KABARBURSA.COM - Survei Bank Indonesia (BI) memperkirakan penjualan eceran meningkat pada Mei 2025 karena didorong oleh beberapa kelompok.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso mengatakan, Indeks Penjualan Riil (IPR) Mei 2025 diperkirakan tumbuh sebesar 2,6 persen year on year (yoy).
"Meningkat dibandingkan bulan sebelumnya, sehingga mencapai level 234,0," ujar dia dalam keterangannya, Jumat, 13 Juni 2025.
Ramdan menyampaikan peningkatan kinerja penjualan tersebut didorong oleh Kelompok barang budaya dan rekreasi, makanan, minuman, dan tembakau, dan subkelompok sandang.
Secara bulanan, kata dia, penjualan eceran pada Mei 2025 diperkirakan mencatat kontraksi sebesar 0,6 persen mont to mont (mtm). Catatan ini tidak sedalam kontraksi pada bulan sebelumnya.
"Beberapa kelompok yang mengalami peningkatan penjualan adalah Kelompok perlengkapan rumah tangga lainnya dan barang budaya dan rekreasi, sejalan dengan peningkatan permintaan pada periode libur dalam rangka Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Waisak dan Kenaikan Yesus Kristus," jelas dia.
Adapun pada April 2025, IPR tercatat sebesar 235,5, relatif stabil dibandingkan dengan IPR periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 236,3 terutama didukung oleh tetap tumbuhnya kelompok suku cadang dan aksesori, bahan bakar kendaraan bermotor, serta barang budaya dan rekreasi.
Ramdan menerangkan, secara bulanan penjualan eceran pada April 2025 terkontraksi sebesar 5,1 persen (mtm), dipengaruhi oleh penurunan mayoritas kelompok barang seiring dengan normalisasi permintaan masyarakat pasca-periode Ramadan dan HBKN Idulfitri.
Dari sisi harga, lanjut Ramdan, tekanan inflasi tiga dan enam bulan yang akan datang, yaitu pada Juli dan Oktober 2025 diprakirakan menurun.
"Hal ini tecermin dari Indeks Ekspektasi Harga Umum (IEH) Juli dan Oktober 2025 yang masing-masing tercatat sebesar 141,9 dan 144,5, lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya yang masing-masing tercatat sebesar 146,4 dan 153,1" pungkasnya.
Ekonomi RI Tertekan, Pemerintah Andalkan Daya Beli
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi lebih rendah.
Dalam laporan terbarunya, lembaga internasional tersebut memperkirakan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 4,7 persen pada 2025 dan naik tipis menjadi 4,8 persen pada 2026.
Penurunan proyeksi ini mencerminkan tantangan global yang masih membayangi, mulai dari goyahnya kepercayaan pasar, hambatan perdagangan internasional, hingga tekanan akibat mahalnya biaya pinjaman. Semua faktor tersebut turut menekan laju konsumsi dan investasi, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain.
Merespons situasi ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menjaga daya beli sebagai strategi utama menjaga pertumbuhan ekonomi nasional.
“Bagi Indonesia, kita melihat ke depan bagaimana kita bisa menjaga daya beli masyarakat sehingga kita bisa menjaga pertumbuhan (ekonomi),” ujar Airlangga dalam konferensi pers virtual bertajuk Perkembangan Kesiapan Indonesia menuju Keanggotaan OECD. Jakarta, Jumat 6 Juni 2025.
Airlangga menambahkan bahwa pemerintah telah menyiapkan lima kebijakan stimulus yang ditujukan untuk mendukung industri padat karya sekaligus memperkuat konsumsi domestik.
Kelima stimulus tersebut meliputi potongan harga tiket transportasi, diskon tarif tol, peningkatan bantuan sosial dan distribusi pangan, subsidi upah bagi pekerja, serta perpanjangan insentif berupa pengurangan iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).
Menurut Airlangga, pendekatan serupa juga tengah dilakukan oleh negara-negara anggota OECD lainnya yang menghadapi tekanan ekonomi global. Mereka pun menggulirkan berbagai paket kebijakan untuk menjaga konsumsi masyarakatnya agar tetap stabil.
“Memang kami juga monitor dari berbagai negara di OECD, sebagian besar juga membuat paket-paket agar bisa menjaga daya beli masyarakatnya dalam situasi seperti sekarang,” ujarnya.
Airlangga menekankan bahwa perlambatan ekonomi saat ini bukanlah fenomena yang hanya menimpa Indonesia. Ia menyebut tekanan global yang dipicu oleh kebijakan dagang proteksionis Amerika Serikat dan pengetatan likuiditas global menjadi pemicu utama.(*)