Logo
>

Tolak Kenaikan PPN 12 Persen, Ajakan Boikot Bayar Pajak Menggema

Ditulis oleh KabarBursa.com
Tolak Kenaikan PPN 12 Persen, Ajakan Boikot Bayar Pajak Menggema

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ajakan memboikot pembayaran pajak viral di media sosial. Gerakan ini muncul sebagai bentuk penolakan terhadap rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai 2025.

    “Jika PPN dipaksakan naik 12 persen, mari kita boikot bayar pajak. Jadi pemerintah kok bisanya cuma malakin rakyat,” tulis akun @salam4jari di media sosial X (Twitter), dikutip pada Jumat, 20 Desember 2024.

    Akun tersebut menyarankan masyarakat untuk mendukung usaha kecil seperti warung tradisional sebagai alternatif. Selain terbebas dari PPN, langkah ini dinilai dapat membantu pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

    “Bisa disiasati dengan meminimalkan belanja di mal, lebih baik mendukung pengusaha kecil. Misalnya, cari makan dan ngopi di warung rumahan saja. Masih banyak yang bebas pajak,” ujarnya.

    Namun, beberapa warganet mengingatkan bahwa memboikot Pajak Penghasilan (PPh) tidak mudah dilakukan karena pajak karyawan biasanya sudah dipotong langsung sebelum diterima. Ajakan pun diarahkan untuk fokus pada penghematan pengeluaran yang berhubungan dengan PPN.

    “Caranya dengan mulai hidup minimalis, tunda beli barang kena PPN, dan beralih belanja ke pasar tradisional,” ujar seorang pengguna media sosial.

    Tanggapan Sri Mulyani dan Airlangga Hartarto

    Saat dimintai tanggapan soal ajakan ‘Boikot Bayar Pajak’, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memilih bungkam.

    Mantan Direktur Bank Dunia (World Bank) itu Sri Mulyani hanya tersenyum tanpa memberikan pernyataan apa pun ketika ditemui usai menghadiri Rapat Koordinasi Terbatas tentang Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian/Lembaga di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kamis, 19 Desember 2024. Ia langsung menuju kendaraan dinasnya tanpa menanggapi pertanyaan wartawan.

    Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai ajakan boikot pajak adalah bagian dari dinamika negara demokrasi. Menurut dia, masyarakat berhak menyuarakan pendapat jika tidak setuju dengan kebijakan pemerintah.

    “Ya, itu namanya negara demokrasi. Ada yang setuju, ada yang tidak setuju,” kata Airlangga saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat, 20 Desember 2024.

    Soal aksi unjuk rasa penolakan kenaikan PPN, Airlangga menyatakan bahwa berbagai bentuk kritik terhadap kebijakan adalah hal yang wajar dalam demokrasi.

    “Ya itu bagian dari demokrasi,” ujarnya.

    Semua Barang dan Jasa Kena PPN 12 Persen

    Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengkritik tajam keputusan pemerintah yang akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.

    Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani menyebut klaim pemerintah bahwa kenaikan PPN hanya berdampak pada barang premium tidak akurat. Menurutnya, hampir seluruh barang dan jasa akan terkena dampak kenaikan tarif ini.

    “Sebenarnya bukan hanya barang premium. Secara umum, hampir semua barang akan dikenakan PPN 12 persen, meskipun ada pengecualian untuk beberapa bahan pokok,” kata Shinta dalam konferensi pers di Kantor Apindo di kawasan Jakarta Selatan, Kamis, 19 Desember 2024.

    Shinta menilai kebijakan ini akan memberatkan pelaku usaha dan masyarakat. Kendati pemerintah telah menyiapkan insentif, seperti pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) bagi pekerja sektor padat karya dengan gaji di bawah Rp10 juta, insentif tersebut dianggap tidak cukup membantu dunia usaha.

    “Stimulus PPh 21 itu memang bermanfaat bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp10 juta. Namun, ini tidak membantu pelaku usaha, terutama di industri padat karya,” tegas Shinta.

    Shinta mendorong pemerintah untuk memberikan pembebasan PPh Badan bagi sektor padat karya agar pelaku usaha dapat menghadapi tekanan kenaikan PPN.

    “Kami tidak meminta pembebasan untuk semua sektor. Setidaknya, industri padat karya dapat diberikan keringanan PPh Badan,” ujarnya.

