KABARBURSA.COM - Donald Trump kembali menjadi sorotan. Setelah kemarin memuji pertukaran tahanan antara AS dan Rusia sebagai sinyal awal hubungan yang lebih baik, baru-baru ini ia bicara soal perang Ukraina. “Kami ingin menghentikan jutaan kematian di perang Rusia-Ukraina,” tulis Trump di media sosialnya. Bahkan, katanya, Putin sampai mengadopsi slogan kampanyenya, “COMMON SENSE.”
Masalahnya, meski Trump tampak antusias, Putin belum menunjukkan niat kuat untuk menyudahi perang yang ia yakini masih menguntungkan Rusia. Meskipun serangan Rusia di medan tempur lambat dan menimbulkan banyak korban, mereka tetap maju. Dari sisi Ukraina, gencatan senjata dengan kondisi saat ini berarti harus merelakan 20 persen wilayahnya jatuh ke tangan Rusia—sesuatu yang pasti sulit diterima.
Trump juga berbicara dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, membahas peluang mencapai perdamaian dan perkembangan teknologi drone Ukraina. “Ukraina lebih dari siapa pun menginginkan perdamaian,” ujar Zelensky, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Kamis, 13 Februari 2025.
Sebelumnya, Zelensky bertemu dengan Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, di Kyiv. Salah satu topik yang mereka bahas adalah potensi kerja sama dalam eksplorasi mineral Ukraina, sesuatu yang Trump ingin jadikan sebagai imbal balik atas bantuan militer AS. Bessent pun menyerahkan dokumen kemitraan keamanan dan ekonomi yang ditargetkan bakal disepakati dalam konferensi keamanan di Munich pekan ini.
Tapi ada satu hal yang bikin penasaran, Trump sama sekali tak menjelaskan peran Ukraina dalam negosiasi damai. Padahal, di era Biden, AS selalu menegaskan bahwa pembicaraan perdamaian harus melibatkan Ukraina.
Tim negosiator AS dalam urusan Ukraina akan diisi oleh Menteri Luar Negeri Marco Rubio, Direktur CIA John Ratcliffe, Penasihat Keamanan Nasional Michael Waltz, dan utusan khusus Timur Tengah Steve Witkoff—yang kebetulan bertemu Putin saat menjemput tahanan AS, Marc Fogel, di Moskow.
Putin sendiri bulan lalu menyatakan terbuka untuk berdialog dengan pemerintahan Trump soal perang ini. Menurutnya, Rusia ingin perdamaian jangka panjang yang menghormati kepentingan semua pihak di kawasan. Tapi di saat yang sama, ia tetap menegaskan operasi militernya bertujuan untuk melindungi kepentingan Rusia.
Trump berkampanye dengan janji akan segera mengakhiri perang di Ukraina. Tanda-tanda perubahan sikap AS pun mulai kelihatan. Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, mengatakan target mengembalikan Ukraina ke batas wilayah sebelum 2014 adalah “tujuan yang tidak realistis.” Ini cukup mengejutkan, mengingat selama pemerintahan Biden, AS selalu menekankan Rusia harus bernegosiasi langsung dengan Ukraina.
Saat berada di Brussel, Hegseth menegaskan bahwa AS tidak akan mengirim pasukan ke Ukraina dan solusi keamanan bagi Kyiv harus ditopang oleh kekuatan militer Eropa dan negara-negara non-Eropa. Ia juga menutup kemungkinan Ukraina masuk NATO dalam kesepakatan damai.
Zelensky sendiri bulan lalu mengatakan ia bisa menerima gencatan senjata selama sisa wilayah Ukraina mendapat perlindungan dari NATO. Tapi dengan pernyataan terbaru Hegseth, harapan Ukraina untuk masuk NATO bisa dibilang makin samar.
Pernyataan Hegseth langsung memicu kritik. Mantan penasihat keamanan nasional Gedung Putih di era Biden, Alexander Vindman, menyebutnya sebagai “kapitulasi total” yang bakal memperkuat posisi Putin. Sementara itu, Daniel Fried, mantan diplomat AS yang menangani sanksi terhadap Rusia di era Obama, menilai kebijakan ini mungkin saja “konsesi bodoh” kepada Moskow.
