Logo
>

Siapkah Industri RI Menjadi Pemain atau Sekadar Arena Pertandingan IEU-CEPA dan IK-CEPA?

Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, mengingatkan bahwa tarif hanyalah tiket masuk. Kemenangan sesungguhnya, menurutnya, ditentukan oleh kemampuan industri nasional memenuhi standar global yang kejam.

Ditulis oleh Desty Luthfiani
Siapkah Industri RI Menjadi Pemain atau Sekadar Arena Pertandingan IEU-CEPA dan IK-CEPA?
Kawasan perkantoran Sudirman, Jakarta Selatan. Foto: Dok KabarBursa.com

KABARBURSA.COM – Pembukaan dua gerbang perjanjian ekonomi komprehensif, IEU-CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement)  Uni Eropa dan IK (Indonesia-Korea) CEPA dengan Korea Selatan, dirayakan sebagai lompatan strategis menuju pasar maju. Namun, di balik narasi optimistis tarif nol persen dan potensi lonjakan ekspor, muncul pertanyaan kritis: siapkah industri Indonesia bertarung, atau justru berisiko menjadi pasar empuk bagi produk impor Eropa dan Korea?

Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, mengingatkan bahwa tarif hanyalah tiket masuk. Kemenangan sesungguhnya, menurutnya, ditentukan oleh kemampuan industri nasional memenuhi standar global yang kejam. Namun, realitas di lapangan menunjukkan kesenjangan kapasitas yang menganga, terutama bagi sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

"Kedua perjanjian ini menegaskan bahwa tarif adalah tiket masuk, tetapi standar yang menentukan kemenangan di pasar global," ujar Syafruddin pada Jumat, 26 September 2025.

Peringatan ini bukan tanpa dasar. APINDO juga sempat menyunggung bahwa manfaat nyata dari IEU-CEPA akan sangat bergantung pada kemampuan Indonesia menyelaraskan standar produk.Tantangannya, standar yang diterapkan Uni Eropa dikenal sangat ketat dan berbiaya tinggi, sebuah rintangan berat bagi mayoritas pelaku usaha nasional.

Jebakan Standar dan Ancaman Serbuan Impor

Di balik janji akses pasar yang lebih luas, terdapat ancaman nyata yang seringkali luput dari sorotan. Perjanjian ini pada hakikatnya adalah jalan dua arah.Saat produk Indonesia berjuang menembus benteng regulasi Eropa yang kompleks seperti EU Deforestation Regulation (EUDR) dan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), pintu pasar domestik justru terbuka lebih lebar bagi produk-produk Eropa yang sudah sangat kompetitif.

Kekhawatiran ini beralasan, mengingat perjanjian serupa kerap kali lebih menguntungkan negara maju yang memiliki industri dengan teknologi dan efisiensi yang lebih superior.

Kritik dari kelompok masyarakat sipil bahkan lebih tajam. Mereka menyoroti bahwa proses perundingan perjanjian dagang seperti ini seringkali tidak transparan dan minus partisipasi publik.Akibatnya, ada potensi pasal-pasal yang merugikan kepentingan nasional, seperti pelemahan aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) atau kebijakan hilirisasi mineral, bisa lolos tanpa pengawasan publik yang memadai.

"Industri yang berorientasi pada bukti (data emisi ) dan uji mutu—akan memimpin. Sebaliknya, yang terpaku pada pola lama akan kehilangan peluang besar ini di depan mata," tegas Syafruddin.

Realisasi target ambisius melipatgandakan perdagangan dengan Uni Eropa dalam lima tahun ke depan terasa jauh panggang dari api jika melihat kondisi internal. Banyak UMKM masih menghadapi keterbatasan teknologi, kesulitan akses pembiayaan untuk sertifikasi internasional, dan rendahnya literasi digital untuk menembus pasar global.Tanpa intervensi pemerintah yang masif dan terarah, mereka berisiko terpinggirkan, hanya menjadi penonton di tengah liberalisasi pasar.

Syafruddin menguraikan empat pekerjaan rumah besar yang harus digarap serius. Pertama, industri harus meningkatkan kedalaman pengolahan agar tidak lagi mengekspor bahan mentah. Kedua, penguasaan aturan asal barang (Rules of Origin) dan standar teknis menjadi mutlak. Ketiga, pembangunan infrastruktur mutu seperti laboratorium uji yang kredibel tidak bisa ditawar. Keempat, UMKM harus didorong untuk bersatu dalam agregator atau koperasi untuk menekan tingginya biaya kepatuhan.

Pemerintah juga dituntut untuk bergerak lebih dari sekadar menandatangani perjanjian dan meluncurkan misi dagang seremonial. Diperlukan langkah konkret untuk membangun fondasi industri yang kokoh.

"Pemerintah juga wajib berlari. Investasi pada digital backbone untuk trace ability dan perbaikan logistik adalah kunci agar eksportir kita, terutama yang kecil, bisa kompetitif," ujar dia.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Desty Luthfiani

Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".