KABARBURSA.COM – Rencana Direktorat Jenderal Pajak dan Kementerian Keuangan untuk mengenakan pajak atas transaksi toko online seperti Tokopedia dan Shopee kembali menuai kritik keras.
Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, menilai langkah tersebut mencerminkan ketidakpekaan pemerintah terhadap kondisi ekonomi rakyat, terutama pelaku UMKM yang masih berjibaku di tengah tekanan global dan penurunan daya beli.
“Rakyat sedang berdarah-darah, terutama pelaku UMKM yang berjualan di online maupun offline. Persaingan usaha tidak sehat, daya beli menurun, ekonomi global juga belum pulih. Dalam situasi seperti ini, bukannya diberi napas, malah mau ditambah beban rakyat dengan pajak lagi,” ujar Mufti, kepada awak media di Jakarta, Sabtu, 28 Juni 2025.
Mufti mengingatkan bahwa pelaku UMKM daring sudah dibebani beragam potongan biaya oleh platform marketplace. Dari komisi penjualan, biaya iklan, hingga ongkir dan diskon promo yang seringkali dipaksakan oleh sistem.
"Apa Pemerintah lupa bahwa pelaku UMKM di platform online sudah menghadapi berbagai potongan? Mereka dipotong komisi oleh marketplace, bayar biaya iklan agar produknya muncul di pencarian, dipotong ongkir, diskon promo, dan biaya-biaya tersembunyi lainnya," tegas politisi dari Dapil Jawa Timur II itu.
Ia pun menilai kebijakan ini bertolak belakang dengan semangat Presiden Prabowo Subianto yang selama ini mengusung visi ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan UMKM. Menurut Mufti, para pembantu presiden harus lebih peka dan tidak menyusun kebijakan yang justru melemahkan sektor akar rumput.
“Pak Prabowo selalu menekankan soal keberpihakan pada wong cilik, pada ekonomi rakyat. Tapi kebijakan Kemenkeu ini justru menusuk dari belakang semangat itu," kritiknya tajam.
"Jangan rampok uang rakyat dengan dalih pajak, kalau negara belum memberi ruang yang adil dan mudah bagi mereka untuk bisa bertahan dan bersaing!," jelasnya.
Mufti juga menyoroti banyaknya pelaku usaha yang gulung tikar akibat tekanan biaya operasional dan potongan yang makin tak masuk akal di marketplace. Pemerintah, menurutnya, harus introspektif dan bertanya: sudahkah negara benar-benar hadir bagi UMKM?
"Jangan asal pajak, tanpa ada insentif, tanpa ada kejelasan. Rakyat harus tahu, kalau mereka bayar pajak, apa kemudahan dan fasilitas yang mereka dapat?” sambungnya.
Ia pun mendesak agar rencana kebijakan pajak marketplace dikaji ulang secara menyeluruh, tidak hanya dilihat dari potensi penerimaan negara, tetapi juga dari aspek keadilan sosial dan kesiapan sistem pendukung.
“Jangan tambah luka rakyat yang sedang berdarah ini. Negara seharusnya jadi pelindung, bukan pemalak yang memanfaatkan keadaan. Kami minta ini dihentikan sementara, dikaji ulang secara komprehensif, dan melibatkan pelaku UMKM secara langsung,” tegas Mufti.
Menurutnya, apabila pemerintah tetap memaksakan kebijakan ini tanpa memperhatikan dampaknya ke sektor informal dan pelaku usaha mikro, maka yang dipertaruhkan adalah legitimasi sosial negara itu sendiri.
"Kalau pemerintah tetap memaksakan diri tanpa empati dan keberpihakan, maka ini bukan lagi soal fiskal, ini soal keadilan sosial. Jangan sampai negara kehilangan kepercayaan rakyatnya hanya karena kebijakan yang tidak bijak," ujarnya.
Mufti menegaskan bahwa ia tidak menolak pajak sebagai instrumen pembangunan, namun penarikan pajak harus adil, terukur, dan tidak membebani rakyat yang belum kuat.
"Pajak harus proporsional, adil, dan memperhatikan konteks sosial," ucapnya.
Lebih lanjut, Mufti mendorong agar pemerintah memberikan penjelasan terbuka soal parameter teknis kebijakan ini: dari ambang batas omzet, skema pemungutan, hingga peran dan tanggung jawab platform.
"Edukasi kepada pelaku UMKM dan perlindungan terhadap risiko pungutan ganda juga harus menjadi bagian integral dari kebijakan," sebutnya.
Mufti menegaskan komitmennya di parlemen untuk terus mengawal suara pelaku usaha kecil agar kebijakan fiskal berpihak kepada rakyat.
"Negara tidak boleh hadir sebagai pemalak. Negara harus hadir sebagai pelindung," pungkasnya.(*)