Namun, Fried juga melihat kemungkinan lain, yakni bisa jadi ini hanya strategi Trump untuk menggiring Putin ke meja negosiasi. Ia mencatat Trump dan timnya kerap mengirim sinyal yang bertolak belakang ke Moskow—kadang merayu, kadang mengancam dengan sanksi dan tarif dagang.
Zelensky Masih di Pinggir Lapangan
Ukraina memang ingin semua wilayahnya kembali, tapi mereka juga sadar bahwa merebut kembali 20 persen wilayah yang sudah diduduki Rusia bukan perkara mudah. Zelensky berharap mitra-mitra Barat bisa membantu menegosiasikan solusi diplomatik agar wilayah yang hilang bisa dikembalikan.
Sementara itu, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth memilih bungkam soal seberapa besar bantuan militer yang akan tetap diberikan AS ke Ukraina. Data dari Departemen Luar Negeri AS menunjukkan bahwa hingga 20 Januari, AS sudah mengucurkan USD65,9 miliar (Rp1.055 triliun) untuk bantuan militer Ukraina. Tapi sejak Trump berkuasa, angka itu mulai melambat.
Hegseth juga secara blak-blakan menegaskan bahwa fokus utama AS bukan lagi di keamanan Eropa. “Kami di sini hari ini untuk menyampaikan secara langsung dan tegas bahwa realitas strategis mencegah Amerika Serikat untuk terutama fokus pada keamanan Eropa,” ujarnya.
Trump sendiri mengonfirmasi dia mungkin akan bertemu Putin di Arab Saudi dalam beberapa pekan ke depan. Yang menarik, Zelensky tampaknya tidak akan dilibatkan dalam pembicaraan awal ini. Berbicara dalam acara di Gedung Putih, Trump juga menegaskan kesepahamannya dengan Hegseth bahwa NATO bukan pilihan yang praktis bagi Ukraina. AS tetap akan mengirim bantuan ke Ukraina, katanya, tapi harus dalam kondisi yang aman.
Yang bikin bertanya-tanya adalah siapa sebenarnya penasihat utama Trump dalam manuver ini. Pertukaran tahanan yang dilakukan sebelumnya sudah memunculkan indikasi bahwa Trump lebih suka jalur diplomasi langsung, bahkan tanpa melibatkan Departemen Luar Negeri secara penuh. Alih-alih menggunakan jalur resmi, Trump malah mengandalkan Steve Witkoff, utusan khusus Timur Tengah, untuk merampungkan kesepakatan pertukaran tahanan dengan Rusia.
Selain itu, Trump juga menunjuk Jenderal (Purn) Keith Kellogg, salah satu loyalisnya, sebagai utusan khusus untuk Ukraina dan Rusia. Yang aneh, Kellogg—yang selama ini dikenal vokal mendukung pertahanan Ukraina—justru tidak masuk dalam daftar tim negosiasi Trump untuk pembicaraan dengan Rusia.
Meski begitu, Kellogg tetap menjalankan perannya dengan aktif. Dia berencana memberi pengarahan kepada sekutu AS soal perkembangan negosiasi dalam Konferensi Keamanan Munich akhir pekan ini. Menurutnya, “Ada peluang nyata untuk mengakhiri perang.” Ia juga menyebut beberapa negara mulai merapat ke AS untuk menyatakan dukungan mereka terhadap inisiatif diplomatik ini.
Kellogg juga sibuk menyelaraskan komunikasi AS mengenai Ukraina-Rusia dengan para pengambil keputusan utama dalam pemerintahan Trump. “Pemain utama AS harus kompak, supaya kita semua berbicara dengan satu suara tentang salah satu prioritas kebijakan luar negeri utama Trump,” ujarnya.
Dengan nada percaya diri, Kellogg menegaskan, “Tak ada celah di antara kami.” Artinya, meskipun ada spekulasi soal arah kebijakan Trump terhadap perang Ukraina, timnya ingin menunjukkan bahwa mereka bergerak dalam satu garis. Tinggal pertanyaannya, apakah Zelensky akan tetap jadi bagian dari percakapan, atau hanya jadi penonton?(*)