Logo
>

Serangan AS ke Iran Diprediksi Tekan Rupiah dan Picu Inflasi

Serangan udara AS ke Iran memicu lonjakan harga minyak, tekanan terhadap rupiah, inflasi, dan risiko fiskal. Pemerintah diminta segera siapkan strategi.

Ditulis oleh Desty Luthfiani
Serangan AS ke Iran Diprediksi Tekan Rupiah dan Picu Inflasi
Ilustrasi tekanan rupiah dan inflasi. (Foto: KabarBursa.com/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM - Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memanas setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump memerintahkan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir utama Iran yakni Fordow, Natanz, dan Isfahan. 

Diberitakan Reuters sebelumnya, dalam pidato resmi yang disampaikan dari Gedung Putih, Trump menyebut operasi tersebut sebagai kesuksesan militer spektakuler dan memperingatkan akan ada serangan lanjutan jika Teheran tidak segera tunduk pada syarat-syarat perdamaian dari Washington.

Langkah ini memicu kepanikan global. Harga minyak mentah melonjak, indeks saham dunia tertekan, dan permintaan terhadap aset safe haven seperti dolar AS dan emas melonjak tajam.

Para pelaku pasar global bereaksi negatif, mengalihkan aset dari negara berkembang menuju instrumen yang dianggap lebih aman di tengah gejolak yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda.

Indonesia sebagai salah satu negara net importir energi dipastikan ikut terdampak. Harga minyak jenis Brent sempat menyentuh USD108 per barel dalam perdagangan intrahari kemarin, dengan proyeksi kenaikan lebih lanjut jika Iran membalas serangan atau menutup Selat Hormuz. Selat ini merupakan jalur distribusi yang selama ini dilewati sekitar 20 persen pasokan minyak dunia.

Kondisi ini memperberat tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang pada Jumat lalu ditutup melemah ke level Rp16.420 per dolar AS. Dalam jangka pendek, lonjakan harga minyak dan penguatan dolar akan memperbesar risiko inflasi dan mempersempit ruang kebijakan fiskal maupun moneter nasional.

Subsidi energi berpotensi membengkak, sementara target defisit APBN 2025 sebesar 2,6 persen dari PDB menjadi sulit dicapai tanpa penyesuaian signifikan.

“Lonjakan harga minyak bukan sekadar ancaman bagi neraca dagang, tapi juga menyulitkan manuver Bank Indonesia menjaga stabilitas rupiah tanpa mengorbankan pertumbuhan,” ujar Syafruddin Karimi, ekonom dari Universitas Andalas pada Minggu, 22 Juni 2025 malam.

Ia menilai bahwa pemerintah harus bergerak cepat dan terkoordinasi. Sementara menurut kajian terbaru Oxford Economics, jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz, harga minyak bisa melonjak ke USD130 per barel.

Kondisi itu diperkirakan akan mendorong inflasi AS ke 6 persen dan memaksa The Fed menunda rencana pemangkasan suku bunga tahun ini. Konsekuensinya, arus modal akan kembali mengalir deras ke Amerika Serikat dan menjauh dari pasar negara berkembang termasuk Indonesia.

“Jika aliran dana asing keluar dalam jumlah besar, rupiah bisa makin melemah, dan beban bunga utang luar negeri otomatis meningkat,” tambah Syafruddin.

Di tengah tekanan global, Bank Indonesia sebenarnya telah melakukan intervensi ganda dengan menjual cadangan devisa dan membeli surat berharga negara untuk menjaga likuiditas.

Namun, langkah ini dinilai belum cukup jika harga minyak terus menanjak dan sentimen pasar memburuk. Saat ini, posisi cadangan devisa Indonesia tercatat sebesar USD136 miliar atau setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor dan utang luar negeri jangka pendek pemerintah.

Pemerintah Diminta Susun Skenario Antisipatif

Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia didorong untuk segera menyusun skenario antisipatif. Prioritas utama adalah menstabilkan nilai tukar, memperkuat posisi APBN terhadap fluktuasi harga energi, serta memastikan kelancaran distribusi bahan bakar domestik agar tidak terjadi kelangkaan maupun kepanikan publik.

Pemerintah juga dinilai perlu memperkuat strategi komunikasi ekonomi. “Pasar keuangan sangat sensitif terhadap sinyal. Ketika tidak ada kejelasan kebijakan, spekulasi berkembang dan memperparah volatilitas,” jelas Syafruddin.

Penguatan dolar dan potensi inflasi impor juga dikhawatirkan menggerus daya beli masyarakat. Kenaikan harga barang konsumsi, terutama yang berbasis impor dan energi, akan menekan konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi domestik.

Pada kuartal pertama 2025, konsumsi rumah tangga masih menyumbang lebih dari 53 persen terhadap PDB nasional. Di sisi lain, kenaikan harga minyak memang memberikan angin segar bagi penerimaan negara dari sektor migas.

Namun, dalam struktur APBN, tambahan penerimaan tersebut tidak sebanding dengan pembengkakan subsidi energi dan tekanan inflasi yang ditimbulkannya.

Krisis geopolitik ini menjadi pengingat bahwa ketergantungan Indonesia pada energi fosil, terutama impor BBM, merupakan kerentanan strategis. Dalam jangka menengah, reformasi energi melalui diversifikasi sumber daya dan efisiensi konsumsi perlu dipercepat untuk mengurangi eksposur terhadap gejolak eksternal.

“Pemerintah tidak boleh bersikap reaktif. Yang kita butuhkan adalah kebijakan proaktif, solid, dan konsisten. Ini bukan krisis pertama, tapi bisa jadi salah satu yang paling kompleks karena melibatkan dinamika global, energi, dan stabilitas keuangan sekaligus,” tutur Syafruddin.

Dengan dinamika yang terus berkembang, pelaku pasar dan masyarakat kini menanti langkah nyata pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah gejolak geopolitik yang kian membara.

Pegamat Maritim dari ikatan Keluarga Alumni Lemhanas Strategic Center (ISC), Marcellus Hakeng Jayawibawa juga mengkhawatirkan adanya gangguan maritim di Indonesia imbas ketegangan yang terjadi antara Iran dan Israel. Menurut dia, ketegangan itu nanti akan menimbulkan potensi gangguan di Selat Hormoz atau jalur pelayaran strategis yang mengalirkan hampir sepertiga dari ekspor minyak global. 

Dia mengatakan gangguan di Teluk Persia memiliki efek berantai yang sangat serius bagi sistem ekonomi dunia. Gangguan di Selat Hormuz adalah pukulan keras bagi sektor maritim global yang saat ini menopang lebih dari 80 persen volume perdagangan dunia.

"Ketika jalur pelayaran utama energi dan komoditas terganggu. Maka sistem logistik dunia dipaksa menyesuaikan rute, waktu dan biaya," ujar Hakeng.

Menurut dia hal tersebut menimbulkan gelombang biaya tambahan termasuk sektor pelayaran Indonesia. (*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Desty Luthfiani

Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".