    [caption id="attachment_107494" align="aligncenter" width="1372"] APINDO - Konferensi pers Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024. Apindo memproyeksikan inflasi di Indonesia pada 2025 di kisaran 2,5 persen akibat kenaikan tarif PPN dan UMP. (Foto: Ayyubi Kholid/Kabar Bursa)[/caption]

    Ia juga mengkritik insentif berupa diskon 50 persen iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) selama enam bulan bagi sektor padat karya. Menurut Shinta, stimulus tersebut terlalu kecil dan nyaris tidak memberikan dampak.

    “Diskon 50 persen untuk iuran JKK hanya mencakup sebagian kecil perlindungan pekerja. Konsepnya terlalu terbatas dan manfaatnya hampir tidak terasa,” jelas Shinta.

    Shinta mewanti-wanti bahwa inflasi diperkirakan akan meningkat pada awal 2025, dipicu oleh kenaikan PPN, Upah Minimum Provinsi (UMP), dan permintaan musiman seperti Ramadan dan Hari Raya Idulfitri.

    Namun, Apindo memproyeksikan inflasi sepanjang 2025 tetap terkendali di kisaran 2,5 persen, dengan deviasi plus-minus 1 persen, sesuai target Bank Indonesia (BI).

    “Tekanan inflasi pada awal tahun akan meningkat karena sejumlah faktor, seperti kenaikan UMP, implementasi PPN 12 persen, dan permintaan musiman di kuartal pertama,” pungkas Shinta.

    Harga Makanan & Minuman bakal Naik

    Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman menilai rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen akan menambah tekanan bagi industri makanan dan minuman.

    Menurut Adhi, kenaikan ini berdampak langsung pada margin produksi, mulai dari biaya kemasan hingga bahan tambahan lainnya, yang pada akhirnya memengaruhi harga jual produk makanan dan minuman kemasan.

    “PPN ini sifatnya berantai. Setiap tahap produksi memiliki margin yang akan terakumulasi, sehingga diperkirakan kenaikan harga di tingkat konsumen mencapai 2-3 persen akibat kenaikan PPN,” kata Adhi di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024.

    Ia menambahkan bahwa pelaku usaha di sektor ini khawatir kenaikan harga akan berdampak pada penurunan penjualan, terlebih daya beli masyarakat saat ini belum sepenuhnya pulih.

    Adhi mencatat bahwa daya beli masyarakat kelas bawah, meskipun telah didukung oleh sejumlah insentif pemerintah, masih belum menunjukkan perbaikan signifikan.

    Selain PPN, kenaikan upah minimum yang berlaku mulai 2025 juga menjadi tantangan bagi industri makanan dan minuman. Namun, Adhi mencatat bahwa momentum Ramadhan dan Idul Fitri di awal tahun depan mungkin akan membantu menahan penurunan penjualan.

    “Menjelang puasa dan Lebaran, penurunan penjualan kemungkinan tidak begitu terlihat karena kebutuhan masyarakat meningkat. Namun, untuk produk pangan sekunder dan tersier yang bukan kebutuhan pokok, ada potensi penurunan permintaan,” jelasnya.

    Adhi menyatakan, GAPMMI telah menyampaikan kekhawatiran para pelaku usaha kepada pemerintah. Selain mengusulkan peninjauan ulang kebijakan PPN, pihaknya juga berharap pemerintah mempertimbangkan pemberian insentif atau kompensasi bagi industri makanan dan minuman jika kenaikan pajak tetap diberlakukan.

    “Kami berharap pemerintah dapat meninjau kembali keputusan ini, apakah dengan membatalkan kenaikan PPN atau memberikan pengecualian untuk produk pangan pokok yang dibutuhkan masyarakat,” ujar Adhi.

    Ia menyoroti bahwa beberapa negara tetangga justru menurunkan PPN untuk mendukung daya beli masyarakat.

    “Mengapa di tengah situasi yang belum kondusif ini, pemerintah justru menaikkan PPN?” tanyanya.

    GAPMMI juga meminta pemerintah mengevaluasi berbagai regulasi yang berpotensi membebani biaya produksi. Adhi menekankan pentingnya keseimbangan antara kebijakan fiskal dan keberlangsungan industri makanan dan minuman yang menjadi bagian penting dari perekonomian nasional. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi