Logo
>

Trump Kibarkan 'Bendera Perang Dagang', Nasib Nikel RI Merana?

Ditulis oleh Yunila Wati
Trump Kibarkan 'Bendera Perang Dagang', Nasib Nikel RI Merana?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Genderang perang dagang mulai ditabuh. Dalam akun sosial medianya, Truth Social, presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump, mengumumkan rencana untuk mengenakan tarif tambahan kepada sejumlah mitra dagangnya.

    Yang utama adalah China, Meksiko, dan Kanada. Langkah ini menandai dimulainya fase baru kebijakan "America First" yang menjadi ciri khas Trump.

    China menjadi target utama dengan rencana penerapan tarif tambahan sebesar 10 persen pada seluruh produk impor, di atas tarif yang sudah ada sebelumnya.

    Trump menuding China gagal memenuhi janji untuk menindak perdagangan obat-obatan ilegal, khususnya fentanyl, yang disebut-sebut menjadi ancaman besar bagi masyarakat Amerika.

    Sebagai catatan, produk-produk utama dari China seperti baterai, kendaraan listrik (EV), semikonduktor, serta baja dan aluminium, saat ini sudah dikenakan tarif yang sangat tinggi, masing-masing sebesar 25 persen, 100 persen, 50 persen, dan 25 persen.

    Tidak hanya China, Trump juga mengarahkan kebijakan tarif baru kepada Meksiko dan Kanada. Kedua negara ini akan dikenakan tarif sebesar 25 persen pada semua produk. Langkah ini didasari oleh tuduhan bahwa kebijakan migrasi yang longgar dari kedua negara telah memfasilitasi peningkatan imigrasi ilegal ke Amerika Serikat.

    Dampak Awal di Pasar Keuangan

    Pengumuman ini langsung mempengaruhi pasar keuangan. Mata uang negara-negara yang menjadi target kebijakan Trump mengalami pelemahan terhadap dolar AS.

    Peso Meksiko (MXN) turun 1,44 persen, dolar Kanada (CAD) melemah 0,9 persen, dan yuan China (CNY) terkoreksi 0,22 persen. Indeks dolar AS (DXY) justru menguat 0,4 persen, mencapai level 107,27, menunjukkan bahwa investor global semakin memilih aset dalam denominasi dolar AS di tengah ketidakpastian ini.

    Dampak ini juga terasa pada pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Rupiah melemah 0,44 persen menjadi Rp15.934 per dolar AS, di tengah aksi investor yang mengurangi eksposur pada mata uang berisiko dan memperkuat posisi pada dolar AS. Bank Indonesia kini berada di bawah tekanan untuk menstabilkan nilai tukar.

    Namun, tidak semua pasar merespons secara negatif. Indeks Shanghai Composite dan Hang Seng masing-masing naik 0,22 persen dan 0,45 persen. Kenaikan ini menunjukkan bahwa pasar mungkin telah mengantisipasi pengumuman Trump sebelumnya.

    Dampak Potensial bagi Indonesia

    Trump telah berjanji untuk meningkatkan tarif hingga 60-100 persen untuk produk China dan hingga 20 persen untuk impor dari negara-negara lain. Langkah ini menegaskan komitmennya untuk menggunakan tarif sebagai alat negosiasi demi mendorong agenda proteksionisnya.

    Meskipun Indonesia tidak menjadi target langsung dalam gelombang awal perang dagang ini, negara ini tetap perlu waspada. Amerika Serikat adalah mitra dagang besar bagi Indonesia, khususnya dalam produk seperti tekstil, alas kaki, dan kelapa sawit.

    Salah satu sektor yang perlu diperhatikan adalah nikel, di mana China berperan sebagai investor dan konsumen utama. Jika ketegangan antara AS dan China terus meningkat, dampaknya bisa merembet ke Indonesia melalui jalur investasi dan ekspor nikel.

    Meskipun surplus perdagangan Indonesia dengan AS relatif kecil dibandingkan dengan China atau Meksiko, situasi ini tetap menjadi peringatan dini bagi para pembuat kebijakan dan pelaku bisnis untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan eskalasi lebih lanjut.

