Logo
>

Sentralisasi dan Lemahnya Pengawasan Jadi Penyebab Merebaknya Penambangan Ilegal

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Sentralisasi dan Lemahnya Pengawasan Jadi Penyebab Merebaknya Penambangan Ilegal

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pelaksanaan Undang-undang (UU) Minerba yang bersifat sentralistik justru membuka celah bagi aktivitas tambang ilegal yang semakin merajalela. Salah satu contohnya adalah kasus tambang emas ilegal yang dilakukan oleh warga negara asing (WNA) asal China di Ketapang, Kalimantan Barat.

    Kasus ini telah dibawa ke pengadilan di Pengadilan Negeri (PN) Ketapang pada 28 Agustus 2024, tetapi ini hanya puncak dari gunung es yang lebih besar, yaitu lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di sektor pertambangan Indonesia.

    Manajer Kampanye Tambang dan Energi Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Rere Christanto, menegaskan bahwa masalah ini bukan sekadar kasus tambang ilegal yang terisolasi. Menurutnya, kegagalan utama terletak pada sentralisasi pengelolaan tambang di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

    “Karena UU Minerba mensentraliskan peran tata kelola pertambangan kepada Pemerintah Pusat, upaya monitoring dan penegakan hukum terhadap tambang ilegal tidak berjalan dengan baik. Jangkauan Pemerintah Pusat terbatas untuk memeriksa seluruh wilayah Indonesia,” kata Rere kepada Kabar Bursa, Minggu, 29 September 2024.

    Kondisi ini diperparah oleh sikap kepala daerah yang cenderung “lepas tangan.” Dengan peran mereka yang diambil alih oleh Pemerintah Pusat, kepala daerah seringkali hanya turun tangan ketika terjadi konflik atau bencana akibat tambang ilegal.

    Fenomena ini, lanjut Rere, menunjukkan bahwa kebijakan UU Minerba yang diharapkan dapat memperbaiki tata kelola, justru membuat pengawasan terhadap tambang ilegal semakin lemah. “Ditambah lagi, Kementerian ESDM belum memiliki badan khusus yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum,” ujarnya.

    Rere menekankan bahwa saat ini yang paling dibutuhkan adalah keseriusan dab penegakan hukum yang diterapkan agar penambangan ilegal jelas. Ia menjelaskan bahwa operasional penambangan memerlukan mobilisasi sumber daya dalam jumlah besar, termasuk tenaga kerja, alat berat, transportasi, bahan kimia, dan modal.

    “Meskipun ada tambang yang beroperasi tanpa izin, hampir tidak mungkin penambangan dapat dilakukan secara diam-diam dalam jangka waktu lama dan berulang,” tegas Rere.

    Investor Asing Diberi Karpet Merah

    Sementara itu, menurut Juru Kampanye Trend Asia Arko Tarigan, akar masalah utama pada pertambangan di Indonesia adalah pada sistem pemberian izin yang terlalu longgar dan serampangan.

    “Pemerintah seolah-olah memberikan karpet merah kepada investor asing. Mereka diberi banyak kemudahan, mulai dari tax holiday hingga pelonggaran aturan, sementara pengawasan hampir tidak ada,” kata Arko.

    Ia juga mengungkapkan bahwa dalam banyak kasus, pemberian izin tambang tidak hanya untuk satu mineral, tetapi mineral lain di sekitar tambang juga ikut dijarah tanpa pengawasan yang memadai.

    “Akar masalahnya adalah pemberian izin pertambangan yang serampangan, dengan segala kemudahan yang diberikan pemerintah kepada para investor untuk menggeruk mineral yang ada di Indonesia,” kata Arko kepada Kabar Bursa, Minggu, 29 September 2024.

    Kasus penambangan tambang ilegal di Ketapang, Kalimantan Barat, yang dilakukan sekelompok WNA China menjadi contoh konkret bagaimana aktivitas tambang ilegal merusak Indonesia.

    Emas yang berhasil dicuri mencapai 774,27 kg, dengan kerugian negara mencapai Rp1,020 triliun.

    Tidak hanya emas, YH juga menjarah cadangan perak sebanyak 937,7 kg. Angka-angka ini hanya menambah panjang daftar kerugian yang harus ditanggung Indonesia akibat pengelolaan tambang yang amburadul dan penuh kolusi.

    “Dari kasus ini, kita melihat bahwa bukan hanya mineral yang mendapat izin yang diambil, tetapi mineral lain yang terkandung dalam tambang itu juga ikut dijarah,” terang Arko.

    Arko juga menyoroti minimnya pengawasan imigrasi ketika investasi asing masuk. Pemerintah sibuk memberi insentif, tetapi tidak ada pengawasan yang ketat terhadap siapa saja yang diperbolehkan berinvestasi di Indonesia.

    “Kita tidak bisa hanya mengandalkan janji investasi tanpa memperhatikan dampaknya bagi lingkungan dan masyarakat lokal," jelasnya.

    Dengan pengawasan yang lemah, Indonesia seolah hanya menjadi “ladang jarahan” bagi investor asing yang masuk untuk mengeruk kekayaan alam, tanpa ada timbal balik yang berarti. Semua ini berujung pada perusakan lingkungan, konflik sosial, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh masyarakat sekitar tambang.

    “Indonesia dua kali menjadi korban. Pertama, bumi kita dihancurkan tanpa pemulihan yang memadai. Dan, kedua, keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari tambang ini justru mengalir keluar, sementara kita hanya mendapatkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia,” pungkasnya. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.