KABARBURSA.COM - Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karim menilai Indonesia perlu meniru langkah Vietnam dalam hal menjadikan kredit sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, hal ini penting dilakukan karena arah kebijakan kredit di Indonesia masih terlalu elitis dan belum menyentuh sektor produktif secara optimal.
Ia menilai, keberhasilan Vietnam mendorong pertumbuhan ekonomi bukan karena keberuntungan atau keajaiban pasar, tapi keberanian pemerintah mengambil kendali arah pemerintahan.
“Vietnam tidak menunggu pasar bergerak. Mereka mengarahkan langsung bank-bank milik negara untuk menyokong pertanian, ekspor, dan teknologi. Itu strategi, bukan kebetulan,” ujarnya kepada KabarBursa.com, pada Kamis, 22 Mei 2025
Di Vietnam, kata dia, intervensi negara terhadap lembaga keuangan berjalan dengan fokus dan disiplin. Negara itu menjadikan kredit sebagai alat kebijakan yang nyata, bukan hanya sebagai statistik makro. Implikasinya, rasio kredit terhadap PDB mereka melonjak, ekspor tumbuh, dan lapangan kerja tercipta secara masif.
Sementara itu, kondisi di Indonesia justru bertolak belakang. Kredit masih tersentralisasi hanya di kelompok besar, sementara sebagian besar UMKM hanya mendapatkan akses sangat terbatas.
Syafruddin mengungkapkan bahwa struktur keuangan nasional masih terlalu melayani kepentingan elite dan belum menjangkau akar produktivitas ekonomi. Ia menilai, rendahnya alokasi kredit ke sektor prioritas menjadi penghambat utama pencapaian target pertumbuhan ekonomi 5,8 persen yang ditetapkan pemerintah untuk tahun 2026.
“Kalau kredit tidak mengalir ke tempat yang tepat, jangan harap mesin pertumbuhan bisa bergerak. Pemangkasan suku bunga tak akan cukup kalau struktur pembiayaannya tetap timpang,” tegasnya.
Empat Rekomendasi Kunci
Dalam analisanya, Syafruddin mendorong sejumlah langkah reformasi agar kredit benar-benar menjadi amunisi pertumbuhan. Pertama, ia menyarankan Bank Indonesia dan OJK berani merombak sistem insentif kredit.
Bank yang menyalurkan kredit ke UMKM dan sektor prioritas perlu diberi kemudahan likuiditas dan potongan Giro Wajib Minimum (GWM).
Kedua, ia menilai skema penjaminan kredit harus diperluas. Digitalisasi dan integrasi data perbankan dengan lembaga penjaminan perlu segera dilakukan agar prosesnya lebih efisien dan menjangkau lebih banyak pelaku usaha kecil.
Ketiga, ia mendorong pemerintah mendukung pertumbuhan fintech lending yang kredibel dan teregulasi sebagai pelengkap sistem keuangan nasional. Fintech, menurutnya, mampu menembus sektor informal yang selama ini luput dari jangkauan bank.
Syafruddin juga menekankan pentingnya memperkuat literasi keuangan di masyarakat. Menurut dia, program literasi keuangan seharusnya menjadi agenda nasional yang terintegrasi dengan pendidikan dan pelayanan publik.
Lebih lanjut, Ia khawatir, tanpa perubahan sistemik, sinyal moneter dari BI tak akan benar-benar menjangkau pelaku usaha kecil yang sebenarnya menjadi penggerak utama pertumbuhan.
“Kita butuh keberanian untuk memastikan kredit tidak lagi jadi milik segelintir, tapi menjadi hak seluruh pelaku ekonomi. Karena dalam ekonomi modern, pembangunan bukan hanya soal niat, tapi soal pembiayaan yang merata dan produktif,” tandasnya.
BI Revisi Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Seperti diberitakan sebelumnya, Bank Indonesia (BI) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional untuk tahun 2025 menjadi di kisaran 4,6 hingga 5,4 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya yang berada di rentang 4,7 hingga 5,5 persen.
Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar pada Rabu, 21 Mei 2025. Acara ini disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube resmi Bank Indonesia.
“Realisasi PDB kuartal I-2025 yang sebesar 4,87 persen year-on-year (yoy) lebih rendah dari triwulan sebelumnya, mengindikasikan perlunya penguatan permintaan domestik. Maka dari itu, kami merevisi kisaran pertumbuhan ekonomi 2025 menjadi 4,6 sampai 5,4 persen,” jelas Perry saat menyampaikan hasil rapat.
Data menunjukkan bahwa laju ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2025 melambat dibandingkan kuartal akhir tahun sebelumnya. Dari posisi 5,02 persen di kuartal IV-2024, pertumbuhan ekonomi tercatat turun menjadi 4,87 persen secara tahunan.
Meski demikian, konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama pertumbuhan. Peningkatan ini didorong oleh tingginya mobilitas masyarakat selama masa libur pergantian tahun dan perayaan Idulfitri.
Di sisi lain, kinerja investasi bangunan tercatat melambat, sementara investasi di luar sektor bangunan tetap menunjukkan tren positif, sejalan dengan masuknya investasi asing langsung (FDI) ke dalam negeri.
Sektor ekspor juga mencatat pertumbuhan, ditopang oleh peningkatan permintaan dari negara mitra dagang utama seperti Tiongkok, India, dan kawasan Eropa. Dari sisi lapangan usaha, sektor industri pengolahan, perdagangan, transportasi dan pergudangan, serta pertanian memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan.
Kendati demikian, sejumlah indikator ekonomi pada awal kuartal kedua 2025 mengisyaratkan perlunya dorongan tambahan terhadap aktivitas ekonomi agar target pertumbuhan sepanjang tahun tetap tercapai.(*)