KABARBURSA.COM - Kekacauan finansial yang melanda Jiangsu Delong Nickel Industry Co, dengan permintaan restrukturisasi utang yang diajukan ke pengadilan China oleh salah satu krediturnya, kini mengancam dampaknya pada unit bisnisnya di Indonesia.
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi), Rizal Kasli, memperingatkan bahwa kondisi arus kas Jiangsu Delong yang negatif akibat ketidakmampuan memenuhi kewajiban pembayaran dapat mempengaruhi operasional perusahaan di tanah air.
“Jika situasi ini berlanjut, operasional perusahaan bisa terganggu karena kekurangan bahan baku, suku cadang, dan jasa yang diperlukan,” ungkap Rizal, Senin 5 Agustus 2024.
Seandainya Jiangsu Delong mengalami kolaps, opsi merger atau akuisisi aset di Indonesia bisa jadi solusi untuk mendapatkan dana tambahan dan melunasi utang. Di Indonesia, Jiangsu Delong memiliki beberapa unit bisnis smelter nikel dan pabrik baja nirkarat, termasuk PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), PT Obsidian Stainless Steel, dan PT Gunbuster Nickel Industry (GNI).
Meskipun dampaknya mungkin bersifat sementara, terutama jika terjadi merger atau akuisisi, Rizal menilai bahwa industri domestik masih belum banyak memanfaatkan produk antara yang dihasilkan dari smelter tersebut. Sebagian besar produk justru diekspor ke China, menghambat pengembangan industrialisasi di Indonesia.
“Pemerintahan mendatang harus fokus untuk menciptakan industri manufaktur yang lebih kuat di Indonesia, agar produk antara dapat dimanfaatkan di dalam negeri. Ini adalah tantangan terbesar bagi kabinet Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka,” tambah Rizal.
Namun, Rizal menekankan bahwa restrukturisasi utang tidak sama dengan kepailitan. Ini adalah proses yang umum dalam dunia bisnis, di mana perusahaan dan kreditur melakukan negosiasi untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan. Contoh dari hal ini termasuk restrukturisasi utang yang dilakukan oleh PT Bumi Resources Tbk (BUMI), di mana kreditur menjadi pemegang saham di perusahaan tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa restrukturisasi utang Jiangsu Delong tidak akan berdampak signifikan terhadap Indonesia. “Permintaan restrukturisasi ini hanya akan mempengaruhi pasokan logam di China dan tidak ada kaitannya dengan kita,” ujar Luhut pada 31 Juli 2024.
Di sisi lain, Xiamen Xiangyu Co, salah satu pedagang komoditas terbesar di China, juga menghadapi dampak dari krisis Jiangsu Delong. Xiangyu, yang mencatat pendapatan lebih dari USD60 miliar tahun lalu, mengungkapkan bahwa mereka akan mengambil alih klaim terhadap Jiangsu Delong. Pengalihan ini bertujuan untuk melindungi kepentingan perusahaan dan investornya.
Jiangsu Delong, yang memiliki kapasitas tahunan lebih dari 10 juta ton baja nirkarat dan produk paduan lainnya, kini menghadapi hambatan akibat jatuhnya harga nikel. Krisis utang ini menjadi perhatian besar di sektor komoditas global dan mendapat perhatian dari banyak pihak, termasuk bankir, pedagang grosir, dan pemasok peralatan.
Menurut laporan, Jiangsu Delong terdaftar sebagai pelanggan logam terbesar Xiamen Xiangyu pada 2023, dengan perdagangan produk feronikel dan ferokrom senilai 7,1 miliar yuan (sekitar USD980 juta). Meskipun ada pengalihan eksposur keuangan, pabrik-pabrik Jiangsu Delong di China dan Indonesia tetap beroperasi di bawah pengawasan pemerintah.
Raksasa Nikel China
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, mengungkapkan bahwa Tsingshan Holding Group, produsen baja nirkarat raksasa, merupakan cerminan investasi China di Indonesia.
Tsingshan memasuki pasar Indonesia setelah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Bintangdelapan Group pada 3 Oktober 2013, untuk mendirikan Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah, seiring kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Indonesia.
