KABARBURSA.COM - Otoritas Moneter Singapura (MAS) kembali menegaskan proyeksinya atas inflasi inti dan inflasi umum, yang diperkirakan rata-rata berada di kisaran 1,5 hingga 2,5 persen pada 2025. Angka tersebut menunjukkan penurunan drastis dari puncak yang terlihat dalam dua tahun terakhir.
Bank sentral menyatakan, tren disinflasi ini akan ditopang oleh lingkungan biaya eksternal yang cenderung stabil dan peningkatan biaya tenaga kerja domestik yang melambat. Pernyataan ini disampaikan dalam tinjauan makroekonomi setengah tahunan yang dirilis Selasa, 29 Oktober 2024, mengutip The Business Times.
Proyeksi ini juga sebagian besar merefleksikan berkurangnya dampak kenaikan Pajak Barang dan Jasa. Dengan penurunan inflasi yang signifikan dari puncaknya dan keseimbangan umum permintaan serta penawaran di pasar faktor dan produk, risiko terhadap prospek inflasi Singapura kini lebih seimbang, tambah MAS.
Pada kuartal ketiga, penurunan inflasi dipengaruhi oleh biaya bahan bakar dan makanan impor yang lebih rendah, seiring menguatnya nilai tukar efektif nominal dolar Singapura (S$NEER), serta melambatnya kenaikan biaya tenaga kerja per unit.
Secara keseluruhan, tingkat harga inti agregat sebagian besar telah menyesuaikan dengan kenaikan biaya akumulatif sebelumnya, dan margin keuntungan perusahaan diperkirakan telah kembali ke tingkat normal. Dengan semakin meredanya dampak kenaikan biaya terhadap harga konsumen sebagai pendorong inflasi, tekanan inflasi inti telah menurun, ungkap MAS.
Hingga akhir 2024, tren penurunan dari tahun ke tahun diperkirakan akan tetap berlanjut. Berkurangnya permintaan perjalanan yang tertahan akan menahan kenaikan harga layanan terkait perjalanan, sementara peningkatan subsidi perawatan kesehatan publik akan menurunkan inflasi layanan penting, dan harga minyak mentah yang lebih rendah pada kuartal ketiga dibandingkan tahun lalu akan mengurangi inflasi listrik dan gas pada kuartal keempat.
Secara keseluruhan, MAS memperkirakan inflasi inti rata-rata berada di kisaran 2,5 hingga 3 persen sepanjang tahun, dengan inflasi umum di sekitar 2,5 persen.
Indonesia Kalah Menawan
Indonesia, sebagai negara ekonomi terbesar di ASEAN, memiliki potensi yang sangat besar dalam menarik investasi asing. Namun, meskipun posisinya yang strategis, rupanya Indonesia kalah menawan dibandingkan Singapura. Aliran dana investasi asing langsung (FDI) ke Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga itu.
Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani, mengungkapkan bahwa total investasi yang masuk ke ASEAN mencapai hampir USD300 miliar, dengan sekitar setengahnya, atau lebih tepatnya antara USD280 miliar hingga USD220 miliar, mengalir ke Singapura. Sementara itu, Indonesia hanya menerima sekitar 10 persen dari total FDI tersebut.
Rosan mencatat bahwa meskipun Indonesia menyumbang hampir 40 persen dari total ekonomi ASEAN dan memiliki populasi sekitar 640 juta jiwa yang hampir 40 persen berada di Indonesia, daya tarik investasi asing masih belum optimal.
Selain itu, luas lahan di Indonesia juga mencakup hampir 40 persen dari total luas lahan ASEAN, menandakan adanya potensi besar yang belum sepenuhnya dimanfaatkan.
Menurut Rosan, kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat signifikan. Sekitar 54 sampai 55 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi domestik, sementara 28 persen berasal dari investasi.
Sisa pertumbuhan dihasilkan dari belanja pemerintah, ekspor-impor, dan komponen lainnya. Dengan meningkatnya investasi, diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, terutama dalam konteks Indonesia yang berupaya untuk keluar dari status negara menengah dan menuju negara berpendapatan tinggi.
Rosan juga menyoroti pentingnya periode bonus demografi yang tengah dinikmati Indonesia, yang puncaknya diperkirakan akan berakhir pada tahun 2039-2040. Hal ini menciptakan jendela peluang yang berharga bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dan memperkuat pertumbuhan ekonomi.
Potensi investasi asing di Indonesia masih sangat besar, dan pemerintah perlu terus berupaya menciptakan iklim investasi yang lebih baik untuk menarik lebih banyak aliran dana. Dengan upaya yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan bonus demografi dan posisi ekonominya yang kuat untuk mencapai status negara berpendapatan tinggi.
Keberhasilan dalam menarik investasi tidak hanya akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga akan membuka lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dana Asing Keluar, Artinya?
Bank Indonesia (BI) melaporkan adanya penarikan dana asing dari pasar keuangan domestik dalam periode 9-12 September 2024. Dalam laporan tersebut, tercatat dana investor asing (nonresiden) mengalami jual neto sebesar Rp1,31 triliun. Penarikan ini menjadi perhatian mengingat pengaruhnya terhadap stabilitas pasar keuangan Indonesia.
Minggatnya dana asing dalam minggu ini terutama disebabkan oleh keluarnya dana dari Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yang tercatat sebesar Rp3,59 triliun. Selain itu, pasar Surat Berharga Negara (SBN) juga mengalami penurunan, dengan pengurangan dana sebesar Rp0,18 triliun. Hal ini menunjukkan adanya perubahan dalam minat investasi asing terhadap instrumen keuangan domestik.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.