KABARBURSA.COM - Pakar Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi, menilai kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen belum mencerminkan kondisi ekonomi riil di berbagai daerah. Menurutnya, variasi upah antarprovinsi yang signifikan menciptakan kesenjangan daya beli yang merisaukan.
“Di Jakarta, UMP mencapai Rp5 juta, sedangkan di Jawa Tengah hanya sekitar Rp2,6 juta. Perbedaannya hampir setengah. Ini menunjukkan daya beli yang sangat rendah di daerah dengan UMP kecil,” ungkap Tadjuddin kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Minggu, 1 Desember 2024.
Ia menyoroti bahwa penerapan kebutuhan hidup layak (KHL) dalam perhitungan UMP baru akan menghasilkan disparitas yang lebih besar antarprovinsi.
"Penghitungan KHL berbasis garis kemiskinan dan pengeluaran sangat berbeda-beda di setiap provinsi. Akibatnya, implikasi terhadap daya beli juga berbeda,” tambahnya.
Tadjuddin juga memperingatkan potensi migrasi bisnis ke daerah dengan UMP lebih rendah. Ia mencatat tren perpindahan perusahaan dari Jawa Barat ke Jawa Tengah sebagai contoh nyata.
“Di Jawa Barat, UMP lebih tinggi dibanding Jawa Tengah. Jadi, perusahaan memilih relokasi untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Bahkan, ada yang memindahkan operasinya ke luar negeri, seperti Vietnam, karena beban di Indonesia dinilai terlalu berat,” katanya.
Selain kesenjangan UMP, Tadjuddin menyoroti masalah pungutan dan biaya tambahan yang membebani perusahaan, terutama di daerah.
“Pungutan-pungutan nonformal itu cukup besar. Ini yang sering dikeluhkan oleh pelaku usaha,” tegasnya.
Menurut Tadjuddin, pemerintah harus fokus menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk mengatasi persoalan ini. Ia menyarankan agar pungutan-pungutan tersebut diminimalkan, sehingga menarik lebih banyak investor.
“Jika investasi meningkat, devisa bertambah, APBN juga bisa tumbuh. Dengan demikian, beban pajak dapat dikurangi dan ekonomi menjadi lebih stabil,” pungkasnya.
Silang Sengketa Upah Minimum
Anggota Komisi IX DPR RI, Zainul Munasichin, sebelumnya menyatakan dukungan penolakan buruh atas draf Peraturan Menteri Tenaga Kerja atau Permenaker perihal rumus perhitungan upah minimum 2025. Ia menilai, aturan tersebut tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023, yang bersifat final dan mengikat.
Putusan MK tersebut telah menghapus aturan lama dalam Undang-Undang Cipta Kerja, termasuk ketentuan soal penetapan upah minimum. Rumus perhitungan upah minimum 2025 dinilai harus menyesuaikan dengan keputusan hukum tersebut.
Sementara itu, buruh mengusulkan formula perhitungan upah minimum yang berbasis nilai inflasi ditambah indeks tertentu (α) dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi. Rumus tersebut dirumuskan dalam bentuk inflasi + (α x pertumbuhan ekonomi). Untuk 2025, mereka mengajukan indeks α sebesar 1,0 hingga 1,2, yang berlaku seragam untuk semua jenis industri, tanpa membedakan antara sektor padat karya dan padat modal.
“Pemerintah harus tunduk pada putusan MK dalam menentukan upah minum. Putusan itu menghapus aturan lama yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja,” kata Zainul dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 26 November 2024.
Zainul mengatakan penetapan upah juga perlu memperhatikan proporsionalitas kebutuhan hidup layak (KHL). Jika pemerintah merujuk pada putusan tersebut, para buruh pasti akan menerima penetapan upah minimum yang ditetapkan. “Sebaliknya, kalau pemerintah menentukan rumusan di luar yang ditetapkan MK, maka pasti akan menimbulkan penolakan,” katanya.
Zainul menilai, draf Permenaker relatif membuat posisi buruh lemah. Dalam draf Permenaker Upah Minimum 2025 kenaikan upah dibedakan menjadi dua kategori, yakni kenaikan upah minimum untuk industri padat karya, dan kenaikan upah minimum industri padat modal.
Menurutnya, draf Permenaker menetapkan aturan perusahaan yang tidak mampu membayar kenaikan upah minimum dapat dirundingkan di tingkat bipartit perusahaan. “Buruh jelas menolak, karena penetapan upah minimum diputuskan oleh Dewan Pengupahan Daerah seperti yang diatur dalam putusan MK” tegasnya.
Zainul pun mendesak pemerintah bijak dalam menentukan upah. Menurutnya, wajar jika para buruh meminta kenaikan upah hingga 10 persen. “Kami berharap pemerintah segera menentukan Upah Minimum 2024 yang sesuai dengan aspirasi guru,” katanya.
Begini Respons Pengusaha
Pengusaha dan buruh mempertanyakan dasar perhitungan yang digunakan untuk menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen.
Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan UMP 2025 pada Jumat, 29 November 2024 Istana Kepresidenan, Jakarta.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkapkan bahwa hingga kini belum ada penjelasan menyeluruh mengenai metodelogi kenaikan UMP 2025. Mereka juga mempertanyakan apakah perhitungan tersebut sudah mempertimbangkan faktor produktivitas tenaga kerja, daya saing perusahaan, serta kondisi ekonomi yang berlaku saat ini.
“Metodologi perhitungan ini sangat penting agar kebijakan yang diambil bisa menciptakan keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan dunia usaha. Penjelasan terkait penetapan UMP 2025 juga diperlukan agar dunia usaha dapat merespons ketidakpastian kebijakan pengupahan yang masih berlanjut,” kata Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani dalam keterangan tertulis, Minggu, 1 Desember 2024.
Shinta menjelaskan, kenaikan UMP yang cukup besar ini tentu akan langsung berdampak pada biaya tenaga kerja dan struktur biaya operasional perusahaan, terutama di sektor yang padat karya.
Ia pun mendorong pemerintah untuk memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai dasar kenaikan UMP serta memperhitungkan masukan dari dunia usaha guna memastikan kebijakan yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Produktivitas Tenaga Kerja
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam juga menyayangkan bahwa masukan dunia usaha tidak dipertimbangkan dalam penetapan kebijakan ini. Bob menegaskan bahwa Apindo telah aktif berpartisipasi dalam diskusi terkait kebijakan upah minimum dan memberikan masukan yang berbasis data mengenai kondisi ekonomi, daya saing usaha, serta produktivitas tenaga kerja.
“Kami sudah memberikan input yang lengkap dan berdasarkan data mengenai kondisi ekonomi, daya saing usaha, serta produktivitas tenaga kerja. Namun, sepertinya masukan dari dunia usaha, yang merupakan aktor utama dalam perekonomian, tidak menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan,” jelas Bob.
Di tempat terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi juga mempertanyakan dasar perhitungan yang menghasilkan angka kenaikan tersebut.
“Presiden Prabowo mengumumkan kenaikan upah minimum yang sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh presiden-presiden lain. Ini menunjukkan perhatian besar Presiden terhadap nasib pekerja di Indonesia. Namun, saya terkejut karena yang diumumkan adalah angka kenaikan terlebih dahulu, bukan rumus atau formulasi penghitungan yang masih dibahas,” ujar Ristadi.(*)