Logo
>

Tarif Impor AS 32 Persen Jadi Alarm, Kemiskinan PR Besar

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Tarif Impor AS 32 Persen Jadi Alarm, Kemiskinan PR Besar
Ilustrasi. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

KABARBURSA.COM - Kritik terhadap angka kemiskinan tidak boleh hanya berujung pada “keriuhan politik” semata. Yang dibutuhkan adalah pembenahan sistematis: dari metode penghitungan, basis data, hingga eksekusi kebijakan. 

Dalam menghadapi tekanan global seperti tarif dagang AS, Indonesia butuh pijakan kuat dari dalam—termasuk dalam memastikan bahwa kemiskinan tak hanya turun di atas kertas, tapi juga benar-benar terasa dalam kehidupan masyarakat.

Etika pemerintah Amerika Serikat menetapkan tarif impor sebesar 32 persen untuk produk baja dan aluminium asal Tiongkok, dampaknya tak hanya mengguncang neraca dagang global, tetapi juga menyentil kebijakan perdagangan Indonesia.

Di tengah tekanan global itu, Ekonom Bright Institute Awalil Rizky, menilai bahwa Indonesia seharusnya lebih kritis terhadap relasi dagang internasional dan memperkuat fondasi ekonomi domestik, termasuk dalam penanganan kemiskinan.

Awalil menyoroti bagaimana perbedaan pendekatan antara Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur kemiskinan justru menjadi cermin betapa pentingnya Indonesia memiliki standar yang kuat dan sesuai konteks nasional.

“Bank Dunia memakai tiga ukuran garis kemiskinan, dan untuk negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia, digunakan batas USD6,85 per hari dalam kurs Purchasing Power Parity (PPP) 2017. Dengan ukuran ini, tingkat kemiskinan Indonesia mencapai 60,03 persen pada 2024,” ujar Awalil, mengutip laporan Macro Poverty Outlook 2025, Minggu 4 Mei 2045

Angka itu tentu bertolak belakang dengan data BPS yang mencatat tingkat kemiskinan Indonesia hanya 9,03 persen per Maret 2024, dan bahkan turun menjadi 8,57 persen per September 2024. Namun, menurut Awalil, bukan angka semata yang perlu diperdebatkan, melainkan kejelasan pendekatan dan kemampuan negara dalam memperkuat ketahanan sosial-ekonomi rakyatnya.

"Ukuran Bank Dunia lebih berguna untuk perbandingan antarnegara. Ukuran BPS tampak lebih menggambarkan kondisi Indonesia dan cukup berguna bagi dasar pengambilan kebijakan pemerintah," katanya.

Dalam kondisi saat ini, di mana ketegangan dagang kian memuncak, termasuk dari langkah Amerika yang menerapkan tarif resiprokal terhadap berbagai negara, termasuk mitra-mitra strategisnya, Awalil menilai Indonesia perlu mengevaluasi kembali posisi tawarnya.

Menurutnya, Indonesia tak bisa terus-menerus tunduk pada tekanan global tanpa memperkuat data dan kebijakan internal. Misalnya, soal kemiskinan, Garis Kemiskinan (GK) versi BPS dihitung berdasarkan kemampuan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan, dan nilainya disesuaikan dua kali dalam setahun melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

"Garis Kemiskinan nasional pada Maret 2024 sebesar Rp582.932 per kapita per bulan. Dengan rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,78 orang, maka GK rumah tangga sekitar Rp2.786.415 per bulan," ungkapnya.

Ia menekankan pentingnya pemahaman bahwa garis kemiskinan bukan hanya angka, tapi mencerminkan struktur ekonomi dan daya beli masyarakat. Oleh karena itu, kritik publik terhadap data BPS yang dianggap “terlalu rendah” justru menunjukkan perlunya edukasi tentang bagaimana data tersebut dibentuk.

Kebijakan perdagangan dan ekonomi global, seperti tarif 32 persen dari Amerika Serikat terhadap produk asing, bisa saja berdampak tidak langsung terhadap Indonesia. Namun, Awalil mengingatkan bahwa reaksi Indonesia seharusnya tidak sekadar reaktif, melainkan berbasis pada kekuatan data dan strategi ekonomi nasional.

"Ukuran BPS masih perlu diperbaiki dan kemungkinan memang perlu lebih tinggi dari saat ini. Akan tetapi, perbaikannya bukan atas dasar 'keriuhan', melainkan evaluasi atau kajian atas hasil perhitungan selama ini,"jelas Awalil.

Untuk diketahui, Selama hampir tiga dekade terakhir, Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam tingkat kemiskinan, meskipun lajunya cenderung melambat dalam sepuluh tahun terakhir. 

Hal ini terlihat dari dua grafik yang menggambarkan tren kemiskinan berdasarkan tiga ukuran berbeda: ukuran nasional versi BPS, serta ukuran internasional berdasarkan standar Bank Dunia untuk kategori pendapatan menengah atas dan menengah bawah.

Ukuran Nasional (BPS)

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa:

  • Pada tahun 1998, puncak krisis ekonomi, tingkat kemiskinan mencapai 24,2 persen.
  • Sejak itu, angka tersebut menurun secara bertahap hingga menjadi 9,03 persen pada Maret 2024.

