KABARBURSA.COM – Kementerian Pertanian (Kementan) resmi meluncurkan biodiesel (B50) di PT Jhonlin Agro Raya, Batulicin, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, pada Minggu, 18 Agustus 2024. Adapun B50 diyakini sebagai langkah kemandirian energi nasional lantaran bahan baku produksinya mengandalkan kelapa sawit.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, mengaku bangga dengan langkah pemerintah yang meluncurkan program B50. Menurutnya, inisiatif tersebut menjadi langkah pemberdayaan petani sawit lantaran dalam proses produksinya memanfaatkan bahan baku Tandan Buah Segar (TBS).
"Ya, yang pertama tentu sebagai petani sawit bangga dengan program tersebut B50, B60 sampai B100 itu bangga. Ya pasti dong, karena dia memakai bahan baku dari TBS, iya kan?" kata Gulat saat dihubungi Kabar Bursa, Kamis, 22 Agustus 2024.
Meski begitu, Gulat menyebut, masih terdapat persoalan di sektor hulu industri kelapa sawit. Diketahui, sektor hulu industri kelapa sawit masih berkutat pada persoalan produktivitas yang menurun, klaim kawasan hutan, hingga ancaman Pasal 110B yang mengecam replanting (hanya 1 daur).
Menurutnya, perihal dedicated area atau pemanfaatan lahan yang terdegradasi sebagai Perkebunan kelapa sawit perlu dilakukan untuk mendukung program B50. Dengan begitu, Gulat menilai tidak ada persoalan tarik-menarik antara kebutuhan energi dengan kebutuhan pangan.
Menurutnya, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi sinyal baik dalam mendukung komitmen pemerintah terkait B50. Hal tersebut juga dinilai sejalan dengan visi Presiden terpilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu), Prabowo Subianto, yakni kemandirian energi.
"Sebenarnya sudah memberikan sinyal untuk dukungan penuh kemandirian energi ini. Apalagi salah satu program unggulan Presiden terpilih, Prabowo, adalah kemandirian energi" jelasnya.
Gulat juga meminta Kementan untuk melakukan percepatan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Sebagaimana diketahui, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pekebunan Kementan, realisasi PSR hingga bulan Mei 2024 baru terealisasi sebesar 336,834 hektare atau sekitar 0,33 juta hektare.
Sementara PSR yang ditargetkan pada tahun 2024 sebesar 120,000 hektare. Gulat menilai, capaian target PSR ini masih sangat jauh dari apa yang diharapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Padahal, kata dia, PSR ini menjadi hal urgen untuk segera dilakukan.
"Hulurisasi itu sebenarnya cenderung daripada fungsi daripada Kementan, terkhusus hulirisasi di sektor perkebunan sawit rakyat, yang pada saat ini capaian target PSR-nya masih jauh dari yang diharapkan Presiden Jokowi," jelasnya.
Saat ini, Gulat mengaku para petani sawit seolah mengemis untuk bisa mengikuti program PSR. Padahal, kata dia, mandatori program tersebut mestinya mempermudah regulasi bagi para petani untuk mengakses PSR.
"Mau saja petani ikut PSR, itu sudah disyukuri, karena selama proses PSR akan terjadi kevakuman pemasukan ekonomi rumah tangga petani dari kebun yang di PSR kan" tegas Gulat.
Gulat mengaku heran dengan mandatori sektor hilir kelapa sawit yang dinilai tak sebanding dengan kondisi di sektor hulu. Padahal, kata Gulat, ketidakseimbangan mandatori tersebut berdampak pada ketersedian bahan baku yang dibutuhkan sektor hilir.
"Jadi kalau sudah kata wajib, ya, syaratnya pun enggak ada yang mengada-ada, ya kan? Nah, jadi hilir itu tidak bekerja kalau hulu itu seperti saat sekarang ini terseok-seok," ungkapnya.
Padahal, tutur Gulat, sektor hilir kelapa sawit dalam negeri memiliki kesiapan teknologi yang jauh lebih maju dibandingkan negara lain yang mana masih berbicara terkait B5. Sementara akselerasi sektor hilir kelapa sawit Indonesia sudah mencapai B50.
"Teknologi hilirisasi sawit Indonesia tidak ada yang mengimbangi lagi negara lain di muka bumi ini. Orang masih bicara B5, kita sudah B35, bahkan PT Jhonlin Agro Raya telah meluncurkan B50," jelasnya.
"Orang masih bicara avtur, kita sudah bioavtur 5 persen, iya kan? Tapi kita lupa hulunya," imbuhnya.
Gulat menuturkan, Indonesia sendiri menjadi negara terbesar pemasok kebutuhan minyak nabati berbasis kelapa sawit sebesar 58 persen. Besarnya potensi tersebut, kata dia, membuat iri negara-negara EU terkait program biodiesel Indonesia.
Karenanya, Gulat meminta Kementan untuk merelaksasi aturan teknis yang menghambat melalui mandatori PSR. Jika hal tersebut dioptimalkan, dia menilai tidak ada lagi pihak yang disalah-salahkan dalam tata kelola kelapa sawit.
“Dengan memandatorikan itu sudah memperingan pekerjaan semua pihak, termasuk Kementan sendiri dan BPDPKS tidak lagi disalah-salahkan karena serapan dana PSR tidak pernah mencapai target," tutupnya.
B50 Ancam Kinerja Ekspor Sawit
Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyambut positif peluncuran B50 yang digagas oleh pemerintah pada Minggu, 18 Agustus 2024 lalu. Meski demikian, GAPKI menegaskan terdapat tantangan besar yang menanti, yakni peningkatan produktivitas kelapa sawit yang diharapkan dapat terwujud melalui program PSR.
Direktur Eksekutif GAPKI, Mukti Sardjono menuturkan, peluncuran B50 mesti sejalan dengan produktivitas kelapa sawit. Pasalnya, ketersediaan kelapa sawit bagi produksi B50 dapat mengancam kinerja ekspor dalam negeri jika tidak sejalan dengan PSR.
“Dengan peluncuran B50, kita harus meningkatkan produktivitas sawit. Jika tidak, kita mungkin terpaksa membatasi ekspor,” ungkap Mukti, melalui keterangan pers, Selasa 20 Agustus 2024.
Ia juga menambahkan bahwa program PSR memerlukan perhatian khusus, karena realisasinya selama ini belum memenuhi target yang diharapkan. Mukti berharap adanya ekspansi perkebunan, terutama di Papua, untuk memastikan bahwa upaya hilirisasi sawit demi kebutuhan energi tidak mempengaruhi pasokan ekspor.
“Akan lebih baik jika ada kebun khusus untuk energi, agar tidak mengganggu pasokan ekspor kita,” jelasnya. (*)