KABARBURSA.COM –KABARBURSA.COM – Di tengah memanasnya tensi perdagangan global, Head of Research Phintraco Sekuritas, Valdy Kurniawan, mengungkap adanya pergeseran besar dalam tata kelola perdagangan dunia.
Ia menyebut bahwa perang tarif yang digencarkan Amerika Serikat bukan sekadar kebijakan ekonomi biasa, melainkan tanda dari perubahan struktural yang disebutnya sebagai seismic change.
“Kalau dulu kita punya global trade dispute, semua dibawa ke WTO. Sekarang? Udah nggak ke sana lagi. Kalau ada masalah dagang sama AS, ya negonya langsung sama Trump,” ungkap Valdy dalam diskusi “Navigating the Potential Shifting of the Global Economic Landscape” di Jakarta, Minggu, 22 Juni 2025.
Menurut Valdy, ini adalah perubahan besar dalam metode penyelesaian sengketa dagang global. Bukan lagi multilateral dan berbasis sistem, melainkan bergeser menjadi bilateral dan politis.
Sebelumnya, World Trade Organization (WTO) berperan sebagai wasit netral dalam menyelesaikan sengketa perdagangan antarnegara. Tapi di era Trump, terutama jika ia kembali terpilih, mekanisme itu dianggap tak relevan.
“Trump bypass semua itu. Nggak ke WTO lagi. Dan untungnya, kelihatannya pemerintah kita bisa ngeladenin Trump. Diskusi terakhir kemarin cukup positif,” tutur Valdy.
Ia menyebut kepercayaan yang tinggi terhadap Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam menghadapi dinamika ini.
Yang menarik, menurut Valdy, justru Asia Tenggara kini menjadi sasaran utama tarif tinggi dari AS. Berdasarkan data yang ia paparkan, Vietnam dikenakan tarif hingga 46 persen, sementara Indonesia sempat tercatat 32 persen.
“Trump melihat Asia Tenggara sebagai proksi China. Jadi barang-barang dari Tiongkok ‘disamarkan’ seolah berasal dari Asia Tenggara, karena banyak investasi pabrik China yang pindah ke sini,” ujarnya.
Skenarionya sederhana: perusahaan Tiongkok membangun pabrik di Vietnam atau Indonesia, lalu barang produksinya diekspor ke AS dari negara tersebut. Padahal pemilik modalnya tetap perusahaan China.
“Ini yang bikin Asia Tenggara kena tarif tinggi. Karena dilihat sebagai jalur belakang China untuk masuk ke pasar AS,” jelas Valdy.
Valdy menekankan bahwa jika ekspor ke AS tertahan akibat lonjakan tarif, maka akan terjadi overcapacity di sektor industri negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Barang yang awalnya diproduksi untuk pasar global kini harus dijual di pasar domestik.
“Contoh sederhananya, banyak pabrik garmen di Vietnam. Mereka produksi baju untuk merek-merek global. Kalau nggak bisa diekspor ke AS, mau dibawa ke mana?” ujar Valdy.
Ia juga menyoroti bahwa Vietnam memiliki keunggulan upah buruh yang lebih rendah dibanding Indonesia, sehingga tekanan ke harga domestik bisa lebih besar.
Artinya, Indonesia tidak hanya berhadapan dengan hambatan ekspor, tapi juga potensi membanjirnya produk dari negara tetangga akibat kelebihan pasokan regional.(*)