Logo
>

Tantangan Industri Asuransi di 2025: Dinamika Global hingga Kebijakan Domestik

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Tantangan Industri Asuransi di 2025: Dinamika Global hingga Kebijakan Domestik

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Presiden Direktur PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia Tbk (TUGU) Tatang Nurhidayat, mengungkapkan sejumlah tantangan yang akan dihadapi industri asuransi pada tahun 2025. Tantangan tersebut mencakup dinamika global, kebijakan domestik, hingga implementasi standar akuntansi baru yang dinilai mempengaruhi stabilitas industri ke depan.

    Tatang menyoroti kondisi global sebagai salah satu faktor utama. Peningkatan risiko akibat bencana alam, seperti kebakaran besar di Los Angeles (LA), menjadi ancaman nyata bagi sektor asuransi.

    "Sekarang ada kejadian bencana ya (LA), jadi kondisi global ini menyebabkan peningkatan risiko lah. Sehingga akan meningkatkan juga harga reaksionasi," ujar Tatang saat ditemui Kabarbursa.com di Jakarta Pusat, Kamis 23 Januari 2025.

    Selain itu, stabilitas ekonomi dan politik turut menjadi perhatian besar. Menurut Tatang, investasi serta kemampuan konsumen untuk membayar premi akan menjadi faktor kunci yang memengaruhi industri.

    "Kan kita juga salah satu yang penting kan investasi. Investasi dan lainnya juga termasuk kolektibilitas, kan kalau ini konsumen mampu nggak mampu bayar, gimana?" jelasnya.

    Tantangan Domestik dan Kebijakan Baru

    Di tingkat domestik, kebijakan terkait kenaikan modal perusahaan asuransi menjadi tantangan yang tidak kalah besar. Beberapa perusahaan menghadapi risiko tinggi akibat tekanan untuk memenuhi persyaratan modal tersebut.

    "Kalau yang nggak mampu memenuhi itu, di saat-saat akhir ini apakah mampu memenuhi atau mencoba hal terakhir dengan apapun yang dia lakukan, yang ini kan berisiko sekali," ungkap Tatang.

    Ia juga menyoroti persaingan pasar yang semakin ketat akibat berbagai kebijakan perusahaan dalam menghadapi risiko pasar.

    "Kalau ternyata jadinya greedy, kan jadi masalah jangka panjang buat industri," tambahnya.

    Selain itu, implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) menjadi sorotan utama. Menurut Tatang, perbedaan antara laporan keuangan berbasis PSAK baru dan laporan perpajakan menciptakan tantangan besar bagi perusahaan.

    "Kebayang kalau company yang secara PSAK baru performa nggak bagus, tapi eksposur pajaknya tetap tinggi kan dua kali ya. Itu juga jadi tantangan," katanya.

    Ia menambahkan bahwa perbedaan metodologi dalam perlakuan risiko akibat standar baru ini, terutama terkait risiko yang dianggap merugikan (onerous), juga memerlukan perhatian khusus.

    "Kalau yang onerous actualnya juga onerous, ya memang harus dihindari atau perlu ada hal baru," tambahnya.

    Harapan pada Stabilitas Politik

    Lebih jauh, Tatang berharap agar pemerintahan baru dapat menciptakan stabilitas politik yang lebih baik. Menurutnya, dengan selesainya agenda politik seperti pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada), pemerintah dapat lebih fokus pada penguatan ekonomi.

    "Kita berharap stabilitas keamanan politik itu, hal-hal yang nggak perlu-nggak perlu, sudahlah ya. Sehingga kita fokus sekarang ke hal-hal yang perlu-perlu, yaitu ekonomi," ungkapnya.

    Selain itu, menurut Tatang dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut. Dia menegaskan pentingnya penguatan infrastruktur serta peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam menghadapi perubahan yang terus terjadi.

    "Sense kita terhadap hal yang baru, hal yang tidak common, itu juga perlu diperkuat," tuturnya.

    Tantangan Asuransi Indonesia 

    Sementara itu, Presiden Direktur Lifepal Eko Waluyo mengatakan, penetrasi asuransi di Indonesia meningkat sebesar 2,29 persen pada 2023 menjadi 2,80 persen pada 2024.

    Meski terjadi peningkatan yang cukup signifikan, namun masih ada tantangan yang harus dihadapi, salah satunya adalah mengejar ketertinggalan dengan negara tetangga.

    “Pada 2023, penetrasi Indonesia sudah tertinggal dari negara-negara tetangga. Sebagai perbandingan, tingkat penetrasi asuransi di Malaysia mencapai 4,8 persen dan di Singapura 11,4 persen,” kata Eko dalam keterangannya, Kamis, 19 Desember 2024.

    Eko menjelaskan, penyebab ketertinggalan Indonesia dengan negara tetangga adalah karena jumlah asuransi di kedua negara tersebut lebih sedikit. Selain itu, kebijakan wajib asuransi dan kesadaran masyarakat di dua negara tersebut juga lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.

    Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2023, tingkat literasi masyarakat terhadap kesadaran asuransi hanya 32 persen. Dari jumlah tersebut 16 persennya memutuskan membeli polis asuransi.

    “Sebagai negara yang berada di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire), Indonesia menghadapi risiko bencana alam yang sangat tinggi, mulai dari gempa bumi hingga letusan gunung berapi. Di tengah tingginya potensi risiko ini, asuransi seharusnya menjadi salah satu alat utama dalam mengelola dan memitigasi risiko, khususnya bagi yang memiliki aset berharga seperti kendaraan pribadi atau mobil,” ujarnya.

    Eko menilai, faktor yang menyebabkan rendahnya penetrasi literasi asuransi adalah karena stigma masyarakat terkait dengan asuransi masih sebagai kebutuhan sekunder. Stigma seperti ini, kata dia, banyak dimiliki oleh masyarakat berpenghasilan rendah sehingga memprioritaskan kebutuhan pokok.

    Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap asuransi juga disebabkan karena trauma masyarakat terhadap kasus perusahaan asuransi yang gagal bayar. Kasus ini ramai dibicarakan media sehingga mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap asuransi.

    “Kondisi ini memperparah tantangan untuk meningkatkan kesadaran dan kepercayaan masyarakat terhadap pentingnya asuransi,” terangnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.