KABARBURSA.COM - Yen Jepang mengalami lonjakan hampir 3 persen pada Kamis (11 Juli 2024), mencatat kenaikan harian terbesar sejak akhir tahun 2022. Kenaikan ini dikaitkan oleh media lokal dengan serangkaian pembelian resmi yang dilakukan untuk menopang mata uang yang telah merosot ke posisi terendah dalam 38 tahun.
Dolar AS turun ke level 157,40 yen setelah data menunjukkan inflasi konsumen AS lebih rendah dari perkiraan pada bulan Juni. Namun, skala dan kecepatan pergerakan ini membuat para pedagang waspada terhadap kemungkinan intervensi dari pihak otoritas Jepang, yang sebelumnya telah melakukan tindakan serupa pada awal Mei untuk menguatkan yen.
Stasiun televisi Jepang, Asahi, mengutip sumber pemerintah yang menyatakan bahwa pejabat terkait melakukan intervensi di pasar mata uang. Selain itu, kantor berita Jiji mengutip pernyataan diplomat mata uang terkemuka, Masato Kanda, yang mengatakan bahwa dia tidak dapat mengomentari apakah ada intervensi atau tidak, tetapi menegaskan bahwa pergerakan yen baru-baru ini "tidak sejalan dengan fundamental."
Kementerian Keuangan Jepang (MOF), yang biasanya tidak mengomentari aktivitas di pasar valuta asing, serta Federal Reserve New York, tidak segera memberikan tanggapan terhadap permintaan komentar dari Reuters.
Beberapa analis dan pedagang mata uang awalnya mengira lonjakan yen mungkin dipicu oleh aktivitas terkait opsi menyusul laporan harga konsumen yang mendukung kemungkinan penurunan suku bunga oleh Federal Reserve pada awal September. Namun, seiring yen yang terus menguat, banyak pihak kemudian menyimpulkan bahwa langkah tersebut menunjukkan ciri-ciri pembelian resmi.
"Kementerian Keuangan tidak akan mengkonfirmasi hal ini untuk beberapa waktu, namun sejauh mana tindakan tersebut memberikan kesan yang kuat bahwa Kementerian Keuangan telah aktif dan memanfaatkan data pasca CPI AS untuk mengambil tindakan," kata Chris Scicluna, kepala penelitian ekonomi di Daiwa Capital Markets di London.
Investor telah tanpa henti menjual yen selama berbulan-bulan, mengingat betapa rendahnya tingkat suku bunga di Jepang dibandingkan dengan negara lain. Hal ini menciptakan penumpukan posisi bearish dalam mata uang Jepang, yang memaksa sebagian orang untuk melepasnya.
Dolar AS terakhir diperdagangkan pada 158,70 yen, turun 1,8 persen hari ini, terendah sejak pertengahan Juni. Kesenjangan antara suku bunga AS dan Jepang telah menciptakan peluang perdagangan yang sangat menguntungkan, di mana para pedagang meminjam yen dengan suku bunga rendah untuk berinvestasi pada aset yang dihargakan dalam dolar AS demi mendapatkan keuntungan lebih tinggi, yang dikenal sebagai carry trade.
Spekulan Memicu Jatuh
Atsushi Takeuchi, mantan pejabat Bank of Japan (BOJ) mengatakan bahwa Jepang kemungkinan akan terus melakukan intervensi untuk menopang yen sampai risiko spekulan yang memicu jatuhnya mata uang telah hilang.
“Jika Anda membiarkan pergerakan 2-3 yen secara tiba-tiba dalam satu hari tanpa pengawasan, Anda berisiko memicu jatuhnya yen yang meningkatkan kecemasan terhadap yen dan perekonomian secara lebih luas,” kata Takeuchi yang memimpin Divisi Valuta Asing BOJ pada 2010-2012, dikutip Kamis, 2 Mei 2024.
Ia menambahkan bahwa dengan melakukan intervensi ketika penurunan yen semakin cepat dalam jangka waktu singkat, pihak berwenang dapat memaksimalkan dampak psikologis dengan menjaga para trader tetap waspada terhadap kemungkinan tindakan lebih lanjut.
“Pihak berwenang akan terus melakukan intervensi selama diperlukan untuk memastikan mereka mencapai misi mereka, yaitu mencegah perdagangan spekulatif yang menyebabkan jatuhnya yen,” kata pria yang ini menjadi kepala peneliti di Ricoh Institute of Sustainability and Business.
Namun Takeuchi menepis kekhawatiran beberapa pelaku pasar bahwa ada batasan berapa banyak cadangan devisa Jepang senilai USD1,29 triliun yang dapat digunakan untuk melakukan intervensi karena beberapa kepemilikan Treasury AS mungkin sulit untuk dijual.
“Inti dari Jepang yang memiliki cadangan devisa sebesar itu adalah untuk bersiap menghadapi kasus-kasus seperti sekarang, ketika perlu melakukan intervensi,” kata Takeuchi, menekankan bahwa pemerintah tidak berinvestasi pada aset dengan likuiditas rendah yang sulit dijual.
“Memang benar pihak berwenang perlu memperhatikan dampak pasar ketika menjual aset untuk mendanai intervensi. Namun pasar Treasury AS sangat besar, jadi hal ini seharusnya tidak menjadi masalah,” jelasnya.
Untuk diketahui, Jepang secara historis berfokus terutama pada pencegahan kenaikan tajam yen yang merugikan perekonomiannya yang bergantung pada ekspor.
Berdasarkan hukum Jepang, pemerintah memegang yurisdiksi atas kebijakan mata uang, sedangkan BOJ bertindak sebagai agen kementerian keuangan, yang memutuskan kapan harus melakukan intervensi.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.