Logo
>

Sejumlah Tantangan Baru Menanti Ekonomi Global di 2025

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Sejumlah Tantangan Baru Menanti Ekonomi Global di 2025

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ketika dunia baru saja mulai melupakan dampak pandemi COVID-19, sejumlah tantangan baru muncul menghadang perekonomian global pada 2025. Pada 2024, bank sentral dunia akhirnya mulai menurunkan suku bunga setelah sebagian besar berhasil mengendalikan inflasi tanpa memicu resesi global.

    Pasar saham di Amerika Serikat dan Eropa sontak mencetak rekor baru. Mengutip Reuters di Jakarta, Senin, 23 Desember 2024, Forbes bahkan mencatat tahun ini sebagai "tahun gemilang bagi orang super kaya" dengan 141 miliarder baru bergabung dalam daftar mereka.

    Namun di tengah berita baik ini, suasana hati masyarakat tampaknya berbeda. Pemilih di berbagai negara, seperti India, Afrika Selatan, Eropa, dan Amerika Serikat, memberikan hukuman kepada petahana dalam pemilu besar-besaran. Krisis biaya hidup yang tak kunjung reda akibat kenaikan harga pasca pandemi menjadi kenyataan pahit yang mereka rasakan.

    Potensi Gejolak Baru di 2025

    Tahun 2025 bisa menjadi lebih sulit bagi banyak orang. Jika Donald Trump yang kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat memberlakukan tarif impor baru sebesar 10-20 persen untuk semua barang dan hingga 60 persen untuk barang asal China, hal ini berpotensi memicu perang dagang. Akibatnya sejumlah tantangan ekonomi seperti inflasi baru, perlambatan ekonomi global, atau bahkan keduanya bisa sangat terjadi. Tingkat pengangguran yang saat ini mendekati rekor terendah pun berisiko meningkat.

    Konflik di Ukraina dan Timur Tengah, kebuntuan politik di Jerman dan Prancis, serta tanda-tanda melambatnya ekonomi China semakin menambah ketidakpastian. Selain itu, biaya kerusakan akibat perubahan iklim semakin menjadi perhatian utama di banyak negara.

    Menurut Bank Dunia, negara-negara termiskin berada dalam kondisi ekonomi terburuk dalam dua dekade terakhir karena tertinggal dalam pemulihan pasca pandemi. Mereka tidak membutuhkan hambatan baru seperti perdagangan yang melemah atau kondisi pendanaan yang lebih sulit.

    Sementara itu, di negara-negara kaya, pemerintah harus menemukan cara untuk menjawab keyakinan masyarakat daya beli, standar hidup, dan prospek masa depan mereka terus menurun. Kegagalan menangani masalah ini dapat mendorong naiknya partai-partai ekstrem yang sudah mulai memecah parlemen di banyak negara.

    Pemerintah di banyak negara juga menghadapi tuntutan anggaran baru yang semakin berat, mulai dari menangani perubahan iklim, memperkuat pertahanan, hingga mendukung populasi yang menua. Hanya ekonomi yang sehat yang mampu menghasilkan pendapatan untuk membiayai kebutuhan ini. Jika pemerintah negara-negara terus mengandalkan utang, risiko krisis keuangan semakin nyata.

    Tahun Ketidakpastian Ekonomi

    Presiden Bank Sentral Eropa, Christine Lagarde, menyebutkan dalam konferensi pers terakhirnya tahun ini bahwa tahun 2025 akan penuh dengan ketidakpastian yang melimpah. Trump mungkin akan melanjutkan rencana tarifnya, atau itu hanya ancaman awal untuk negosiasi. Jika benar diterapkan, dampaknya akan tergantung pada sektor mana yang terkena dan siapa yang membalas.

    China, sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, menghadapi tekanan besar untuk bertransisi dari ketergantungan pada sektor manufaktur ke model pertumbuhan yang lebih inklusif bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

    Pemerintah China berencana meningkatkan defisit anggaran hingga empat persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2025. Menurut dua sumber yang mengetahui rencana ini, dana tambahan akan diperoleh melalui penerbitan obligasi khusus di luar anggaran persen di tengah ancaman peningkatan tarif impor dari AS setelah Donald Trump kembali menduduki Gedung Putih pada Januari mendatang.

    Dilansir dari Reuters, meski belum diumumkan, rencana defisit ini disepakati dalam pertemuan Central Economic Work Conference (CEWC) pekan lalu. Defisit ini lebih besar dibanding target awal 3 persen dari PDB untuk 2024.

    Kenaikan 1 poin persentase dalam anggaran ini setara dengan 1,3 triliun yuan atau sekitar USD179,4 miliar (Rp2.870triliun dengan kurs Rp16.000). Menurut dua sumber yang mengetahui rencana ini, dana tambahan akan diperoleh melalui penerbitan obligasi khusus di luar anggaran.

    Di sisi lain, Eropa yang ekonominya terus tertinggal dari Amerika Serikat sejak pandemi, harus menyelesaikan kebuntuan politik di Jerman dan Prancis sebelum dapat mengatasi akar masalah seperti kurangnya investasi dan kekurangan tenaga terampil.

    Bagi banyak negara lainnya, potensi penguatan dolar AS menjadi kabar buruk. Kebijakan Trump yang dapat memicu inflasi berpotensi memperlambat penurunan suku bunga oleh The Fed, sehingga meningkatkan biaya utang dalam denominasi dolar dan menarik investasi keluar dari negara-negara berkembang.

    Ketidakpastian lainnya adalah dampak konflik di Ukraina dan Timur Tengah terhadap harga energi, yang menjadi tulang punggung perekonomian dunia.

    Meski begitu, pembuat kebijakan dan pasar keuangan berharap ekonomi global mampu melewati berbagai tantangan ini, dengan bank sentral melanjutkan normalisasi tingkat suku bunga. Namun, seperti yang diingatkan Dana Moneter Internasional dalam prospek ekonomi terbarunya: "Bersiaplah untuk masa-masa yang penuh ketidakpastian."(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).