Penurunan kemiskinan berdasarkan ukuran BPS terbagi ke dalam dua dekade:

  • 2004–2014: terjadi penurunan sebesar 5,41 poin persentase.
  • 2014–2024: penurunannya lebih lambat, hanya 2,22 poin persentase.

Ini menunjukkan bahwa meskipun upaya pengentasan kemiskinan terus berjalan, efektivitasnya dalam dekade terakhir sedikit melambat dibanding periode sebelumnya.

Ukuran Internasional (Bank Dunia) – Kategori Menengah Atas (USD6,85 PPP)

Jika menggunakan standar Bank Dunia untuk negara berpendapatan menengah atas, Indonesia juga mencatat kemajuan signifikan:

  • Tahun 1998: 98,6 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan versi ini.
  • Tahun 2024: angka itu turun menjadi 55,5 persen.

Rincian penurunannya:

  • 2004–2014: turun sebesar 15,2 poin persentase.
  • 2014–2024: penurunan bahkan lebih besar, mencapai 17,2 poin persentase.

Proyeksi hingga 2027 menunjukkan tren penurunan masih akan berlanjut, meski tantangannya bisa semakin kompleks seiring peningkatan biaya hidup dan dinamika ekonomi global.

Ukuran Internasional (Bank Dunia) – Kategori Menengah Bawah (USD3,65 PPP)

Ukuran yang lebih konservatif ini menunjukkan tingkat kemiskinan yang relatif lebih rendah dibanding standar $6,85, tetapi tetap menggambarkan kondisi rawan:

  • Tahun 1998: 91,1 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan ini.
  • Tahun 2024: angkanya turun drastis menjadi 15,6 persen.

Detail penurunan:

  • 2004–2014: terjadi penurunan tajam sebesar 23,9 poin persentase.
  • 2014–2024: penurunan kembali lebih besar, yaitu 27,2 poin persentase.

Artinya, jika menggunakan standar hidup yang lebih sederhana ($3,65 PPP), Indonesia telah berhasil mengangkat sebagian besar penduduknya keluar dari kemiskinan ekstrem.

Secara keseluruhan, baik menurut ukuran nasional maupun internasional, tren penurunan kemiskinan di Indonesia terus berlangsung. Namun, keberhasilan ini disertai tantangan:

  • Penurunan menurut ukuran BPS melambat, menandakan bahwa kelompok miskin tersisa mungkin lebih sulit dijangkau dengan pendekatan konvensional.
  • Perbedaan antara ukuran nasional dan internasional menunjukkan bahwa meskipun banyak orang sudah tidak dikategorikan miskin menurut BPS, mereka masih tergolong miskin menurut standar global, terutama di ukuran $6,85 PPP.
  • Proyeksi hingga 2027 optimistis, namun diperlukan kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan untuk memastikan kemiskinan tidak hanya menurun secara statistik, tetapi juga secara nyata dalam kualitas hidup masyarakat.

Kemiskinan: Menurun tapi Masih Jadi Tantangan

Jika ditarik ke belakang, kemiskinan Indonesia memang terus menurun. Tahun 1998, saat krisis moneter menghantam, angka kemiskinan versi BPS tembus 24,2 persen. Dua dekade kemudian, angka itu turun menjadi hanya 9,03 persen pada Maret 2024. 

Tapi di dekade terakhir, laju penurunannya melambat. Antara 2004–2014 penurunan mencapai 5,41 poin, sementara 2014–2024 hanya 2,22 poin. Ini bisa jadi tanda bahwa masyarakat yang tersisa dalam kategori miskin adalah kelompok paling rentan yang membutuhkan pendekatan lebih holistik.

Jika pakai standar Bank Dunia, ceritanya agak beda. Untuk kategori pendapatan menengah atas (USD6,85 PPP), angka kemiskinan Indonesia turun dari 98,6 persen pada 1998 jadi 55,5 persen di 2024. Artinya, lebih dari separuh penduduk Indonesia masih dianggap miskin menurut standar global. 

Tapi sisi baiknya, penurunan cukup besar di dekade terakhir: 17,2 poin. Bahkan, jika menggunakan ukuran USD3,65 PPP (kategori menengah bawah), angka kemiskinan sudah tinggal 15,6 persen.

Data Ada, Tantangannya Real

Melihat angka-angka tadi, jelas bahwa Indonesia sudah berjalan jauh dalam mengurangi kemiskinan. Tapi data juga menunjukkan bahwa PR kita belum selesai. Banyak warga yang meski “tidak miskin” versi BPS, tapi masih tergolong rentan dan berisiko tergelincir kembali.

Ke depan, proyeksi Bank Dunia memperkirakan tren penurunan masih akan berlanjut hingga 2027, tapi tantangannya makin kompleks. Kenaikan biaya hidup, ketidakpastian global, dan perlambatan ekonomi bisa menghambat laju tersebut. 

Maka, kebijakan publik harus semakin inklusif dan tajam dalam mengintervensi titik-titik krusial.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.