    Pernyataan Trump ini menandai dimulainya babak baru dalam kebijakan perdagangan global yang penuh ketegangan. Dengan langkah yang berpotensi memicu respons balasan dari negara-negara yang menjadi target, perang dagang ini dapat menciptakan dinamika baru dalam hubungan ekonomi internasional.

    Untuk Indonesia, meski dampak langsung mungkin belum terasa, menjaga kestabilan ekonomi dan diversifikasi mitra dagang menjadi kunci dalam menghadapi risiko di masa depan.

    Vale Paling Terpukul

    Perusahaan tambang nikel Indonesia dianggap paling rentan terhadap dampak konflik perdagangan, terutama perusahaan yang sangat bergantung pada permintaan dari China.

    China merupakan importir terbesar nikel dari Indonesia, sehingga setiap gangguan dalam hubungan perdagangan atau tarif yang dikenakan sebagai bagian dari perang dagang dapat memengaruhi perusahaan-perusahaan yang mengandalkan pasar ini.

    Beberapa perusahaan penghasil nikel utama di Indonesia antara lain:

    1. PT Vale Indonesia Tbk (INCO) – Sebagai produsen utama nikel matte, yang sebagian besar diekspor ke pasar internasional, termasuk China.
    2. PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) – Dikenal dalam penambangan dan pengolahan nikel menjadi feronikel dan nikel pig iron, dengan sebagian besar ekspornya ditujukan ke China.
    3. PT Ifishdeco Tbk (IFSH) – Terlibat dalam penambangan nikel, terutama di Sulawesi Tenggara, dengan fokus ekspor yang kuat.
    4. PT Resource Alam Indonesia Tbk (KKGI) – Pemain baru yang mengincar produksi nikel dengan kehadiran ekspor yang terus berkembang.

    Perusahaan-perusahaan ini berisiko besar jika permintaan nikel dari China menurun akibat tarif yang lebih tinggi atau gangguan perdagangan yang disebabkan oleh ketegangan geopolitik.

    Di antara perusahaan-perusahaan tersebut, Vale Indonesia adalah eksportir nikel terbesar ke China. Vale, sebagai pemain kunci di pasar nikel global, telah lama menjalin kemitraan dengan perusahaan-perusahaan China untuk memasok nikel yang digunakan dalam produksi baterai kendaraan listrik (EV) dan kebutuhan industri lainnya.

    Vale saat ini terlibat dalam sejumlah usaha patungan signifikan dengan perusahaan China, termasuk pembangunan fasilitas High-Pressure Acid Leaching (HPAL) di Indonesia untuk memproses nikel yang digunakan dalam baterai EV. Kemitraan ini mendukung pasar EV China yang berkembang pesat serta rencana Vale untuk memperluas kapasitas pengolahan mereka.

    Perusahaan ini aktif terlibat dalam berbagai kolaborasi strategis dengan perusahaan-perusahaan China, termasuk investasi dalam proyek High-Pressure Acid Leaching (HPAL) senilai USD1,4 miliar yang bertujuan untuk memproduksi nikel untuk sistem penyimpanan energi (ESS) baterai, dengan rencana untuk mengirimkan setidaknya 60.000 ton nikel terkandung setiap tahunnya.

    Vale juga memiliki kehadiran yang signifikan dalam pengembangan produk nikel yang berkelanjutan dan bernilai tinggi, yang menegaskan komitmennya untuk memproduksi nikel yang sesuai dengan permintaan energi hijau global, termasuk fokus pada produksi yang netral karbon (net-zero).

    Bagi yang khawatir akan dampaknya terhadap perusahaan tertentu, memantau kinerja keuangan dan eksposur pasar mereka, terutama yang terkait dengan ketergantungan ekspor ke China, menjadi langkah yang penting.

    Strategi Emiten Nikel Hadapi Perang Dagang

    Perang dagang yang dimulai oleh kebijakan proteksionis Donald Trump, dapat memberikan dampak signifikan terhadap sektor nikel Indonesia. Dengan ketergantungan Indonesia pada China sebagai pasar utama untuk ekspor nikel, ketegangan dagang ini berpotensi memengaruhi permintaan dan harga komoditas tersebut.

