Logo
>

Tips Aman Investasi saat Ekonomi Lesu

Jumlah investor pasar modal naik tajam meski ekonomi lesu dan pengangguran naik. Desmond Wira beri peringatan agar investor baru tak terjebak FOMO dan siap hadapi risiko.

Ditulis oleh Dian Finka
Tips Aman Investasi saat Ekonomi Lesu
Desmond Wira ungkap risiko lonjakan investor di tengah ekonomi lesu. Simak tips aman berinvestasi agar tak terjebak hype pasar modal yang fluktuatif. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM - Pasar modal Indonesia lagi-lagi mencetak sejarah baru. Per April 2025, jumlah investor ritel sudah tembus 16,2 juta orang—angka yang mengesankan kalau melihat kondisi ekonomi yang tengah lesu. Padahal, di sisi lain, angka pengangguran naik tipis jadi 7,28 juta orang per Februari lalu.

Fenomena ini bikin banyak orang geleng-geleng kepala, kenapa bisa masyarakat justru berbondong-bondong masuk pasar modal saat kondisi ekonomi lagi tak ramah?

Analis yang juga praktisi kripto dan keuangan, Desmond Wira, punya pandangan yang cukup blak-blakan. Dia bilang, lonjakan investor ini belum tentu karena makin beraninya masyarakat menghadapi risiko, tapi bisa jadi karena "kepepet".

“Sektor riil lagi susah. Daya beli lemah. Usaha juga nggak gampang jalan. Jadi banyak orang akhirnya lari ke pasar modal buat cari penghasilan lain,” ujar Desmond saat dihubungi Kabarbursa.com, Kamis, 8 Mei 2025.

Menurut Desmond, secara psikologis, fenomena ini tak bisa langsung disimpulkan sebagai tanda meningkatnya literasi finansial. Justru, katanya, banyak yang masuk pasar modal hanya karena ikut tren dan melihat orang lain cuan.

“Bisa jadi ini tanda ketidaksadaran risiko. Banyak yang cuma lihat cuan dari medsos atau dengar cerita teman, tapi nggak sadar pasar modal itu fluktuatif dan penuh risiko,” katanya.

Dia menekankan bahwa masuk pasar modal saat ekonomi lagi seret bukan berarti mental investor jadi lebih tahan banting. Bahkan, katanya, mayoritas investor—baik yang lama maupun yang baru—punya kecenderungan panik yang sama ketika pasar gonjang-ganjing.

Desmond pun memberi pesan penting buat investor pemula: jangan gampang kegoda hype. “Jangan FOMO, jangan all-in, jangan pakai uang panas. Itu kuncinya. Banyak yang rugi bukan karena pasar jelek, tapi karena mereka sendiri nggak siap dari awal,” ujarnya.

Dia juga mengingatkan supaya investor diversifikasi risiko dan tak cuma ikut-ikutan beli aset atau saham tanpa analisis yang matang. “Kalau cuma ikut-ikutan tanpa ngerti fundamentalnya, potensi rugi itu gede. Pasar modal itu bukan tempat instan cari untung, apalagi di tengah situasi kayak sekarang,” tandas Desmond.

Lonjakan Investor di Tengah Pengangguran

Namun di balik peringatan itu, data dari OJK dan BPS memperlihatkan bahwa fenomena ini bukan cuma soal keberanian individu, tapi juga bagian dari tren nasional yang menarik. Meski pengangguran naik jadi 7,28 juta orang per Februari 2025, jumlah investor pasar modal Indonesia justru terus melonjak, tembus 16,2 juta SID per April 2025.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pasar modal masih jadi pilihan masyarakat untuk mencari alternatif penghasilan, di tengah ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Fakta ini semakin menarik karena menurut data historis, tren pertumbuhan investor ritel Indonesia tidak melambat sama sekali, bahkan mengalami akselerasi. Sepanjang 2024, investor pasar modal bertambah sekitar 2,7 juta orang—lebih besar dari tahun sebelumnya. Lalu di awal 2025, jumlah investor naik lagi hampir 1,3 juta hanya dalam empat bulan pertama. Artinya, ada semacam “fenomena berbondong-bondong” yang terjadi, bahkan ketika angka pengangguran dan PHK juga mengalami kenaikan.

Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat bahwa mayoritas investor baru ini masuk melalui produk reksa dana dan saham, didorong oleh kemudahan membuka akun via aplikasi dan edukasi yang semakin gencar. Namun, sebagaimana ditekankan Desmond, jumlah yang melonjak belum tentu dibarengi kesiapan mental dan pemahaman risiko yang matang.

Dari sisi ekonomi, tren ini juga mengindikasikan bahwa masyarakat kelas menengah dan muda—yang mendominasi profil investor baru—mulai mencari cara baru untuk mengembangkan dana mereka. Namun, tantangannya adalah bagaimana menjaga agar pertumbuhan ini tidak menjadi sekadar fenomena bubble jangka pendek, seperti yang diingatkan oleh banyak analis pasar.

Sebagai catatan, peningkatan jumlah investor memang patut diapresiasi karena mendukung target inklusi keuangan nasional. Tapi di saat yang sama, regulator seperti OJK dan BEI dihadapkan pada PR besar: membangun literasi dan perlindungan investor agar mereka yang masuk pasar modal tidak sekadar “nyemplung” karena tren, tapi benar-benar siap menghadapi risiko dan fluktuasi pasar.

Menurut data KSEI, mayoritas investor baru lebih banyak masuk lewat reksa dana, terutama yang dijual lewat aplikasi fintech. Sekitar 70 persen dari total investor reksa dana Indonesia kini berasal dari jalur digital, yang menawarkan kemudahan transaksi hanya dengan modal mulai Rp10 ribuan. Sementara itu, jumlah investor saham juga menunjukkan pertumbuhan stabil dengan lebih dari 6 juta SID terdaftar hingga akhir 2024. Investor SBN ritel—yang dikenal lebih aman dan berisiko rendah—juga mengalami kenaikan signifikan, meskipun porsinya masih lebih kecil dibanding reksa dana dan saham.

Menariknya, lebih dari 75 persen investor pasar modal Indonesia saat ini berusia di bawah 40 tahun. Artinya, dominasi Gen Z dan milenial menjadi motor utama penggerak pasar, didorong oleh akses digital yang semakin masif dan promosi agresif dari pelaku industri.

Untuk menjaga kualitas pertumbuhan ini, Bursa Efek Indonesia gencar menggelar edukasi pasar modal di berbagai daerah. Sepanjang 2024 saja, tercatat lebih dari 34.000 kegiatan edukasi yang diikuti hampir 60 juta peserta secara daring maupun luring. Di tahun 2025, program serupa terus digencarkan agar para investor baru tidak hanya sekadar daftar akun, tapi juga memahami risiko yang melekat dalam setiap instrumen investasi yang mereka pilih.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.