KABARBURSA.COM - Aktivitas bisnis di Amerika Serikat menunjukkan tanda-tanda peningkatan pada Maret 2025. Namun, kekhawatiran atas tarif impor yang terus bertambah dan pemangkasan belanja pemerintah yang ekstrem membayangi prospek ekonomi sepanjang tahun ini.
Dalam laporan terbarunya, S&P Global mencatat lonjakan biaya bahan baku—baik di sektor manufaktur maupun jasa—mencapai level tertinggi dalam hampir dua tahun terakhir. Meski aktivitas mulai menggeliat, perusahaan-perusahaan terlihat masih enggan membuka lowongan kerja baru.
Alih-alih membawa angin segar, geliat ini justru tak banyak menenangkan kekhawatiran bahwa ekonomi AS tengah menuju periode pertumbuhan lambat dan inflasi tinggi. Sentimen konsumen pun ikut memburuk, seiring meningkatnya kekhawatiran rumah tangga terhadap masa depan.
Sejak kembali ke Gedung Putih, Presiden Donald Trump langsung tancap gas dengan kebijakan tarif impor yang luas. Beberapa tarif bahkan dijadwalkan baru mulai berlaku bulan depan. Di sisi lain, pemerintahannya juga menggulirkan program penghematan drastis—memangkas belanja negara hingga memberhentikan ribuan pegawai publik. Meski sebagian dari mereka kemudian diminta kembali bekerja usai putusan pengadilan, atmosfer ketidakpastian tetap menguat.
Kepala Ekonom Bisnis di S&P Global Market Intelligence, Chris Williamson, mengungkapkan keyakinan dunia usaha terhadap masa depan juga semakin suram. Penyebab utamanya adalah kekhawatiran terhadap dampak negatif dari kebijakan baru pemerintahan Trump, khususnya soal pemangkasan belanja federal dan tarif impor.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Senin, 24 Maret 2025, indeks PMI Komposit AS versi S&P Global—yang mengukur output manufaktur dan jasa—naik dari 51,6 pada Februari menjadi 53,5 pada Maret. Angka di atas 50 menandakan ekspansi. Survei ini dilakukan antara 12–21 Maret, dan lonjakan aktivitas terutama terjadi di sektor jasa, yang diuntungkan oleh meredanya cuaca ekstrem. Sektor manufaktur, sebaliknya, kembali menyusut setelah dua bulan sempat tumbuh.
Meskipun angka PMI menunjukkan pemulihan dari kelesuan ekonomi di awal kuartal pertama—yang dipicu badai salju dan cuaca dingin ekstrem—data riil seperti penjualan ritel dan laporan ketenagakerjaan justru mengindikasikan retaknya fondasi ekonomi.
Proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk kuartal pertama umumnya berada di bawah laju tahunan sebesar 1,5 persen. Sebagai perbandingan, pada kuartal terakhir 2024, ekonomi AS tumbuh 2,3 persen.
Pekan lalu, The Fed juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 1,7 persen—turun dari 2,1 persen yang diperkirakan pada Desember lalu. Mereka juga memperkirakan inflasi inti (Core PCE)—yakni indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi tanpa makanan dan energi—akan naik menjadi 2,8 persen, dari sebelumnya 2,5 persen. Ini jelas melewati target inflasi tahunan The Fed sebesar 2 persen.
Untuk saat ini, The Fed masih mempertahankan suku bunga acuannya di kisaran 4,25–4,50 persen, sebagai bentuk pengakuan bahwa ekonomi Amerika sedang berada dalam pusaran ketidakpastian.
Harga Melonjak di Tengah Lesunya Permintaan
Kenaikan harga makin terasa di dunia usaha Amerika. Survei S&P Global terbaru menunjukkan bahwa kepercayaan bisnis anjlok ke level terendah kedua sejak 2022. Indeks harga input—yang mencerminkan biaya yang harus dibayar perusahaan untuk bahan baku dan tenaga kerja—melonjak tajam menjadi 60,9 pada Maret 2025, naik dari 58,4 di bulan sebelumnya. Ini merupakan level tertinggi sejak April 2023, dan lonjakan paling mencolok terlihat di sektor manufaktur.
Kenaikan ini sebagian besar dipicu oleh tarif impor baru yang dikenakan oleh pemerintahan Trump serta meningkatnya ongkos tenaga kerja. Para produsen pun mulai meneruskan beban biaya tersebut kepada konsumen. Sementara itu, pelaku usaha di sektor jasa juga menghadapi tekanan biaya yang sama, namun ruang mereka untuk menaikkan harga jual terbatas karena persaingan yang semakin ketat dan permintaan yang melambat.
Indeks harga jual barang dan jasa naik dari 52,3 menjadi 53,6, mengindikasikan bahwa inflasi belum benar-benar mereda. Chris Williamson dari S&P Global menyebut, dari sudut pandang The Fed, inflasi di sektor jasa masih cukup terkendali. Tapi ia menambahkan, hal itu lebih disebabkan oleh lemahnya permintaan yang memaksa bisnis menahan harga—bukan karena tekanan biaya berkurang. “Ini justru berisiko memangkas margin keuntungan perusahaan,” ujarnya.
Survei juga mencatat kenaikan pada pesanan baru, dari 51,9 menjadi 53,3, menandakan adanya peningkatan aktivitas pemesanan meski secara keseluruhan masih terbatas. Sementara indeks ketenagakerjaan hanya sedikit naik, dari 49,4 pada Januari menjadi 50,6—nyaris stagnan.
Namun di sisi lain, kinerja sektor manufaktur mengalami kontraksi. Indeks PMI manufaktur awal (flash manufacturing PMI) turun dari 52,7 menjadi 49,8, padahal konsensus ekonom memperkirakan hanya akan turun ke 51,7. Artinya, produksi barang kembali menyusut setelah dua bulan ekspansi.
Berbeda dengan manufaktur, sektor jasa justru bangkit. PMI jasa melonjak ke 54,3 dari 51,0 bulan lalu, jauh di atas ekspektasi analis yang memperkirakan penurunan ke 50,8.
Kondisi ini menegaskan peta ekonomi AS yang belum benar-benar pulih: sektor jasa sedikit bergairah, namun manufaktur terpukul biaya dan tekanan global. Sementara itu, inflasi masih menjadi momok, dan ruang gerak The Fed untuk merespons dengan cepat semakin terbatas.(*)
Tarif Trump dan Pemangkasan Belanja Ancam Ekonomi AS
Aktivitas bisnis di AS mulai bangkit, tapi ancaman tarif impor dan pemotongan anggaran pemerintah bikin pelaku usaha was-was.
