KABARBURSA.COM - Di tengah kebijakan tarif resiprokal yang dikenakan terhadap 100 mitra dagang, Indonesia menjadi salah satu negara yang terdampak dengan tarif sebesar 32 persen. Meski demikian, Fraksi Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru melihat peluang dalam dinamika ekonomi global saat ini.
Berdasarkan laporan yang disusun oleh tenaga ahli Fraksi Demokrat Bidang Ekonomi, kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Trump dapat menjadi peluang Indonesia meningkatkan daya saing ekspor serta menarik investasi baru.
“Indonesia dapat memanfaatkan situasi ini untuk meningkatkan daya saing ekspor dan menarik investasi baru yang sebelumnya berfokus pada pasar Amerika Serikat,” tulisnya dalam laporan Analisis Singkat Kebijakan Tarif Trump yang diterima oleh Kabar BUrsa, Jumat, 4 April 2025.
Adapun beberapa peluang utama yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia dalam kondisi ini, yakni:
Pertama, diversifikasi pasar ekspor. Adanya tarif tinggi dari Amerika Serikat terhadap negara-negara mitra dagang utama, beberapa negara diperkirakan akan mencari alternatif pemasok di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia.
Beberapa sektor potensial yang bisa dieksplorasi lebih jauh adalah elektronik, tekstil dan alas kaki, karet, furnitur, serta makanan laut.
Kedua, Indonesia memiliki kesempatan untuk meningkatkan Foreign Direct Investment (FDI). Seiring dengan meningkatnya ketidakpastian di Amerika Serikat, banyak perusahaan multinasional yang berpotensi memindahkan produksi mereka ke negara yang lebih stabil, khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Di sini, Vietnam dan Meksiko menjadi pesaing utama, namun Indonesia dapat menawarkan insentif pajak dan infrastruktur yang lebih baik untuk menarik para investor.
Ketiga, peluang untuk meningkatkan perdagangan dengan China dan India. Ketegangan perdagangan dengan Amerika Serikat dapat membuat China dan India lebih cenderung mencari mitra dagang yang lebih netral.
Indonesia dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan ekspor bahan baku dan produk setengah jadi ke China dan India, dengan fokus pada sektor-sektor seperti sawit, karet, dan elektronik.
Keempat, Indonesia juga bisa mempersiapkan keuntungan dari Capital Outflow Amerika Serikat. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, investor global cenderung mencari pasar yang berkembang dan memiliki pertumbuhan tinggi, yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu destinasi investasi yang menarik.
Negara ini bisa menawarkan kebijakan yang mendukung stabilitas ekonomi dan bisnis, sehingga menarik minat investor untuk berinvestasi lebih lanjut.
Peluang untuk Produk RI
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal melihat pengenaan tarif ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia.
Faisal menyebut, Indonesia bukanlah sasaran utama dari penerapan tarif baru ini. Dia bilang, target utama AS ialah negara seperti China dan Vietnam, yang merupkan kompetitor Indonesia.
“Walaupun kemungkinan daya saing dibandingkan dengan produk serupa yang diproduksi oleh Amerika itu turun, tapi dibandingkan dengan produk serupa dari negara pesaing menjadi lebih kuat jika negara pesaing tersebut dikenalkan tarif yang lebih tinggi," ujar dia saat dihubungi kabarbursa.com, Jumat, 4 April 2025.
Faisal memandang, produk ekspor Indonesia memiliki kemiripan dengan China dan Vietnam. Dengan kondisi seperti ini, lanjut dia, daya saing produk ekspor ini bisa lebih baik terhadap dua negara tersebut.
Lebih lanjut, dia menjelaskan sepanjang tarif ini berlaku terhadap pada barang-barang yang ada substitusinya AS, maka semua produk impor dari semua negara termasuk Indonesia bisa menjadi lebih mahal.
“Artinya produk ekspor Indonesia yang masuk ke pasar Amerika itu ada potensi bahwa pangsa pasarnya diambil oleh produk-produk serupa dari Amerika,” jelasnya.
Serbuan Barang Murah China
Presiden Donald Trump kembali menaikkan tarif tinggi atas impor dari China, memicu kekhawatiran global akan banjir produk murah dari Negeri Tirai Bambu. Nilainya diperkirakan mencapai USD400 miliar atau sekitar Rp6.520 triliun, yang kini harus mencari pasar baru akibat makin sempitnya akses ke AS.
Mulai 9 April, seluruh barang impor dari China dikenakan tarif rata-rata 70 persen, bagian dari kebijakan “Hari Pembebasan” versi Trump. Dampaknya bagi konsumen dan pelaku usaha AS: harga-harga bakal naik, mulai dari mainan, alat rumah tangga, hingga mesin industri.
Namun, dampaknya tak hanya dirasakan AS. Analis memperingatkan potensi limpahan barang China ke negara lain, karena produk yang tadinya ditujukan ke pasar Amerika harus dialihkan. Pasar global yang sudah penuh bisa makin sesak—fenomena ini dikenal sebagai “China shock”, yang kini mulai memicu reaksi keras dari berbagai negara.
Efek domino pun mengintai. Satu negara menaikkan tarif, negara lain membalas, dan perang dagang pun meluas. Pelaku usaha lintas negara bakal jadi korban utama dalam situasi seperti ini.
“Ledakan sebenarnya belum terjadi,” kata Michael Pettis, profesor dari Universitas Peking, dikutip The Wall Street Journal.
Trump juga mengancam menerapkan tarif serupa ke negara lain yang dianggap mengambil untung dari AS, dengan ekspor besar-besaran namun tetap menjaga hambatan impor di negaranya.
China menjadi target utama. Selain tarif 34 persen yang baru, ada tambahan 10 persen sejak Februari dan 10 persen lagi pada Maret, plus warisan tarif dari era Biden dan periode pertama Trump. Akumulasi tarif mencapai rata-rata 70 persen.
Masalahnya, tidak semua negara mampu menyerap produk yang tadinya masuk ke AS. Sepanjang 2024, AS mengimpor barang senilai USD440 miliar dari China. Bahkan 91 persen dari seluruh payung di AS berasal dari sana, menurut data resmi PBB dan WTO.
Meski AS ingin mengurangi ketergantungan, proses ini tak bisa instan. Banyak industri di Amerika masih mengandalkan komponen dari China. Maka, meski ada diversifikasi pemasok, hubungan dagang ini belum bisa diputus sepenuhnya. (*)