KABARBURSA.COM - Peristiwa yang menimpa Serikat Pekerja CNN Indonesia (SPCI) baru-baru ini telah mencuatkan kembali praktik lama yang dikenal sebagai union busting. Setelah deklarasi pendirian SPCI pada 31 Agustus 2024, belasan aktivis serikat pekerja ini menerima surat pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak dari manajemen CNN Indonesia. Tindakan ini tidak hanya mengejutkan para pekerja, tetapi juga menuai kecaman luas dari berbagai pihak, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Deklarasi SPCI sebenarnya bertujuan untuk membangun hubungan komunikasi yang lebih baik antara pekerja dan manajemen CNN Indonesia. Namun, manajemen CNN justru meresponsnya dengan tindakan yang dianggap melanggar hak-hak ketenagakerjaan.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, yang hadir secara virtual dalam deklarasi tersebut, menegaskan kebebasan untuk berserikat adalah hak konstitusional yang harus dihormati oleh setiap perusahaan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya.
AJI menyatakan, PHK sepihak terhadap anggota SPCI merupakan bentuk jelas dari pemberangusan serikat pekerja atau union busting. Praktik semacam ini bukan hal baru dalam dunia ketenagakerjaan, terutama di sektor-sektor yang sensitif terhadap organisasi buruh. Kasus di CNN Indonesia ini menjadi pengingat bahwa perjuangan buruh untuk mendapatkan hak-hak mereka masih menghadapi tantangan besar, bahkan di era modern.
Sejarah Gelap Union Busting
Union busting, atau pemberangusan serikat pekerja, memiliki sejarah panjang yang tak lepas dari dinamika ekonomi dan sosial yang terus berubah. Mengutip Wikipedia History of union busting in the United States, praktik ini pertama kali mencuat secara signifikan pada era Revolusi Industri di akhir abad ke-19, ketika kondisi kerja yang buruk mendorong para pekerja untuk membentuk serikat guna memperjuangkan hak-hak mereka.
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah union busting adalah Homestead Strike pada 1892 di Amerika Serikat. Ketika para pekerja di pabrik baja Carnegie melakukan pemogokan, manajemen menggunakan agen detektif swasta, Pinkerton, untuk mematahkan perlawanan ini. Bentrokan yang terjadi antara pekerja dan agen Pinkerton berujung pada kekerasan dan menewaskan beberapa pekerja.
Peristiwa lain yang menonjol adalah Pullman Strike pada 1894, yang melibatkan pekerja di industri kereta api. Serikat pekerja seperti American Railway Union (ARU) memimpin aksi mogok untuk menentang kondisi kerja yang buruk dan pemotongan upah. Pemerintah AS akhirnya mengintervensi dengan mengeluarkan perintah pengadilan yang dikenal sebagai omnibus injunction, yang melarang pemimpin serikat, termasuk Eugene Debs, untuk melanjutkan aksi mogok.
Ini menandai penggunaan kekuasaan negara untuk menekan gerakan buruh, sebuah praktik yang berlanjut hingga disahkannya Norris-La Guardia Act pada 1932.
Mengutip laman Society for Human Resource Management, Norris-La Guardia Act adalah undang-undang penting yang disahkan di Amerika Serikat pada 1932, yang bertujuan untuk melindungi hak-hak pekerja dalam konteks perselisihan industrial.
Salah satu elemen kunci dari Norris-La Guardia Act adalah pembatasan kekuasaan pengadilan federal dalam mengeluarkan perintah atau injunction untuk menghentikan aksi-aksi mogok, pemogokan, atau bentuk lain dari protes yang dilakukan oleh buruh dalam perselisihan industrial. Sebelumnya, pengadilan sering kali digunakan oleh perusahaan untuk menekan hak-hak pekerja dengan cara mengeluarkan perintah yang melarang aksi mogok atau protes buruh, yang kemudian dikenal sebagai strikebreaking by injunction.
Undang-undang ini mengakui bahwa aksi mogok dan bentuk protes lainnya adalah bagian dari hak buruh untuk memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik. Dengan disahkannya Norris-La Guardia Act, serikat pekerja menjadi lebih terlindungi dari campur tangan hukum yang merugikan, dan tindakan perusahaan yang mencoba membungkam serikat pekerja melalui jalur hukum menjadi lebih sulit.
