KABARBURSA.COM - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengajukan permintaan kenaikan upah minimum sebesar 8 hingga 10 persen pada tahun 2025 alias di era pemerintahan Prabowo Subianto. Hal ini disebabkan oleh kenaikan upah buruh dalam dua tahun terakhir yang berada di bawah tingkat inflasi.
Menurut Said, usulan kenaikan ini didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan mencapai 5,2 persen dan inflasi sebesar 2,5 persen, sehingga total mencapai 7,7 persen. "Tahun 2025, upah minimum di depan mata, kita proklamirkan upah minimum 2025 naik minimal 8-10 persen," ujar Said dalam acara Peringatan 3 Tahun Kebangkitan Klas Buruh, dikutip Kamis, 19 September 2024.
KSPI berharap permintaan ini dapat dipertimbangkan oleh presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto. Selama lima tahun terakhir, upah buruh tidak mengalami kenaikan yang signifikan, bahkan kenaikan yang ada pun berada di bawah angka inflasi. Hal ini membuat kenaikan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para buruh.
Said menyoroti kenaikan upah yang di bawah inflasi justru merugikan buruh. "Siapa bilang buruh naik upah? Nombok, inflasi 2,8 persen, harga barang naik 2,8 persen, naik gaji 1,58 persen berarti buruh nombok, bukan naik gaji, nombok 1,3 persen," tegas Presiden Komite Eksekuti Partai Buruh ini.
Permintaan kenaikan upah minimum untuk tahun 2025 ini sedikit lebih rendah dibandingkan usulan sebelumnya untuk tahun 2024, di mana KSPI meminta kenaikan antara 10 hingga 15 persen. Usulan ini sebelumnya diperoleh dari survei lapangan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) serta indikator makro ekonomi seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Meskipun demikian, realisasi kenaikan upah minimum tahun 2024 tidak sesuai harapan buruh. Berdasarkan laporan Kementerian Ketenagakerjaan, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2024 berkisar dari 1,19 persen di Provinsi Gorontalo hingga 7,5 persen di Maluku Utara, jauh dari tuntutan buruh yang mencapai 15 persen.
Minta UU Cipta Kerja Ditinjau Ulang
Said Iqbal sebelumnya juga menyatakan kesiapan partai Partai Buruh untuk mendukung pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Dukungan ini disampaikan langsung oleh Partai Buruh meskipun Prabowo batal berpidato di hadapan ribuan kader Partai Buruh di Istora Senayan, Rabu, 18 September 2024.
Said Iqbal mengungkapkan Partai Buruh telah menyampaikan enam harapan kepada Prabowo untuk pemerintahannya nanti. Harapan pertama adalah peninjauan kembali Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, terutama terkait Klaster Ketenagakerjaan.
Harapan kedua adalah penetapan upah yang layak, sesuai dengan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan standar kebutuhan hidup. “Kami minta upah minimum 2025 disesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Selain itu, Partai Buruh juga berharap pemerintahan ke depan menghapus sistem kerja outsourcing. Harapan keempat menyangkut agenda Reforma Agraria dan kedaulatan pangan, termasuk menghentikan impor saat panen raya dan mengembalikan tanah petani yang telah diambil oleh korporasi.
Harapan kelima adalah pengangkatan massal para guru honorer dan tenaga honorer lainnya di lingkungan pemerintahan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Harapan terakhir, pendidikan gratis hingga jenjang universitas. “Kami ingin pendidikan gratis, khususnya sampai dengan universitas,” kata Said Iqbal.
Said optimistis Prabowo mampu mewujudkan enam harapan ini, setidaknya dalam 100 hari pertama pemerintahannya. “Ini adalah tentang harapan kaum buruh, petani, nelayan, dan tenaga honorer serta kelas pekerja lain,” tegasnya.
Dukungan Partai Buruh kepada Prabowo ini diklaim mewakili mayoritas konfederasi dan serikat buruh se-Indonesia, termasuk kepentingan pekerja seperti buruh, petani, nelayan, dan guru.
Tolak Iuran Tapera
Selain keenam hal tersebut, Partai Buruh sebelumnya juga menyuarakan penolakannya terhadap iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bagi pekerja. Said Iqbal menyatakan memang perumahan adalah salah satu kebutuhan buruh, kelas pekerja, dan rakyat sebagai kebutuhan primernya seperti halnya kebutuhan makanan dan pakaian.
“Bahkan di dalam UUD 1945 negara diperintahkan untuk menyiapkan perumahan sebagai hak rakyat. Di mana dalam 13 Platform Partai Buruh, jaminan perumahan adalah jaminan sosial yang akan kami perjuangkan,” ujar Said Iqbal dalam keterangan resmi, Rabu 29 Mei 2024.
Namun, dia mengatakan, Tapera yang dibutuhkan buruh dan rakyat adalah kepastian untuk mendapatkan rumah yang layak melalui dana APBN dan APBD. Tetapi persoalannya, kondisi saat ini tidaklah tepat program Tapera dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera.
“Karena membebani buruh dan rakyat,” lanjutnya.
Menurut Said Iqbal, setidaknya ada beberapa alasan, mengapa program Tapera belum tepat dijalankan saat ini.
Pertama, belum ada kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera. Jika dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera.
“Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen (dibayar pengusaha 0,5 persen dan dibayar buruh 2,5 persen) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK,” tegasnya.
Sekarang ini, upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp 3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3 persen per bulan maka iurannya adalah sekitar 105.000 per bulan atau Rp. 1.260.000 per tahun. Karena Tapera adalah Tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp 12.600.000 hingga Rp 25.200.000.
Karena itu pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun kedepan ada harga rumah yang seharga 12,6 juta atau 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan?
Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari Tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah.
“Jadi dengan iuran 3 persen yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah. Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah,” kata Said Iqbal.(*)