KABARBURSA.COM - Pemerintah mengumumkan rencananya untuk memperpanjang durasi penyimpanan Devisa Hasil Ekspor (DHE) untuk sektor Sumber Daya Alam (SDA).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kebijakan perpanjangan DHE masih dalam tahap finalisasi.
“DHE masih dalam perhitungan, nanti akan diumumkan,” kata Airlangga, di Jakarta, Senin, 13 Januari 2025.
Untuk diketahui, perpanjangan durasi penyimpanan DHE merupakan upaya pemerintah menstabilkan nilai rupiah. Sebelum ditetapkan, aturan DHE masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
Dalam regulasi tersebut, eksportir SDA yang bergerak di bidang pertambangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan dengan nilai ekspor minimal USD250 juta wajib menyimpan 30 persen dari devisa hasil ekspor di dalam negeri selama tiga bulan.
Pembahasan kelanjutan regulasi ini telah dibahas oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan dan Kementerian Perindustrian pada Jumat, 20 Desember 2024.
Pemerintah masih menyusun regulasi ini untuk diimplementasikan ke dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
“Setelah selesai, akan diumumkan dan diberlakukan sebulan kemudian,” kata Airlangga beberapa waktu lalu.
Sebagian Besar Sudah Patuh
Berdasarkan evaluasi pemerintah, penerapan perpanjangan durasi penyimpanan DHE sebesar 30 persen telah dipatuhi oleh 90 persen sektor SDA karena infrastruktur fasilitas oleh Bank Indonesia, OJK dan perbankan telah memiliki modelnya.
Hal ini dinilai memudahkan sehingga hanya tinggal menunggu itensifikasinya saja. Airlangga menuturkan, itensifikasi ini bakal mengacu kepada model yang telah diterapkan di beberapa negara tetangga.
Namun, ketika ditanya terkait dampaknya terhadap kinerja ekspor, Airlangga enggan berspekulasi. “Nanti kita lihat. Sekarang, ekspor-ekspor kita sudah relatif membaik,” ujarnya.
DHE Belum Efektif
Menanggapi terkait perpanjangan durasi penyimpanan DHE, Komite Kebijakan Ekonomi Apindo, Aviliani menilai penerapan DHE belum cukup signifikan karena devisa hasil ekspor masih lebih kecil dibandingkan kebutuhan ekspor.
“Gimana caranya supaya kita stabil? Salah satunya adalah DHE. Tapi DHE itu kan belum besar sekali sehingga masih lebih rendah dibandingkan impor kita,” tegasnya.
Di sisi lain, Apindo menilai sejumlah kebijakan seperti DHE, transaksi mata uang lokal (LCT), surat berharga rupiah berjangka (SRBI), dan surat berharga valuta asing (SVBI) belum cukup efektif dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Sebagai negara small open economy yang punya ketergantungan tinggi terhadap impor untuk produk minyak, pangan, layanan digital, teknologi informasi, kontribusi DHE tidak cukup signifikan karena nilai ekspornya kecil.
“Bisnis yang berbasis impor jelas terpukul. Biaya produksi mereka akan meningkat, sehingga sulit bersaing. Karena itu, ke depan pemerintah harus mulai memberikan insentif dan kebijakan untuk mendorong bisnis berbasis ekspor,” ujar Aviliani.
Impor Migas Gerus Devisa
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyebutkan bahwa impor minyak dan gas (migas) Indonesia menghabiskan devisa negara hingga Rp500 triliun setiap tahun.
Ia menjelaskan, kebutuhan minyak nasional mencapai 1,6 juta barel per hari, sementara produksi dalam negeri hanya mampu menyediakan sekitar 600.000 barel per hari. Untuk menutupi kekurangan ini, Indonesia terpaksa mengimpor sekitar 1 juta barel minyak setiap harinya.
“Setiap tahun, devisa negara terkuras Rp500 triliun. Kondisi ini memengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar yang cenderung fluktuatif, karena hukum permintaan dan penawaran terhadap dolar AS. Salah satu faktor terbesar kebutuhan dolar ini adalah pembelian energi,” ujar Bahlil dalam Rapat Nasional di Menara Bank Mega, Jakarta, Senin, 14 Oktober 2024.
Bahlil menambahkan, pemerintah tengah berupaya mengatasi tantangan ini dengan mendorong program penggunaan bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan. Salah satu langkah konkret adalah meningkatkan penggunaan biodiesel dari 40 persen (B40) menjadi 50 persen (B50), bahkan hingga 60 persen (B60).
Biodiesel, bahan bakar alternatif, diproduksi dari sumber-sumber organik seperti minyak kelapa sawit, kedelai, dan jarak pagar.
Selain itu, pemerintah juga mendorong transisi energi dengan mengganti BBM menggunakan listrik untuk kendaraan bermotor. Berdasarkan data terkini, 49 persen konsumsi BBM di Indonesia berasal dari sektor transportasi, sementara 30 persen lainnya dari sektor industri.
“Jika langkah ini berhasil, kita dapat mengalihkan sebagian kebutuhan energi ke energi baru dan terbarukan melalui optimalisasi kendaraan listrik,” ujar Bahlil.
Upaya lain yang dilakukan pemerintah termasuk meningkatkan lifting migas dengan mengoptimalkan sumur-sumur migas yang ada. Dari total 44.900 sumur migas di Indonesia, hanya sekitar 16.000 yang aktif.
“Dari 16.600 sumur aktif tersebut, sekitar 5.000 memiliki potensi besar untuk dioptimalkan. Target ini menjadi fokus kami, di samping terus melakukan eksplorasi guna menemukan potensi baru,” jelas Bahlil. (*)