Logo
>

Tarif Trump vs China, Diam-diam Mulai Cari Damai

Di balik kerasnya perang tarif Trump-China, ternyata ada pembicaraan damai diam-diam. Apa dampaknya untuk Indonesia dan investor?

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Tarif Trump vs China, Diam-diam Mulai Cari Damai
Spillover perang tarif Trump-China bisa berdampak ke Indonesia. Investor wajib waspada peluang dan risikonya. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM – Mungkin di layar TV publik cuma melihat Donald Trump mengoceh soal kerasnya sikap terhadap China. Tapi di balik panggung, ternyata ada skenario lain yang sedang berjalan. Media resmi pemerintah China bilang, Rabu malam lalu, pemerintahan Trump diam-diam sudah mulai mengulurkan tangan ke Beijing buat buka obrolan soal perang tarif. Padahal di depan publik, Trump masih keras kepala bilang Presiden Xi harus “gerak duluan.”

Kabarnya, Trump baru saja bilang ke para menterinya bahwa volume pengiriman kargo yang anjlok adalah tanda China bakal butuh berdialog cepat-cepat. Trump bahkan yakin dia bakal segera ngobrol langsung dengan Xi.

Tapi, menurut Yuyuantantian, akun Weibo yang terafiliasi dengan China Central Television—sering banget jadi corong opini resmi Beijing—China ogah negosiasi kalau Amerika Serikat belum ambil langkah yang benar-benar berarti. Postingannya malah menyebut Washington lah yang sekarang makin gugup karena tekanan makin gede di dalam negeri.

Sehari sebelumnya, Reuters melaporkan bahwa China diam-diam bikin daftar barang AS yang dibebaskan dari tarif 125 persen mereka. Tujuannya adalah mengendurkan ketegangan perdagangan tanpa harus bikin pengakuan terbuka. Daftarnya makin panjang, mulai dari etana AS, beberapa produk semikonduktor, sampai obat-obatan tertentu. Intinya, di depan umum kelihatan keras, tapi di belakang layar ada nafas lega yang dikasih.

Trump sendiri membela kebijakan tarif 145 persen untuk barang impor dari China dengan dalih China “memang pantas mendapatkan itu” dan kemungkinan bakal menyerap biayanya sendiri. Memang, Trump mengaku ada potensi kelangkaan pasokan dan kenaikan harga, tapi santainya luar biasa. “Ya paling-paling rak toko nanti mainannya lebih sedikit dan harganya naik sedikit," kata Trump, dikutip dari Yahoo Finance di Jakarta, Kamis, 1 Mei 2025.

Pernyataan Trump ini kontras sekali sama gerakan dalam pemerintahannya sendiri yang katanya sedang mempertimbangkan pemangkasan tarif secara bertahap dan menghidupkan lagi pembicaraan dagang dengan China—meskipun sampai sekarang belum ada negosiasi resmi yang jalan.

Sementara itu, akibat tarif 145 persen yang sudah diterapkan, pengiriman kargo dari China turun sampai 60 persen. Apa dampaknya? Mulai muncul kekhawatiran soal kekurangan pasokan dan potensi gelombang PHK di sektor transportasi, logistik, sampai ritel.

Di sisi lain, ada kabar baik buat industri otomotif. Trump baru saja meneken perintah yang memberi pengecualian untuk sebagian tarif mobil dan suku cadang. Perintah ini memperjelas bahwa perusahaan yang sudah bayar tarif untuk kendaraan impor tak akan dikenakan pungutan ganda, misalnya untuk baja. AS juga melonggarkan bea untuk suku cadang asing. Pelonggaran ini muncul setelah lobi besar-besaran dari industri otomotif yang mengeluh bakal kehilangan penjualan besar-besaran dan bikin harga mobil makin mahal buat konsumen.

Menariknya lagi, di hari ke-100 Trump menjabat, pejabat-pejabat pemerintahannya juga sibuk pamer progres sama negara-negara lain. Menteri Perdagangan Howard Lutnick, misalnya, bilang kalau AS dan satu negara (yang namanya dirahasiakan) sudah “tinggal selangkah lagi” mencapai kesepakatan dagang. Sementara itu, Menteri Keuangan Scott Bessent optimistis bahwa AS sudah “sangat dekat” bikin kesepakatan perdagangan dengan India.

Spillover Efek Tarik-Ulur Tarif Trump-China, Apa Dampaknya ke Investor Indonesia?


Di permukaan, perang tarif antara Amerika Serikat dan China memang kelihatan seperti urusan dua negara adidaya. Tapi buat Indonesia, apalagi buat para investor, ini bukan cuma tontonan jauh di layar berita. Dalam teori ekonomi, ada yang disebut spillover, yaitu efek tumpahan dari kebijakan atau kejadian di satu negara yang kemudian meluber ke negara lain, termasuk ke pasar Indonesia.

Pertama, mari kita lihat bagaimana ketegangan dan potensi damai ini memengaruhi sentimen global. Selama Trump dan Xi masih bersitegang, pasar keuangan global berada di bawah bayang-bayang ketidakpastian. Investor cenderung menghindari risiko, memindahkan uangnya dari pasar negara berkembang ke aset aman seperti dolar AS atau emas.

Itu sebabnya, selama beberapa bulan terakhir, rupiah sempat tertekan, obligasi pemerintah Indonesia dijual investor asing, dan indeks saham domestik ikut terseret turun.

Namun, begitu muncul kabar bahwa kedua pihak diam-diam sudah mulai melonggarkan sikap (misalnya China membebaskan sebagian barang AS dari tarif atau AS melonggarkan tarif mobil dan suku cadang), pasar mulai membayangkan skenario positif, yakni kalau perang dagang mereda, arus perdagangan bisa kembali hidup, rantai pasok pulih, dan permintaan global naik lagi.

Bagi Indonesia, ini terutama penting di sektor komoditas dan manufaktur. China adalah salah satu pembeli utama batu bara, nikel, dan minyak sawit. Kalau ekonominya terguncang karena tarif AS, permintaan akan turun, harga komoditas tertekan, dan pendapatan eksportir Indonesia ikut menurun. Di sisi lain, kalau ada angin damai, harga-harga bisa naik lagi yang otomatis memperbaiki kinerja emiten di sektor ini.

Dari sudut pasar saham, berita damai ini bisa menyalakan kembali optimisme di kalangan investor. Saham-saham berbasis ekspor bisa kembali menarik minat. Sementara itu, sektor transportasi dan logistik, yang tadinya dihantui kekhawatiran PHK dan penurunan volume, juga bisa bernapas lega karena arus barang diperkirakan akan pulih.

Namun, spillover efek ini bukan cuma soal naik-turunnya harga. Ada juga risiko jangka menengah yang perlu diperhatikan. Kalau Trump memang akhirnya melunak, tetapi hanya sekadar taktik politik menjelang pemilu, maka pelonggaran tarif ini mungkin hanya sesaat. Investor yang terlalu agresif masuk tanpa perhitungan malah bisa terjebak dalam volatilitas baru kalau kesepakatan damai gagal tercapai.

Selain itu, bagi Indonesia, posisi tawar global juga ikut diuji. Kalau AS mulai membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral dengan negara lain seperti India, sementara blok-blok dagang Asia lainnya masih beradaptasi, Indonesia perlu memastikan kebijakan nasionalnya tetap menarik bagi investor asing. Kalau tidak, arus modal bisa lari ke negara-negara lain yang lebih dulu mendapat kepastian kesepakatan dagang dengan AS.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).