KABARBURSA.COM – Chief Economist Citibank Indonesia, Helmi Arman memprediksi, The Fed akan menurunkan suku bunga acuannya menjelang akhir tahun 2024. Adapun hal itu dia ungkap mengacu pada tren ekonomi Amerika Serikat (AS).
“Dalam pandangan kami, siklus penurunan suku bunga AS ini sudah semakin dekat,” kata Helmi di Jakarta, Jumat 16 Agustus 2024.
Helmi menuturkan, berdasarkan tren data AS dalam beberapa minggu terakhir, sektor manufaktur di negara tersebut semakin menunjukan pelemahan kinerja. Dia menilai, tekanan inflasi AS saat ini mengalami penurunan meski masih berada di atas level 2 persen.
Kendati begitu belum mencapai 2 persen, kata Helmi, akselerasi tingkat pengangguran di AS dianggap sebagai leading indicator untuk tekanan inflasi ke depannya. Dengan demikian, kata dia, Citi Indonesia melihat adanya peluang soft landing di AS semakin menurun.
“Pandangan kami, perekonomian Amerika Serikat semakin mengarah ke resesi,” jelasnya.
Karenanya, Helmi menilai, suku bunga The Fed akan bergerak turun dengan cepat di awal siklus penurunannya. Helmi memprediksi, penurunan suku bunga The Fed akan menyusut dalam beberapa periode di sisa akhir tahun 2024.
“Kami perkirakan di bulan September besok ini 50 basis point turun suku bunga The Fed, dan diikuti 50 basis point lagi di bulan Oktober. Dan setelah itu diikuti dengan penurunan sebesar 25 basis point pada setiap pertemuan,” ungkapnya.
Dengan begitu, Citi Indonesia memprediksi penurunan suku bunga The Fed di sisa akhir tahun 2024 mencapai 3,25 persen. Hal itu diperkuat dengan kondisi pasar keuangan global yang telah terefleksikan.
Adapun hal tersebut dapat dilihat dari kurva imbal-hasil AS yang mengalami penurunan dalam beberapa minggu terakhir. Begitu pula dengan penurunan dollar indeks yang terjadi di level 102 dari posisi awal Juli sekitar 105.
Sementara itu, tutur Helmi, Indonesia mencatat peningkatan arus modal yang masuk ke pasar keuangan. Dalam beberapa minggu terakhir, dia menyebut peningkatan arus modal terlihat cukup signifikan, khususnya aliran modal masuk ke pasar surat berharga negara (SDN).
Di sisi lain, Helmi juga mencatat arus modal yang juga mengalir ke pasar saham. Hal itu terlihat dari kondisi pasar saham yang net inflow. Dengan meningkatnya arus modal ke pasar keuangan Indonesia, Helmi menilai adanya keseimbangan demand dan supply valas di pasar valas domestik yang semakin membaik.
Sementara itu, tekanan inflasi juga tercatat terjaga berdasarkan rilis data Badan Pusat Statistik (BPS). Meski inflasi terjaga, Helmi menilai dinamika pasokan bahan pangan tetap harus diperhatikan.
Saat ini, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di atas 5 persen di kuartal ke II tahun 2024. Kendati begitu, tercatat sektor manufaktur cenderung melemah dan tidak merata antar subsector sehingga supply diprediksi bisa diberi stimulus.
“Jadi dalam hemat kami peluang penurunan suku bunga kebijakan di Indonesia ini sudah semakin terbuka. Memingat kondisi global dan juga kondisi domestik,” ungkapnya.
Sementara itu, suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) 12 bulan sudah mengalami penurunan selama beberapa minggu terakhir dengan rata-rata 25 basis point dari sekitar 7,5 ke sekarang berada di kisaran 7,25.
“Dan perkiraan kami suku bunga kebijakan BI yang 7 hari atau BI rate ini juga akan mulai turun di bulan September tahun ini,” jelasnya.
Namun demikian, Helmi mengingatkan bahwa masih ada beberapa risiko ke depan yang perlu kita pantau. Pertama, meski inflow ke pasar keuangan Indonesia terutama ke pasar SBN, Citi Indonesia menilai modal masuk keseluruh negara berkembang belum begitu kuat jiak melihat dari data Global Fund Flows City.
“Jadi kami menduga ada indikasi bahwa inflow yang masuk ke Indonesia ini masih merupakan gejala atau akibat dari pergeseran posisi investor dalam portfolio-nya. Sementara portfolio-nya sendiri mungkin belum menerima inflow yang signifikan secara keseluruhan,” jelasnya.
Dengan demikian, kata Helmi, data tersebut berimplikasi pada keberlanjutan inflow ke Indonesia yang relatif lebih sensitif terhadap dinamika valuasi atau pergerakan harga-harga aset keuangan dalam negeri.
Di sisi lain, risiko eksternal juga terus membayangi kondisi pasar keuangan domestik, di mana Pemilu di AS akan digelar pada akhir tahun 2024. Pasar keuangan dalam negeri masih memastikan perang perang babak baru antara AS dengan Tiongkok.
“Sebagaimana kita lihat pada pemerintahan Presiden Trump 2016-2020, itu setiap terjadi pengenaan tarif dari AS terhadap barang-barang Tiongkok itu biasanya diikuti oleh penguatan dolar karena mata uang Tiongkok atau Chinese Yuan itu terdevaluasi,” ungkapnya.
Risiko terakhir bagi pasar keuangan domestik, mengenai posisi investor asing. Helmi menilai ada instrumen monitor jangka pendek di Indonesia yang dapat berbalik jika nanti suku bunga domestik itu bergerak turun.
Diketahui, posisi asing di instrumen uangan jangka pendek di Indonesia cukup signifikan. Sehingga, kalau itu berbalik, hal ini dapat menetralisasi dampak positif dari arus modal masuk yang sekarang mengalir ke pasar SBN.
“Sehingga secara keseluruhan perkiraan kami adalah bahwa kadar penurunan BI rate dalam siklus penurunan suku bunga kali ini yaitu hingga akhir 2025 perkiraan kami adalah bahwa kadar penurunan BI rate kemungkinan akan lebih lambat dibandingkan dengan kadar penurunan suku bunga terbetul,” tutupnya.(*)