KABARBURSA.COM - Pemerintah bersama DPR RI resmi menetapkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1446 Hijriah atau pada 2025 yang dibebankan kepada jemaah sebesar Rp55,5 juta.
"Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) atau biaya yang dibayarkan langsung oleh jemaah haji rata-rata per jemaah sebesar Rp55.431.750,78 atau sebesar 62 persen dari BPIH tahun 1446 Hijriah," ujar Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Senin, 6 Januari 2025.
Rapat dipimpin oleh Ketua Panitia Kerja (Panja) Haji DPR RI Abdul Wachid dan dihadiri Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar, Wakil Menteri Agama (Wamenag) Romo Syafi'i, serta Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Hilman Latief.
Lebih lanjut, Marwan memaparkan biaya tersebut dialokasikan untuk biaya penerbangan, kemudian sebagian biaya akomodasi Makkah, biaya akomodasi Madinah, dan living cost Biaya Perjalanan Biaya Haji atau Bipih Tahun 1446 H/2025 turun Rp614.420,82 dari Bipih Tahun 1445 H/2024 M yang sebesar Rp56.046.171,60
"Komisi VIII DPR RI menyetujui bahwa total transfer dana BPIH tahun 1446 H/2025 M yang dilakukan oleh BPKH kepada Kementerian Agama RI harus dikurangi atau memperhitungkan uang muka untuk biaya tenda Armuzna sebesar SAR159.250.390, sebagaimana keputusan rapat kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri Agama RI dan Kepala Badan Penyelenggara Haji RI pada tanggal 30 Desember 2024 yang telah dibayar/ditransfer oleh BPKH kepada Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah," tutupnya.
DPR RI Sempat Kritik Biaya Haji 2025
Sebelumnya diberitakan, Marwan Dasopang mengkritik usulan pemerintah terkait pembiayaan ibadah haji tahun 2025, yang dianggapnya masih memberatkan jemaah. Kritik tersebut disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kementerian Agama dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Marwan menyoroti penurunan biaya yang hanya sebesar Rp20,6 juta, yang menurutnya tidak cukup signifikan untuk meringankan beban jemaah. Hal ini dinilai bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan biaya haji secara substansial.
“Penurunan Rp20 juta itu sama sekali tidak ada signifikansi untuk kemampuan jemaah, apalagi jika skema pembiayaan tetap 70:30. Ini akan membuat jemaah kesulitan membayar, terutama bagi mereka yang tidak mendapatkan subsidi seperti tahun lalu,” ujar Marwan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis, 2 Januari 2025.
Marwan menjelaskan bahwa meskipun ada penurunan biaya, proporsi pembiayaan sebesar 70 persen yang ditanggung oleh jemaah tetap menjadi beban yang berat. Dari total biaya Rp93 juta, jemaah akan membayar Rp65,1 juta (70 persen), sedangkan subsidi dari BPKH mencakup Rp27,9 juta (30 persen). Oleh karena itu, ia mengusulkan agar skema pembiayaan ini dikaji ulang untuk menemukan solusi yang lebih adil.
“Skema 70:30 ini perlu dipertimbangkan kembali. Kami harus melihat apa saja yang bisa diturunkan, seperti biaya masyair, konsumsi, dan komponen lainnya,” katanya.
Dalam usulan pemerintah, total pembiayaan ibadah haji per jemaah mencapai Rp93 juta. Menurut Marwan, angka ini masih terlalu tinggi dan berisiko memberatkan calon jemaah. Ia menekankan bahwa beberapa komponen biaya, seperti konsumsi dan biaya masyair, seharusnya bisa dievaluasi dan ditekan lebih rendah.
Marwan juga menyoroti kinerja BPKH dalam menghasilkan nilai manfaat dari pengelolaan dana haji. Ia mencatat bahwa pada September 2024, nilai manfaat yang diperoleh hanya mencapai Rp11,4 triliun, lebih rendah dari target sebesar Rp12,2 triliun. Hal ini memengaruhi kemampuan pemerintah dalam memberikan subsidi kepada jemaah.
“Jika nilai manfaat BPKH tidak mencapai target Rp12 triliun, skema 70:30 atau bahkan 60:40 mungkin akan terlalu berat bagi jemaah, karena dana yang tersedia untuk subsidi tidak mencukupi,” tambah Marwan.
