KABARBURSA.COM – Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya di kisaran 4,25 persen–4,50 persen dalam rapat FOMC pada 7 Mei 2025, sebagaimana tertulis dalam pernyataan resminya di laman federalreserve.gov.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menilai keputusan The Fed menahan suku bunga acuannya pada Mei 2025 sebagai bentuk kehati-hatian yang diperhitungkan.
Menurutnya, meski inflasi di Amerika Serikat tengah mengalami tren penurunan, The Fed belum melihat adanya urgensi atau ruang yang cukup aman untuk segera melonggarkan kebijakan moneter.
“Ini bentuk kehati-hatian menurut saya, karena kalau melihat dari kondisi sekarang sebetulnya kan inflasi di Amerika sedang turun secara year-on-year. Di bulan April itu inflasinya berada di angka 2,3 persen,” ujar Faisal saat dihubungi KabarBursa.com, Senin, 19 Mei 2025.
Ia menjelaskan penurunan inflasi tersebut didorong oleh beberapa faktor, utamanya dari sisi harga-harga komoditas seperti gasoline dan energi. Harga pangan juga mengalami penurunan yang turut menekan laju inflasi.
Namun demikian, ada komponen inflasi yang justru meningkat, yakni dari sektor manufaktur, seperti kendaraan bermotor dan produk barang tahan lama lainnya. “Yang naik itu harga-harga barang-barang manufaktur, misalnya kendaraan. Tapi secara umum inflasi di bulan April itu lebih rendah dari bulan-bulan sebelumnya,” kata Faisal.
Ia merinci inflasi Maret tercatat 2,4 persen, Februari 2,8 persen, dan Januari 3 persen. Artinya, ada tren penurunan yang konsisten selama empat bulan terakhir.
Di tengah menurunnya inflasi, banyak pihak awalnya berharap The Fed segera melakukan pivot, yakni mulai menurunkan suku bunga acuan guna mendorong pemulihan ekonomi global yang masih rapuh. Namun, Faisal menggarisbawahi kehati-hatian The Fed cukup beralasan.
Terlalu cepat melonggarkan suku bunga justru bisa berisiko membalikkan kembali tren inflasi yang sudah mulai jinak. “Saya kira The Fed sangat memperhatikan sticky inflation, yaitu inflasi yang berasal dari sektor-sektor yang sulit turun dengan cepat, seperti jasa dan sektor properti. Ini yang membuat mereka memilih untuk menahan suku bunga,” jelasnya.
Faisal menilai The Fed tidak ingin mengulangi kesalahan masa lalu di mana penurunan suku bunga dilakukan terlalu cepat sehingga menyebabkan tekanan inflasi kembali membesar.
Kebijakan moneter yang hati-hati ini dinilai sebagai bentuk forward guidance agar pelaku pasar tidak buru-buru berspekulasi terhadap pelonggaran moneter dalam waktu dekat.
Dampak ke Pasar Global dan Indonesia
Keputusan The Fed untuk mempertahankan suku bunga di level 4,25 persen-4,50 persen tentu memberikan efek ke berbagai pasar di dunia, tak terkecuali Indonesia. Nilai tukar rupiah, pasar obligasi, hingga arus modal asing menjadi sektor-sektor yang paling terpengaruh dari arah kebijakan bank sentral AS tersebut.
Menurut Faisal, respons pasar Indonesia akan sangat tergantung pada persepsi risiko terhadap negara berkembang. Jika The Fed tetap mempertahankan suku bunga tinggi dalam waktu lebih lama, maka potensi tekanan terhadap nilai tukar dan capital outflow akan meningkat.
“Bagi Indonesia, kondisi seperti ini menuntut Bank Indonesia juga berhati-hati. Mereka harus menjaga daya tarik aset domestik agar tidak ditinggalkan investor asing, terutama jika imbal hasil di AS masih tinggi,” katanya.
Namun demikian, ia juga mencermati bahwa pasar finansial domestik telah mulai mengantisipasi langkah The Fed ini. Dengan beg, tekanan yang muncul mungkin tidak sebesar jika keputusan tersebut datang tanpa ekspektasi pasar sebelumnya.
“Pasar sudah mengantisipasi bahwa The Fed belum akan memangkas suku bunga dalam waktu dekat. Jadi reaksi pasar tidak terlalu liar, walau tetap ada volatilitas di pasar keuangan,” jelasnya.
Faisal menilai keputusan The Fed bukan semata soal inflasi. Ada dimensi lain yang menjadi pertimbangan, seperti stabilitas sistem keuangan dan dinamika pasar tenaga kerja di AS. Ia mencermati pasar tenaga kerja Amerika masih cukup kuat dengan tingkat pengangguran yang rendah dan pertumbuhan upah yang masih relatif tinggi.
“Kalau sektor tenaga kerja masih ketat, artinya ada risiko inflasi upah. Ini yang juga mereka perhitungkan,” ujarnya.
Kondisi tersebut membuat The Fed menilai belum saatnya memberikan stimulus baru melalui pemangkasan suku bunga. Selama pasar tenaga kerja tetap panas, ada risiko bahwa permintaan agregat akan tetap tinggi dan mendorong inflasi naik kembali.
Dengan ketidakpastian arah kebijakan The Fed, Faisal mengingatkan pentingnya strategi domestik yang responsif namun tidak reaktif. Ia menekankan Indonesia harus memperkuat fondasi ekonomi dalam negeri, termasuk menjaga stabilitas harga, memperbaiki neraca transaksi berjalan, dan meningkatkan ketahanan sektor keuangan.
“Dalam situasi seperti ini, jangan terlalu bergantung pada sinyal dari luar. Kita harus fokus memperkuat ekonomi domestik,” ujarnya.
Ia juga mendorong agar pemerintah dan Bank Indonesia terus berkoordinasi erat dalam menjaga stabilitas makroekonomi. Koordinasi fiskal dan moneter, menurutnya, sangat krusial dalam menghadapi dinamika global yang terus berubah.
“Stabilitas itu kuncinya. Kalau kita stabil, investor tetap percaya meskipun tekanan global naik,” kata Faisal.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.