Logo
>

Suku Bunga The Fed Turun: Peluang Investasi atau Perangkap Resesi?

Ditulis oleh Dian Finka
Suku Bunga The Fed Turun: Peluang Investasi atau Perangkap Resesi?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed) sering kali dianggap sebagai sinyal positif bagi negara berkembang dalam menarik investasi asing. Namun, Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), mengingatkan bahwa limpahan investasi yang terjadi akibat kebijakan ini bisa bersifat sementara.

    "Alasannya, ketika sinyal resesi ekonomi mulai muncul, investor dapat dengan cepat menarik dananya kembali," ujar Bhima dalam wawancara dengan Kabarbursa.com pada Sabtu, 21 September 2024.

    Bhima menjelaskan bahwa meskipun pemangkasan suku bunga oleh The Fed dapat mendorong penguatan nilai tukar rupiah dan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dampak positif tersebut harus diwaspadai. Risiko capital reversal atau pembalikan modal sangat mungkin terjadi, terutama jika kondisi ekonomi global atau domestik di Amerika Serikat (AS) memburuk.

    "Perlu diwaspadai potensi capital reversal, yakni ketika arus masuk modal ke suatu negara tiba-tiba berhenti atau bahkan berbalik arah, jika ekonomi global atau domestik AS mengalami penurunan," tegas Bhima.

    Di sisi lain, ada juga dampak positif dari pemangkasan suku bunga ini. Bhima menyebutkan bahwa kebijakan ini dapat menurunkan biaya pinjaman, yang akan meringankan beban pelaku usaha, khususnya di sektor manufaktur. Penurunan biaya pinjaman dapat memberikan peluang bagi pelaku usaha untuk lebih berkembang.

    Selain itu, kelas menengah juga akan mendapatkan manfaat dari kebijakan ini. Beban bunga mengambang (floating rate) untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dapat turun, sehingga memudahkan masyarakat dalam membeli rumah. "Kelas menengah diuntungkan karena suku bunga KPR yang lebih rendah," tambah Bhima.

    Di tingkat domestik, Bank Indonesia (BI) merespons langkah The Fed dengan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin. Kebijakan ini dipandang sebagai langkah yang tepat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Harapannya, bank-bank di Indonesia segera menurunkan suku bunga kredit sehingga dampak positif dari kebijakan tersebut dapat segera dirasakan oleh masyarakat dan dunia usaha.

    Bhima menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa penting bagi semua pihak untuk terus memantau perkembangan ekonomi global serta dampaknya terhadap perekonomian domestik.

    Indikator Pangkas Suku Bunga

    Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengungkapkan alasan di balik keputusan BI untuk memangkas suku bunga acuan lebih cepat dibandingkan Federal Reserve (The Fed). Menurutnya, ada lima faktor utama yang mendasari langkah ini.

    Pertama, BI menilai bahwa arah penurunan suku bunga oleh The Fed sudah semakin jelas, baik dari segi waktu maupun besarannya. BI memperkirakan bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga sebanyak tiga kali pada tahun 2024, yakni pada September, November, dan Desember, dengan setiap penurunan sebesar 25 basis poin. Selain itu, The Fed juga diperkirakan akan melakukan empat kali penurunan suku bunga lagi pada tahun 2025.

    Kedua, penguatan nilai tukar rupiah pada September 2024 menjadi salah satu pertimbangan penting. Nilai tukar rupiah tercatat menguat sebesar 0,78 persen, menjadi Rp15.330 per USD dibandingkan posisi akhir Agustus 2024. Perry menjelaskan bahwa penguatan ini didorong oleh konsistensi kebijakan moneter BI serta meningkatnya aliran masuk modal asing. Penguatan rupiah ini bahkan tercatat lebih tinggi dibandingkan apresiasi mata uang regional lainnya, seperti Won Korea yang menguat 0,32 persen dan Rupee India sebesar 0,13 persen.

    Ketiga, inflasi yang terkendali dalam kisaran sasaran 2,5±1 persen menjadi faktor lain yang mendukung kebijakan BI. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Agustus 2024 tercatat sebesar 2,12 persen (year-on-year), yang menunjukkan bahwa inflasi di semua komponen tetap rendah dan stabil.

    Keempat, kebijakan ini juga bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya di sektor perdagangan dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Selain itu, BI terus memperkuat infrastruktur sistem pembayaran dan memperluas akseptasi digitalisasi dalam sistem pembayaran di Indonesia. Perry menambahkan bahwa kebijakan makroprudensial yang longgar terus dijalankan untuk mendorong pertumbuhan kredit dan pembiayaan, dengan fokus pada sektor-sektor prioritas seperti UMKM dan ekonomi hijau, sambil tetap menjaga prinsip kehati-hatian.

    Kelima, pertumbuhan kredit yang solid menjadi indikasi positif bagi kebijakan BI. Pada Agustus 2024, pertumbuhan kredit tercatat sebesar 11,40 persen (year-on-year), yang didukung oleh permintaan kredit yang kuat, pendanaan yang memadai, serta realokasi likuiditas perbankan ke kredit. Selain itu, Bank Indonesia telah memberikan insentif Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) sebesar Rp256,1 triliun hingga minggu kedua September 2024. Insentif ini disalurkan kepada berbagai kelompok bank, termasuk BUMN sebesar Rp118,6 triliun, BUSN sebesar Rp110,5 triliun, BPD sebesar Rp24,4 triliun, dan KCBA sebesar Rp2,6 triliun.

    Perry menutup dengan menegaskan pentingnya kebijakan ini untuk menjaga stabilitas ekonomi serta mendorong pertumbuhan kredit dan penciptaan lapangan kerja di sektor-sektor strategis. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.