KABARBURSA.COM - Investor membanjiri pasar surat utang negara, melanjutkan gelombang bullish yang telah mengalir deras sejak pekan lalu. Hasrat tinggi investor di arena surat berharga negara (SBN) tampaknya menjadi katalis utama penguatan rupiah pagi ini, yang sudah berhasil menyentuh level psikologis krusial di Rp15.600/USD.
Ketertarikan investor, termasuk modal asing, terhadap SBN kian melonjak lebih dari sepekan ini, menghantam minat terhadap instrumen jangka pendek berimbal hasil tinggi seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Bunga SRBI yang terus menurun, kini terjerembap ke level terendah sejak April, memaksa arus modal asing keluar dan meluncur menuju pasar surat utang negara.
Hampir seluruh tenor SBN di pasar sekunder menunjukkan penurunan imbal hasil alias yield, menandakan adanya dorongan beli yang menggerek harga obligasi negara.
Yield SBN-5Y mengalami penurunan paling tajam ke 6,557 persen, disusul oleh tenor 10Y yang menyusut ke 6,703 persen dan tenor 15Y yang makin mendatar di 6,771 persen. Sementara tenor pendek 2Y bergerak di level 6,528 persen pagi ini.
Gairah investor tak hanya merambah pasar surat utang. Di lantai bursa, pelaku pasar masih antusias memborong saham, di mana IHSG bertahan di zona hijau meski hanya naik tipis 0,16 persen ke posisi 7.441 dalam satu jam perdagangan.
Sentimen pasar global sejauh ini tetap bullish, dipicu oleh ekspektasi pemangkasan bunga acuan The Fed pada September sebesar 25 bps, dengan probabilitas mencapai 73,5 persen saat ini.
Investor juga terus berburu saham, didorong oleh data ekonomi AS yang memperlihatkan ketangguhan, memperkuat skenario soft landing setelah pengetatan moneter sejak 2022 lalu.
SRBI Ditinggalkan
Di pasar domestik, modal asing semakin menjauhi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) akibat suku bunga diskonto yang terus tergerus. Pada lelang terakhir Jumat lalu, Bank Indonesia kembali memangkas bunga SRBI menjadi 7,20 persen, level terendah sejak 19 April, sebelum rupiah terpuruk hingga menyentuh level psikologis terlemah di Rp16.000 pasca libur Lebaran April lalu.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia, selama periode transaksi 12-15 Agustus, pembelian bersih investor asing hanya mencapai Rp130 miliar. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan pembelian surat utang negara dan saham. Dalam periode yang sama, nonresiden memborong SBN senilai Rp7,36 triliun dan saham Rp2,18 triliun.
Hingga pertengahan Agustus 2024, nonresiden membukukan posisi jual neto yang terus menyusut di SBN, kini berada di Rp11,54 triliun. Sementara di pasar saham, investor asing kembali mencatat posisi beli neto sebesar Rp3,36 triliun. Di sisi lain, posisi net buy asing di SRBI mencapai puncaknya sebesar Rp179,37 triliun.
Pada Jumat lalu, pemerintah Presiden Joko Widodo akhirnya meluncurkan Rancangan APBN 2025 beserta Nota Keuangan yang memberikan gambaran lebih terang bagi pelaku pasar mengenai arah kebijakan fiskal di tahun pertama pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Gambaran kebijakan fiskal tersebut, terutama rencana defisit anggaran yang dipatok moderat di 2,53 persen, tampak memberi angin segar bagi pasar, mengusir kabut ketidakpastian yang menyelimuti sepanjang tahun ini.
Defisit anggaran tahun 2025 direncanakan sebesar 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto, atau sekitar Rp616,2 triliun. Angka ini berasal dari belanja yang direncanakan sebesar Rp3.613,1 triliun, sementara pendapatan negara diperkirakan mencapai Rp2.996,9 triliun.
Sebagian besar pendapatan negara ditopang dari penerimaan pajak sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp505,4 triliun.
