
RUU ini telah disetujui Komisi I DPR RI dan kini masuk dalam tahap pembahasan Panitia Kerja (Panja) yang beranggotakan perwakilan dari berbagai fraksi. Ketua Komisi I DPR sekaligus Ketua Panja, Utut Adianto, menjelaskan bahwa revisi ini mencakup berbagai aspek, mulai dari postur organisasi TNI, peran dan fungsi, hingga kesejahteraan prajurit. Salah satu yang paling kontroversial adalah penempatan prajurit aktif dalam 16 kementerian/lembaga negara, yang sebelumnya dilarang dalam Pasal 47 Ayat 2 UU TNI.
Dalam aturan yang baru, perwira aktif bisa ditempatkan di berbagai institusi strategis, seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung (Kejagung), hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun, untuk jabatan di luar daftar tersebut, anggota TNI tetap diwajibkan mundur dari dinas militer sebelum menjabat.
Tak hanya soal jabatan sipil, revisi UU TNI juga mengusulkan perubahan batas usia pensiun. Jika sebelumnya bintara dan tamtama pensiun di usia 53 tahun, dalam usulan baru mereka bisa aktif hingga 55 tahun, sedangkan perwira yang sebelumnya pensiun di usia 58 tahun bisa diperpanjang hingga 62 tahun, tergantung pangkatnya.
Banyak pihak mengkritik bahwa perluasan peran TNI ini bisa mengaburkan batas antara sektor militer dan sipil, termasuk dalam ranah ekonomi. Meski RUU TNI secara eksplisit tidak menyebutkan peluang prajurit aktif untuk masuk ke dunia bisnis, pola yang ada saat ini menunjukkan bahwa purnawirawan TNI telah banyak mengisi posisi strategis dalam perusahaan negara maupun swasta.
KabarBursa menemukan dalam perusahaan BUMN dan emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI), nama-nama mantan petinggi TNI sering muncul dalam struktur komisaris.
Daftar Emiten yang Mengangkat Purnawirawan TNI sebagai Komisaris
Seiring dengan pembahasan RUU TNI yang membuka peluang lebih luas bagi militer dalam jabatan sipil, keterlibatan purnawirawan TNI di sektor bisnis juga menjadi sorotan. Sejumlah perusahaan terbuka di BEI telah mengangkat mantan perwira tinggi militer dalam jajaran komisaris mereka.
Berikut adalah daftar emiten yang memiliki purnawirawan TNI dalam struktur komisaris perusahaan berdasarkan penelusuran KabarBursa:
1. PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC)
- Komisaris: Letnan Jenderal TNI (Purn.) Agus Sutomo, S.E.
- Agus Sutomo juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Agrinas.
2. PT Nusantara Infrastructure Tbk (META)
- Komisaris: Letjen TNI (Purn) Johny J. Lumintang
3. PT Adhi Karya Tbk (ADHI)
- Komisaris: Mayjen Dody Usodo Hargo
4. PT Wijaya Karya Tbk (WTON)
- Komisaris Independen: Mayjen Rusmanto
5. PT Delta Giri Wacana Tbk (DGWG)
- Komisaris Utama: Mayjen Widagdo Hendro Sukoco
6. PT Unggul Indah Cahaya Tbk (UNIC)
- Presiden Komisaris: Letjen TNI (Purn.) Erwin Sudjono
7. PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk (ACES)
- Komisaris Independen: Letjen TNI (Purn) Tarub
8. PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA)
- Presiden Komisaris: Marsekal TNI (Purn.) Fadjar Prasetyo
9. PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN)
- Komisaris Independen: Mayjen TNI (Purn) Suparman S.
10. PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA)
- Komisaris Utama: Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto
Keberadaan purnawirawan TNI di dalam struktur komisaris emiten-emiten besar ini menjadi isu menarik di tengah perdebatan mengenai RUU TNI. Meski mereka sudah pensiun, banyak pihak menilai jejaring dan kedekatan dengan institusi militer tetap berpengaruh, terutama dalam kebijakan bisnis dan investasi perusahaan.
Menurut Nailul, penempatan TNI aktif di jabatan strategis BUMN maupun sektor bisnis swasta bukan hanya mengganggu prinsip meritokrasi, tapi juga membuka celah penyalahgunaan wewenang.
“Kalau militer menduduki posisi strategis di BUMN, mereka bisa menggunakan kekuatan institusional untuk kepentingan bisnis. Contohnya di BULOG, di mana direkturnya berasal dari militer aktif, lalu menggunakan jaringan TNI untuk mengatur perdagangan beras di daerah,” ungkapnya.
Kondisi ini, kata dia, juga berisiko membuat pasar Indonesia semakin tidak kompetitif karena aktor-aktor bisnis yang berafiliasi dengan militer bisa memiliki akses eksklusif terhadap kebijakan dan sumber daya tertentu.
“Semakin luasnya kehadiran militer dan polisi di ranah sipil akan menimbulkan kebingungan dalam penegakan hukum, terutama jika terjadi pelanggaran. Mereka mengklaim punya pengadilan sendiri, sedangkan jabatan yang dipegang adalah jabatan sipil. Ini bisa memperumit proses hukum,” katanya.
Selain aspek regulasi, para investor juga bisa menyoroti minimnya latar belakang manajerial dan bisnis di kalangan prajurit TNI yang berpotensi mengisi jabatan strategis. Nailul mencontohkan bagaimana pengelolaan bisnis oleh pihak yang tidak memahami sektor ekonomi bisa berdampak buruk.
“Misalnya di sektor pertanian, jika yang memimpin bukan orang yang paham pertanian, kebijakan yang diambil bisa merugikan petani. Seperti kasus BULOG yang memaksakan penyerapan gabah dengan harga rendah karena tidak memahami ekosistem pertanian secara menyeluruh,” jelas mantan peneliti Institute for Development of Economics and Finance atau INDEF ini.
Investor, menurut Nailul, mencari kepastian regulasi dan kepemimpinan yang profesional dalam dunia usaha. Namun, dengan adanya revisi UU TNI, risiko pengambilan kebijakan yang tidak berbasis kompetensi bisa semakin besar.
Ia pun mengingatkan revisi UU TNI ini harus dikaji lebih dalam untuk memastikan tidak ada dampak negatif terhadap stabilitas ekonomi dan investasi. “Saya pribadi #TolakRUUTNI #TolakOrba2.0,” katanya.(*)