KABARBURSA.COM – PT Pertamina (Persero) menyoroti tantangan berat yang membayangi kinerja sektor energi nasional pada tahun 2025. Direktur Keuangan Pertamina, Emma Sri Martini, mengungkapkan berbagai indikator utama di pasar global menunjukkan tren pelemahan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
“Kalau dilihat dari seluruh parameter global 2025, terjadi perburukan dibandingkan 2024. Mulai dari brand, harga crude, sampai MOPS (Mean of Platts Singapore), semuanya melemah,” ujar Emma di Graha Pertamina, Jakarta, Jumat 13 Juni 2025.
Ia menyebut tren pelambatan ini mulai terlihat dari perbandingan year-on-year (YoY) antara 2024 dan 2025, yang secara konsisten menunjukkan penurunan kinerja di berbagai lini. Salah satu indikator yang paling mencolok adalah harga minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP).
“Posisi YTD (year-to-date) ICP saat ini sudah di level 70 Dolar AS per barel. Bahkan di bulan Mei kemarin sempat menyentuh 62 Dolar AS. Ini sangat menekan sektor hulu,” kata Emma.
Tekanan Berat di Hulu
Menurut Emma, penurunan harga minyak global membawa tekanan ganda bagi lini bisnis hulu Pertamina. Tak hanya berdampak pada pendapatan, pelemahan harga juga memperbesar potensi impairment atas aset-aset hulu, terutama di wilayah kerja yang sudah mature atau menua.
“Sektor hulu sekarang sangat tertekan. Dan belum lagi kita harus menghadapi risiko impairment aset, ini bukan masalah kecil. Kalau tidak dimitigasi, dampaknya bisa sangat dalam,” ujarnya.
Situasi ini juga dinilai berisiko menghambat rencana investasi yang sudah dirancang untuk mendorong target lifting nasional, terutama pencapaian ambisi 1 juta barel per hari pada 2028–2029 mendatang.
“Investasi bisa terhambat kalau kondisi ini tidak segera direspons dengan terobosan regulasi yang mendasar,” tambah Emma.
Untuk itu, Emma menekankan pentingnya langkah koordinatif dan reformasi kebijakan di sektor hulu migas. Menurutnya, perlu ada kerangka regulasi baru yang mampu memberikan ruang gerak dan insentif bagi pelaku usaha agar tetap bisa berinvestasi dan menjaga produksi, meski di tengah volatilitas harga global.
“Kalau tidak ada reformasi mendasar dari sisi kerangka regulasi, sangat sulit bagi kita untuk menjaga momentum produksi dan mencapai target lifting 1 juta barel. Pemerintah perlu hadir dengan kebijakan yang solutif,” tegasnya.
Emma menegaskan volatilitas harga minyak global bukanlah tantangan yang bersifat sementara. Menurutnya, kondisi ini mencerminkan tren jangka panjang yang membutuhkan strategi mitigasi berkelanjutan. Pertamina pun siap berkoordinasi dengan pemerintah untuk menyusun langkah-langkah konkret demi menjaga ketahanan investasi dan memastikan keberlangsungan bisnis hulu nasional.
Meski tantangan membayangi, Emma memastikan Pertamina tidak tinggal diam. Di semester kedua 2025, perseroan tengah menyiapkan sejumlah strategi mitigasi untuk mengamankan kinerja dan keberlangsungan proyek-proyek strategis.
“Kita akan strategize di second half. Fokusnya adalah menjaga efisiensi, memprioritaskan investasi yang berdampak langsung pada produksi, dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap aset hulu,” katanya.(*)