Untuk tahun 2025, asumsi kurs dolar AS dipatok di angka Rp16.100/USD dengan yield SBN-10Y sebesar 7,1 persen.
Kombinasi dari optimisme pemangkasan bunga The Fed di September dan kepastian kebijakan fiskal pemerintah baru yang mulai berkuasa Oktober nanti tampaknya menumbuhkan kepercayaan diri lebih besar di kalangan pelaku pasar, yang semakin agresif memborong aset berimbal hasil menarik.
SRBI dan Prediksi BI Rate
Helmi Arman, Chief Economist Citi Indonesia, memperkirakan penurunan suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk tenor 12 bulan akan lebih signifikan dibandingkan dengan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI-Rate) yang diprediksi akan turun sebesar 25 basis poin (bps) pada September 2024.
Helmi menjelaskan, proyeksi ini didasarkan pada tren sebelumnya di mana kenaikan suku bunga SRBI melampaui kenaikan BI-Rate, baik saat BI menaikkan suku bunga acuannya pada Oktober tahun lalu maupun April tahun ini. "Jadi, menurut perkiraan kami, ketika BI-Rate turun, suku bunga SRBI akan turun lebih drastis dibandingkan penurunan BI-Rate itu sendiri," jelas Helmi, dikutip dari Antara.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa suku bunga SRBI tenor 12 bulan telah mengalami penurunan sekitar 25 bps dalam beberapa minggu terakhir, dari 7,5 persen menjadi 7,25 persen. Jika BI memulai penurunan suku bunga pada September mendatang, besar kemungkinan penurunan suku bunga SRBI akan mendahului penurunan BI-Rate. “Pada April lalu, ketika BI-Rate naik 25 bps, suku bunga SRBI naik hampir 60 bps. Jadi mungkin hal yang sama akan terjadi sebaliknya. Meskipun BI-Rate diperkirakan turun 25 bps, suku bunga SRBI bisa turun lebih dalam,” tambahnya.
Di tengah optimisme ini, Helmi juga mengingatkan adanya risiko ke depan yang perlu diwaspadai. Salah satu yang ia soroti adalah mengenai aliran modal masuk (inflow) ke pasar keuangan Indonesia, khususnya ke pasar Surat Berharga Negara (SBN). Menurut data global fund flows dari Citi, inflow ke negara-negara berkembang atau emerging markets secara keseluruhan belum menunjukkan kekuatan yang signifikan.
Helmi berpendapat bahwa inflow ke Indonesia saat ini mungkin masih merupakan dampak dari pergeseran posisi portofolio investor, bukan dari arus modal yang stabil dan signifikan ke emerging markets secara menyeluruh. “Implikasinya, kelanjutan inflow ke Indonesia yang kita lihat sekarang mungkin akan lebih sensitif terhadap perubahan valuasi atau fluktuasi harga aset keuangan kita,” ujarnya.
Selain itu, Helmi juga menyoroti risiko eksternal yang terkait dengan Pemilu AS yang akan datang. Pasar menantikan apakah pasca Pemilu AS tersebut akan muncul perang tarif baru antara Amerika Serikat dan Tiongkok. “Sebagaimana kita lihat selama pemerintahan Donald Trump 2016-2020, setiap kali AS memberlakukan tarif baru terhadap produk Tiongkok, Yuan Tiongkok biasanya terdevaluasi, menyebabkan penguatan dolar. Hal ini berpotensi menimbulkan risiko bagi nilai tukar negara-negara berkembang, karena China menjadi jangkar bagi mata uang emerging markets,” jelas Helmi.
Helmi juga menekankan pentingnya memantau posisi investor asing di Indonesia. Menurutnya, instrumen moneter jangka pendek di Indonesia mungkin akan mengalami pembalikan jika suku bunga domestik mulai turun. "Posisi asing di pasar instrumen jangka pendek di Indonesia cukup signifikan. Jika terjadi pembalikan, hal ini bisa mengurangi dampak positif dari arus modal masuk yang kini mengalir ke pasar SBN," pungkas Helmi. (*)