Marwan menegaskan bahwa DPR akan terus mengupayakan penurunan beban biaya haji dengan mendorong efisiensi anggaran dan pengelolaan dana yang lebih baik. Ia berharap diskusi lanjutan dengan BPKH dapat menghasilkan kebijakan pembiayaan haji 2025 yang lebih sesuai dengan kemampuan jemaah tanpa mengorbankan kualitas pelayanan.
“DPR RI akan terus melakukan evaluasi dan negosiasi dengan pemerintah serta BPKH untuk memastikan bahwa pembiayaan haji 2025 tetap terjangkau bagi seluruh jemaah,” tutupnya.
Tren Peningkatan Biaya Haji
Biaya perjalanan haji dan penyelenggaraan ibadah haji menunjukkan perubahan yang mencerminkan dinamika ekonomi, kebijakan pemerintah, dan kondisi global selama periode 2020 hingga 2024. Pandemi COVID-19, kebijakan baru di Arab Saudi, dan inflasi menjadi faktor utama yang memengaruhi biaya ini. Seperti dikutip Kabarbursa.com dari laman Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan Kemenag, berikut ulasannya.
Pada 2020, biaya perjalanan haji (Bipih) rata-rata ditetapkan sebesar Rp35 juta, dengan total biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) mencapai Rp69 juta. Namun, pandemi COVID-19 menyebabkan pembatalan keberangkatan jamaah, memberikan opsi bagi calon jamaah untuk menarik dana atau menunda keberangkatan ke tahun berikutnya.
Tahun berikutnya, 2021, kondisi serupa terjadi dengan pembatalan keberangkatan haji untuk tahun kedua. Bipih meningkat menjadi Rp38 juta, sementara BPIH mencapai Rp70 juta. Pemerintah tetap merilis estimasi biaya untuk menjaga transparansi dan sebagai langkah persiapan administratif.
Tahun 2022 menjadi momen pelonggaran pembatasan perjalanan internasional, memungkinkan ibadah haji kembali dilaksanakan meski dengan kuota terbatas. Bipih naik menjadi Rp39,8 juta, dan BPIH menjadi Rp81 juta. Kenaikan ini dipengaruhi oleh kebutuhan tambahan seperti tes PCR, karantina, dan penerapan protokol kesehatan ketat.
Pada 2023, biaya perjalanan haji mengalami lonjakan signifikan. Bipih mencapai Rp49,8 juta, sementara BPIH naik menjadi Rp90 juta. Kenaikan tajam ini mencerminkan meningkatnya harga layanan di Arab Saudi, termasuk akomodasi, transportasi, dan katering. Perubahan sistem pengelolaan layanan oleh syarikat yang ditunjuk Kementerian Haji Arab Saudi turut menjadi faktor.
Memasuki 2024, Bipih kembali meningkat menjadi Rp51 juta dengan BPIH sebesar Rp91 juta. Pemerintah berupaya menjaga keseimbangan antara biaya dan kualitas pelayanan melalui standar akomodasi yang lebih ketat. Hotel di Makkah harus berjarak maksimal 4,5 kilometer dari Masjid Al-Haram, sedangkan di Madinah maksimal 1 kilometer dari Masjid Nabawi. Waktu tinggal jamaah di Madinah juga dibatasi hingga sembilan hari.
Kenaikan biaya ini tidak terlepas dari berbagai tantangan, termasuk fluktuasi nilai tukar mata uang, inflasi, dan kebijakan baru yang diterapkan oleh Arab Saudi. Pemerintah Indonesia terus berusaha menjaga agar biaya tetap kompetitif tanpa mengorbankan kualitas pelayanan. Negosiasi terkait kuota dan layanan dengan pihak Arab Saudi menjadi prioritas untuk memastikan kenyamanan jamaah haji.
Dengan berbagai perubahan dan dinamika tersebut, calon jamaah haji diimbau untuk memahami rincian komponen biaya serta mempersiapkan diri dengan baik. Langkah ini diharapkan dapat mendukung kelancaran pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci, memberikan pengalaman terbaik bagi jamaah Indonesia. (*)