Logo
>

Trump Ancam BRICS jika Keluarkan Mata Uang Baru: RI Ketar-Ketir?

Ditulis oleh Yunila Wati
Trump Ancam BRICS jika Keluarkan Mata Uang Baru: RI Ketar-Ketir?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM -Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menggemparkan panggung geopolitik. Trump tegas menanggapi rencana negara-negara BRICS untuk menciptakan mata uang baru.

    Melalui platform media sosial pribadinya, Truth Social, Trump menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak akan tinggal diam jika negara-negara anggota BRICS – Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan – melanjutkan ambisi mereka untuk menciptakan mata uang alternatif yang dapat menggantikan dominasi dolar AS dalam perdagangan internasional.

    Lebih jauh, Trump meminta BRICS untuk berkomitmen terkait rencana baru mereka menggantikan dolar AS di pasar. Jika tidak, negara-negara tersebut akan menghadapi tarif sebesar 100 persen untuk semua produk mereka yang masuk ke pasar Amerika Serikat.

    Menurutnya, langkah ini adalah perlindungan yang mutlak diperlukan untuk memastikan dominasi ekonomi Amerika tetap utuh.

    Pernyataan Trump ini mengindikasikan kekhawatiran yang mendalam terhadap potensi tantangan terhadap dolar AS sebagai mata uang cadangan global.

    Selama beberapa dekade, dolar AS memegang peran penting dalam perdagangan dan investasi internasional. Namun, upaya negara-negara BRICS untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar telah menimbulkan perdebatan sengit di kalangan politik dan ekonomi global.

    Trump memperingatkan bahwa setiap upaya untuk menggantikan dolar AS akan membawa konsekuensi berat, termasuk kehilangan akses ke salah satu pasar terbesar di dunia, yaitu Amerika Serikat.

    Langkah ini, jika benar-benar dilakukan, dapat memicu ketegangan perdagangan yang lebih besar dan memengaruhi hubungan bilateral dengan negara-negara BRICS.

    Trump juga menyinggung bahwa negara-negara tersebut akan kesulitan menemukan mitra dagang lain yang dapat memberikan manfaat ekonomi seperti yang ditawarkan pasar Amerika. Pernyataannya menunjukkan keyakinan bahwa dominasi dolar AS tidak dapat digantikan, sekaligus menggarisbawahi ketergantungan dunia pada ekonomi Amerika.

    Namun, respons dari negara-negara BRICS masih menjadi tanda tanya. Sejauh ini, kelompok tersebut telah menunjukkan keinginan untuk memperkuat kerja sama ekonomi melalui alternatif yang dapat mengurangi dominasi dolar dalam transaksi global.

    Jika langkah Trump benar-benar diterapkan, pertanyaan besar muncul tentang bagaimana dampaknya terhadap stabilitas ekonomi global, mengingat ketergantungan banyak negara pada perdagangan dengan Amerika Serikat.

    Pernyataan ini juga dapat menciptakan tantangan bagi presiden terpilih untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan kepentingan ekonomi nasional dan mempertahankan hubungan diplomatik yang baik. Apakah ancaman tarif ini akan menjadi kebijakan yang efektif atau justru memicu respons balasan dari negara-negara BRICS, hanya waktu yang akan menjawab.

    Yang jelas, pernyataan ini telah memicu perdebatan luas tentang masa depan dominasi dolar AS dan potensi transformasi sistem ekonomi global.

    Ancaman Baru untuk Indonesia?

    Diketahui, Indonesia juga tengah bersemangat untuk bergabung dengan BRICS. Bahkan, sejumlah pengamat mengatakan bahwa dengan bregabungnya RI ke BRICS maka akan memperkuat posisi daya tawar.

    “Jika kita banyak berdagang dengan China atau India, kita bisa bernegosiasi menggunakan rupiah. Ini akan memberi kita lebih banyak keleluasaan dalam menentukan harga,” kataKetua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, kepada  Kabarbursa.com, Senin, 28 Oktober 2024.

    Dalam konteks ini, Redma menggarisbawahi penting adanya kebijakan yang mendukung pemanfaatan keanggotaan Indonesia di BRICS untuk sektor perdagangan nasional. Ia menekankan perlunya pengembangan “market intelligence” yang lebih mendalam di negara-negara anggota BRICS.

    “Market intelligence saat ini harus lebih spesifik. Kita harus mengetahui industri mana yang ada di negara tersebut. Misalnya, ketika berbicara tentang Rusia atau China, kita harus meneliti lebih dalam mengenai sektor tekstil. Apakah ada industri yang relevan dan bagaimana cara memasuki pasar tersebut,” jelasnya.

    Hal yang sama disampaikan pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie.

    Connie menilai, keanggotaan Indonesia di BRICS dapat menjadi katalis yang menguntungkan, karena membuka peluang besar dalam hal peningkatan kerja sama dengan anggota di dalamnya.

    “Keanggotaan Indonesia di BRICS dapat menjadi katalis untuk memperkuat posisi Indonesia dalam ekonomi global,” kata Connie saat  menjadi pembicara di sesi diskusi yang bertajuk ‘How to Win Geopolitics: Our Nation Journey’s to Wealth and Influence’, yang diselenggarakan Permata Bank di Jakarta, Senin, 18 November 2024.

    Kendati demikian, Connie menyebut bakal ada banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama dalam hal menjaga hubungan diplomatic yang seimbang dengan negara barat, khususnya Amerika Serikat.

    Menurut dia, Indonesia perlu memperkuat diplomasi ekonomi agar dapat memanfaatkan rivalitas geopolitik secara optimal. Sedangkan manfaat lain yang bisa didapat Indonesia adalah mendapat akses pembiayaan melalui New Development Bank (NDB).

    Namun, Direktur China-Indonesia Desk di Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Muhammad Zulfikar Rakhmat, menegaskan bahwa saat ini belum ada urgensi bagi Indonesia untuk bergabung dengan BRICS.

    Ia khawatir keberadaan China dalam kelompok tersebut dapat mempengaruhi independensi Indonesia dalam menanggapi isu-isu krusial, terutama terkait dengan manuver China di Laut China Selatan.

    “Hingga saat ini, keinginan untuk bergabung dengan BRICS tidak menunjukkan urgensi yang jelas bagi Indonesia,” ujar Zulfikar di Jakarta, Sabtu, 26 Oktober 2024.

    Peneliti CELIOS, Yeta Purnama, juga menyoroti kebimbangan pemerintah Indonesia dalam bersikap. Ia mengingatkan bahwa baru-baru ini, saat Indonesia merayakan pelantikan presiden, kapal China memasuki wilayah yuridiksi di Natuna Utara.

    “Belum ada tanggapan langsung dari Presiden Indonesia terkait isu tersebut. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tengah ragu dalam bersikap di tengah keinginan untuk bergabung dengan BRICS,” jelas Yeta.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79