Logo
>

The Fed Masih Wait and See, Trump Geregetan Minta Suku Bunga Turun

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
The Fed Masih Wait and See, Trump Geregetan Minta Suku Bunga Turun

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Setelah pertemuan terakhirnya, The Fed akhirnya memutuskan untuk stay cool alias tidak memangkas suku bunga. Ketua The Fed, Jerome Powell, mengatakan suku bunga sekarang sudah jauh lebih longgar dibanding sebelum pemangkasan tahun lalu.

    “Kami tak perlu buru-buru mengubah kebijakan,” katanya, dikutip dari Wall Street Journal di Jakarta, Kamis, 30 Januari 2025.

    The Fed kemungkinan besar bakal diam dulu sampai pertemuan berikutnya di pertengahan Maret. Powell bilang pihaknya mau melihat dulu apakah inflasi benaran turun atau ada tanda-tanda ekonomi mulai lemas sebelum memutuskan langkah selanjutnya.

    Nah, masalahnya, Trump kelihatannya sudah mulai ‘gatal’. Tak lama setelah Powell menyampaikan pernyataan resminya, Trump langsung bereaksi lewat medsosnya. Dia menyalahkan The Fed karena membiarkan inflasi naik empat tahun lalu, sambil sesumbar kalau dirinya bisa membereskan harga-harga yang melambung. Gimana caranya? Trump menulis, “Dengan membebaskan sektor energi Amerika, memangkas regulasi, menyeimbangkan perdagangan internasional, dan menghidupkan manufaktur.”

    Powell tak bereaksi setelah itu. Dia menolak menanggapi komentar Trump yang minggu lalu bilang bakal “minta” The Fed menurunkan suku bunga kalau inflasi sudah jinak. Powell tetap keukeuh kalau bank sentral bakal ambil keputusan berdasarkan data ekonomi, bukan tekanan politik. “Seperti yang sudah berkali-kali saya bilang, ini kerjaan kami. Jangan harap kami berubah,” tegas Powell.

    Pasar saham di Amerika Serikat sendiri agak lesu setelah pengumuman The Fed. Dow Jones dan S&P 500 melemah, sementara Nasdaq sempat naik-turun tak jelas. Imbal hasil obligasi Treasury AS tenor 10 tahun juga cuma naik tipis ke 4,554 persen dari 4,548 persen sehari sebelumnya.

    Meski tetap optimis inflasi bakal terus turun dalam beberapa bulan ke depan, Powell tak mau gegabah. “Kita kayaknya sudah di jalur yang benar,” katanya. “Tapi berada di jalur yang benar itu satu hal, benar-benar sampai ke tujuan itu soal lain.”

    Soal pemangkasan suku bunga, The Fed masih pakai strategi wait and see. Pada proyeksi Desember lalu, mayoritas pejabatnya memperkirakan bakal ada pemangkasan tahun ini, tapi jumlahnya belum pasti. Sebagian besar memprediksi dua kali pemangkasan, turun dari perkiraan sebelumnya yang empat kali.

    Menurut mantan Wakil Ketua The Fed, Richard Clarida, keputusan di Desember itu memang dibuat agar The Fed punya fleksibilitas untuk tak melakukan banyak hal di 2025. “Dan mereka berhasil,” katanya.

    Ke depan, The Fed punya dua pertanyaan besar yang harus dijawab sebelum memutuskan nasib suku bunga. Pertama, apakah inflasi benar-benar bisa turun ke target dua persen dalam satu-dua tahun ke depan? Kedua, apakah suku bunga dan kebijakan moneter sekarang masih cukup ketat buat menekan ekonomi?

    Clarida, yang sekarang kerja di Pimco, melihat ada dua kemungkinan skenario. Kalau inflasi terus turun, The Fed mungkin bisa mulai memangkas suku bunga musim semi nanti. Tapi kalau inflasi masih landai, The Fed bisa saja hold position sepanjang tahun.

    “Mereka (The Fed) masih lihat-lihat dulu keadaannya,” kata Kepala Ekonom Citigroup, Nathan Sheets.

    Pasar Masih Waswas

    Target inflasi The Fed masih jauh dari kata aman. Salah satu indikator inflasi inti yang sering diperhatikan—yang tak memasukkan harga pangan dan energi karena dianggap terlalu fluktuatif—mencatat angka 2,8 persen pada November 2024 dibandingkan tahun sebelumnya.

    Jadi, peluang The Fed memangkas suku bunga di pertemuan Maret 2025 masih tipis. Tapi jika inflasi terus menunjukkan perbaikan dan ekonomi cukup adem sehingga suku bunga benar-benar terbukti mendinginkan pertumbuhan, kata Nathan Sheets, pemangkasan bisa saja kejadian di Mei 2025.

    The Fed sekarang sedang main sulap keseimbangan. Di satu sisi, mereka tak mau kenaikan suku bunga yang agresif dua-tiga tahun lalu malah bikin ekonomi kedinginan. Tapi di sisi lain, mereka juga tak mau buru-buru menurunkan suku bunga dan merusak progres inflasi yang sudah susah payah dicapai.

    The Fed sempat memangkas suku bunga ke hampir nol saat pandemi Covid-19 melanda lima tahun lalu, bahkan mempertahankannya sampai 2022. Setelah itu, mereka menaikkan suku bunga dengan laju tercepat dalam 40 tahun buat melawan inflasi yang juga melonjak ke level tertinggi dalam empat dekade.

    Mereka berhenti menaikkan suku bunga pertengahan 2023 dan menahannya lebih dari setahun sampai inflasi mulai jinak. The Fed akhirnya memangkas suku bunga pada September lalu karena khawatir pasar tenaga kerja mulai melemah terlalu cepat. Dampaknya? Suku bunga jangka pendek langsung terpengaruh setiap kali The Fed bikin keputusan. Tapi untuk suku bunga jangka panjang, seperti KPR, masih banyak faktor lain yang mempengaruhi, seperti ekspektasi investor soal pertumbuhan ekonomi dan inflasi ke depan.

    Bahkan, pemangkasan suku bunga The Fed tahun lalu tak langsung bikin bunga KPR turun. Sebaliknya, imbal hasil obligasi jangka panjang justru naik—bahkan suku bunga KPR 30 tahun sempat menyentuh 7 persen bulan ini—karena investor melihat prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih cerah sehingga ekspektasi pemangkasan suku bunga lebih lanjut ikut berkurang.

    Di sektor lain, selisih antara obligasi pemerintah dan berbagai jenis kredit swasta memang mulai menyempit setelah The Fed memotong suku bunga. Tapi buat investor di pasar properti dan aset sensitif terhadap suku bunga lainnya, dampaknya masih jauh dari ekspektasi karena imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun masih terlalu tinggi.

    “Buat banyak investasi, suku bunga sekarang ini masih terlalu tinggi,” kata Marcus Frampton, Chief Investment Officer dari Alaska Permanent Fund yang ngelola aset senilai USD78 miliar (sekitar Rp1.248 triliun). “Kalau suku bunga jangka panjang tidak turun dari sini, bakal ada rasa sakit yang nyata.”

    Frampton juga mulai deg-degan melihat valuasi saham yang sudah kelewat mahal dibandingkan pendapatan, penjualan, atau nilai bersihnya. “Banyak kekhawatiran soal tarif dagang, kebijakan ekonomi yang tak konvensional dari Washington, dan dampaknya ke pasar saham yang sudah overpriced ini,” katanya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).