Langkah ini merupakan bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) yang diluncurkan Xi sebulan sebelumnya. Melalui BRI, China berambisi membangun jaringan infrastruktur yang ambisius, menghubungkan China dengan berbagai kawasan di Asia, Afrika, dan Eropa melalui jalur perdagangan darat dan laut.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun, Kawasan Industri Morowali berkembang pesat, menarik investasi hingga USD20,9 miliar, dengan luas area mencapai sekitar 4.000 hektare. Pemerintahan Presiden Jokowi memberikan berbagai kemudahan untuk memperluas industri, khususnya di sektor ekstraktif. Hal ini mempermudah investasi dari perusahaan-perusahaan China, seperti yang disampaikan Melky pada Kamis 25 Januari 2024
PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) bertanggung jawab mengelola Kawasan Industri Morowali, yang kini memiliki tiga klaster pengolahan nikel: produksi baja nirkarat, baja karbon, dan komponen baterai kendaraan listrik. Berdasarkan data dari Kementerian Hukum dan HAM, Tsingshan secara tidak langsung menguasai 66,25 persen saham PT IMIP per tahun 2023, sedangkan sisanya sebesar 33,75 persen dikuasai oleh PT Bintang Delapan Investama, bagian dari Bintangdelapan Group.
Tsingshan juga berkolaborasi dengan mitra China untuk membangun Kawasan Industri Weda Bay di Halmahera Tengah, Maluku Utara, sejak 2018. PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) bertugas mengelola kawasan ini, yang diproyeksikan menarik investasi USD15 miliar hingga 2024 dan memiliki luas area 5.000 hektare pada tahun 2022. Per tahun 2023, Tsingshan secara tidak langsung menguasai 46 persen saham PT IWIP, sedangkan Contemporary Amperex Technology, produsen baterai asal China, memegang 6 persen. Zhenshi Holding Group dan Huayou Holding Group juga memiliki saham di PT IWIP, masing-masing sebesar 24 persen.
Di sisi lain, kebutuhan bijih nikel untuk pengolahan di Kawasan Industri Weda Bay dipenuhi oleh PT Weda Bay Nickel. Sejak 2017, Tsingshan menguasai 51,3 persen saham PT Weda Bay Nickel secara tidak langsung, sementara Eramet SA, perusahaan tambang Prancis, mengendalikan 38,7 persen dan PT Aneka Tambang, BUMN lokal, memegang sisa 10 persen.
Mohammad Faisal, ekonom dan direktur eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), mengingatkan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap investasi China menyimpan risiko besar. Jika ekonomi China mengalami guncangan, Indonesia bisa terdampak secara langsung.
Realisasi investasi China dan Hong Kong pada tahun 2023 menunjukkan penurunan 21,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya, setelah pertumbuhan ekonomi China melambat menjadi 3 persen pada 2022 dari 8,4 persen pada 2021. Proyeksi pertumbuhan China oleh Bank Dunia menunjukkan angka sekitar 4 persen dalam dua tahun ke depan. Ketergantungan yang tinggi dapat memperburuk dampak jika ekonomi negara asal investasi terganggu.
Ekonom Bhima Yudhistira menambahkan bahwa ketika ekonomi China mengalami masalah, aliran investasi ke Indonesia dan volume perdagangan antara kedua negara dapat menurun, mempengaruhi neraca dagang, cadangan devisa, dan nilai tukar rupiah. Proyek-proyek China di Indonesia, termasuk smelter nikel, juga berisiko terpengaruh, dengan potensi penurunan kapasitas produksi dan pembatalan ekspansi.
BRI, yang diluncurkan pada 2013, mencakup berbagai proyek di Indonesia seperti Kawasan Industri Morowali, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Sumsel 1, dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Selama sepuluh tahun, China mengklaim telah berinvestasi dalam sekitar 3.000 proyek dengan nilai lebih dari USD1 triliun di 150 negara. Namun, dari 71 proyek infrastruktur BRI di Indonesia, 31 proyek di antaranya menghadapi berbagai masalah, termasuk kontroversi, kerusakan lingkungan, dugaan korupsi, atau kinerja yang tidak sesuai harapan. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.