    Namun, di tengah tantangan ini, terdapat berbagai peluang yang dapat dimanfaatkan oleh emiten nikel untuk mempertahankan daya saing mereka di pasar global.

    Salah satu strategi yang sangat penting adalah diversifikasi pasar ekspor. Mengingat China adalah pembeli terbesar nikel Indonesia, ketegangan dalam hubungan dagang AS-China bisa mengancam stabilitas permintaan dari negara tersebut.

    Oleh karena itu, penting bagi emiten nikel untuk memperluas pasar ekspor mereka, menargetkan negara-negara lain yang juga membutuhkan nikel, seperti Uni Eropa, India, atau bahkan Amerika Latin. Melalui hubungan bilateral yang lebih kuat dan pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas (FTA), Indonesia dapat memperluas jangkauan pasar produk nikel mereka.

    Selain itu, fokus pada produk bernilai tambah merupakan langkah strategis untuk menjaga daya saing. Meskipun perang dagang mungkin memengaruhi permintaan bahan mentah seperti bijih nikel, produk olahan seperti nikel sulfat, feronikel, dan nikel matte yang digunakan dalam produksi baterai kendaraan listrik tetap dibutuhkan.

    Emiten harus beradaptasi dengan kebijakan pemerintah yang mendorong hilirisasi industri dan berinvestasi pada smelter serta bekerja sama dengan mitra internasional dalam pengolahan nikel untuk menciptakan produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi.

    Dalam menghadapi ketidakpastian pasar global, efisiensi biaya produksi juga menjadi faktor kunci. Volatilitas harga nikel yang dipengaruhi oleh ketegangan dagang dapat mengancam margin keuntungan.

    Oleh karena itu, emiten nikel perlu memastikan operasi mereka tetap efisien dengan memanfaatkan teknologi modern untuk menekan biaya produksi dan menyesuaikan kapasitas produksi sesuai dengan permintaan pasar yang fluktuatif.

    Meskipun hubungan dagang AS-China tegang, China tetap menjadi mitra dagang yang sangat penting bagi Indonesia. Oleh karena itu, menjaga hubungan baik dengan perusahaan-perusahaan China yang terlibat dalam sektor nikel, seperti yang ada di kawasan industri Morowali, sangat penting.

    Komunikasi yang transparan dan pemenuhan perjanjian bisnis dapat membantu memperkuat kerjasama jangka panjang.

    Di tengah ketidakpastian harga, emiten nikel juga perlu melindungi diri dari risiko volatilitas melalui instrumen keuangan seperti kontrak lindung nilai (hedging), yang dapat membantu mengurangi dampak fluktuasi harga.

    Peran pemerintah Indonesia juga tidak kalah penting dalam mendukung sektor ini. Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal, kebijakan perdagangan yang mendukung akses ke pasar baru, dan memfasilitasi kerjasama antar negara untuk menciptakan iklim yang lebih stabil bagi emiten nikel.

    Kolaborasi yang erat antara sektor swasta dan pemerintah akan memperkuat posisi Indonesia di pasar internasional.

    Selain itu, dengan tren transisi energi bersih yang terus berkembang, permintaan global untuk nikel untuk produksi baterai kendaraan listrik diperkirakan akan terus tumbuh. Emiten nikel Indonesia perlu berfokus pada peningkatan kualitas produk mereka untuk memenuhi standar internasional, khususnya untuk nikel kelas tinggi yang dibutuhkan dalam industri baterai EV.

    Secara keseluruhan, meskipun perang dagang AS-China memberikan tantangan bagi sektor nikel Indonesia, dengan strategi diversifikasi pasar, fokus pada produk bernilai tambah, efisiensi biaya, serta dukungan kebijakan yang tepat, emiten nikel dapat tetap bertahan dan bahkan berkembang di tengah ketegangan global.

    Adaptasi terhadap perubahan tren pasar global dan pengelolaan risiko yang tepat akan menjadi kunci untuk menghadapi tantangan ini.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79