Norris-La Guardia Act juga melarang pengusaha memaksa pekerja untuk menandatangani kontrak yang melarang mereka bergabung dengan serikat pekerja, sebuah praktik yang dikenal sebagai yellow-dog contracts.
Peran Buruh dalam Menopang Ekonomi
Pekerja di sektor-sektor yang mengalami union busting selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 memainkan peran penting dalam perekonomian Amerika Serikat. Misalnya, pekerja di industri baja, yang termasuk dalam peristiwa Homestead Strike, adalah tulang punggung dari sektor yang menjadi motor penggerak Revolusi Industri di AS.
Baja merupakan bahan dasar untuk pembangunan infrastruktur, termasuk rel kereta api, jembatan, dan gedung-gedung tinggi, yang semuanya esensial bagi pertumbuhan ekonomi saat itu.
Pekerja di industri kereta api, seperti yang terlibat dalam Pullman Strike, juga memiliki peran krusial. Kereta api adalah sarana utama transportasi barang dan penumpang di seluruh Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Efisiensi serta kestabilan industri ini sangat bergantung pada tenaga kerja yang terampil dan terorganisir.
Dalam konteks yang lebih luas, peran buruh dalam ekonomi juga sangat terlihat pada era Depresi Besar di tahun 1930-an. Pada masa itu, jumlah anggota serikat buruh sempat menurun drastis akibat resesi ekonomi yang parah. Namun, dengan dukungan kebijakan pro-buruh dari pemerintahan Franklin D. Roosevelt, serikat buruh kembali bangkit dan menjadi kekuatan penting dalam ekonomi nasional.
Mereka membantu menstabilkan ekonomi dengan mendorong undang-undang yang melindungi hak-hak pekerja dan memastikan adanya keseimbangan antara kepentingan buruh dan pengusaha.
Union Busting di Era Modern
Hingga hari ini, union busting masih menjadi ancaman nyata bagi serikat pekerja di seluruh dunia. Meskipun hukum dan regulasi telah banyak berubah, praktik-praktik ini tetap ada dalam berbagai bentuk, dari manipulasi hukum hingga tekanan ekonomi terhadap pekerja.
Di Indonesia, sebelum peristiwa union busting menimpa serikat pekerja CNN Indonesia, pernah terjadi hal serupa pada ribuan serikat pekerja PT Freeport Indonesia. Pada 2011, buruh Freeport melakukan aksi mogok besar-besaran sebagai tanggapan atas kondisi kerja yang tidak adil, termasuk tuntutan kenaikan upah. Pemogokan ini dihadapi dengan tindakan keras oleh manajemen, termasuk intimidasi dan PHK.
Puncaknya terjadi pada 2017, ketika kebijakan furlough (merumahkan pekerja tanpa kriteria yang jelas) diberlakukan oleh manajemen PT Freeport Indonesia dengan alasan efisiensi, akibat ketidakpastian negosiasi perpanjangan kontrak karya dan divestasi saham. Dalam laporannya pada 2018 lalu, lembaga hak asasi manusia Lokataru mengindikasikan perkara ini sebagai bentuk union busting.
Serikat pekerja yang aktif menentang kebijakan tersebut mengalami pemberangusan melalui tekanan fisik, kriminalisasi, dan perpecahan internal yang didorong oleh manajemen. Aksi brutalitas pun terjadi, termasuk penangkapan dan penyiksaan terhadap para pemimpin serikat dan pekerja yang ikut serta dalam aksi mogok.
Bentrokan dengan aparat keamanan mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka di antara para pekerja. Manajemen PT Freeport juga menggunakan aparat kepolisian untuk menekan dan membubarkan aksi pekerja, serta menghancurkan tenda-tenda serikat pekerja di lokasi demonstrasi.
Kasus yang menimpa buruh Freeport dan SPCI di CNN Indonesia adalah contoh nyata bahwa meskipun zaman telah berubah, tantangan yang dihadapi oleh serikat pekerja masih tetap sama. Union busting tidak hanya merugikan buruh, tetapi juga bisa berdampak negatif pada stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Sejarah menunjukkan ketika buruh memiliki hak-hak yang dilindungi dan dapat bernegosiasi secara adil, hasilnya adalah ekonomi yang lebih stabil dan masyarakat yang lebih sejahtera. Perjuangan melawan union busting masih menjadi bagian penting dari upaya menciptakan ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.