KABARBURSA.COM - Bursa saham Wall Street mencatat penguatan pada perdagangan Rabu waktu setempat atau Kamis dinihari WIB, 13 Maret 2025, seiring dengan data inflasi yang lebih rendah dari perkiraan, yang memberikan sedikit optimisme di tengah tekanan perang tarif yang semakin memanas. Meski begitu, dampak dari kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump terus membayangi pasar, menahan laju kenaikan indeks utama.
Indeks S&P 500 dan Nasdaq berhasil ditutup di zona hijau, didorong oleh saham teknologi yang mengalami lonjakan signifikan. Nasdaq, yang dikenal dengan bobot besar saham-saham berbasis teknologi, mencatat lonjakan tajam, sementara S&P 500 naik lebih moderat.
Sebaliknya, Dow Jones justru bergerak fluktuatif sepanjang sesi dan akhirnya ditutup sedikit lebih rendah dibandingkan hari sebelumnya.
Pada penutupan perdagangan, Dow Jones Industrial Average turun 82,55 poin atau 0,20 persen ke level 41.350,93. S&P 500 menguat 27,23 poin atau 0,49 persen menjadi 5.599,30, sedangkan Nasdaq Composite melesat 212,36 poin atau 1,22 persen ke posisi 17.648,45.
Saham teknologi menjadi sektor yang paling unggul di antara 11 sektor utama dalam indeks S&P 500, sementara sektor consumer staples dan perawatan kesehatan mengalami perlambatan. Dorongan bagi saham teknologi datang setelah laporan yang menyebutkan bahwa TSMC sedang dalam tahap pembicaraan dengan Nvidia, AMD, dan Broadcom untuk investasi dalam usaha patungan di industri semikonduktor AS. Intel pun menikmati dampak positif dari kabar ini dengan kenaikan saham sebesar 4,6 persen.
Di sisi lain, tekanan bagi pasar tetap kuat akibat kebijakan proteksionisme Trump. Keputusan terbaru untuk mengenakan tarif 25 persen pada impor baja dan aluminium memicu respons dari Kanada dan Uni Eropa yang mengancam dengan tindakan balasan. Ketegangan dagang ini memunculkan kekhawatiran baru di kalangan investor bahwa eskalasi tarif akan memicu lonjakan harga barang dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, bahkan bisa menyeret AS ke dalam resesi.
Goldman Sachs pun menurunkan target akhir tahun untuk indeks S&P 500, sementara J.P. Morgan meningkatkan kemungkinan terjadinya resesi akibat kebijakan perdagangan yang tidak menentu.
Sementara itu, data inflasi dari Departemen Tenaga Kerja AS menjadi kabar yang sedikit melegakan. Indeks Harga Konsumen (CPI) menunjukkan bahwa laju inflasi melambat lebih dari perkiraan, meningkatkan harapan bahwa Federal Reserve akan lebih longgar dalam kebijakan suku bunga. Meski begitu, pelaku pasar masih skeptis terhadap kemungkinan pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat.
Kondisi pasar juga semakin tidak menentu akibat perkembangan politik di Washington. Anggota parlemen masih berdebat tentang rancangan undang-undang anggaran sementara yang bertujuan untuk menghindari potensi government shutdown. Ketidakpastian ini turut menambah volatilitas di pasar, dengan investor terus mencermati dinamika di Capitol Hill.
Di bursa saham New York (NYSE), jumlah saham yang menguat lebih banyak daripada yang melemah dengan rasio 1,15 banding 1. Nasdaq juga menunjukkan tren serupa dengan rasio 1,45 banding 1. Meski ada kenaikan di beberapa sektor, S&P 500 masih mencatat 18 titik terendah baru dalam 52 minggu terakhir, sementara Nasdaq Composite mencatat 26 titik tertinggi baru dan 200 titik terendah baru.
Secara keseluruhan, pasar saham AS masih berusaha mencari arah di tengah sentimen yang beragam. Di satu sisi, inflasi yang lebih rendah memberikan dorongan bagi optimisme investor, tetapi di sisi lain, perang tarif yang semakin panas dan ketidakpastian kebijakan moneter tetap menjadi faktor risiko utama. Dengan kondisi seperti ini, volatilitas diperkirakan masih akan mendominasi pergerakan pasar dalam beberapa pekan ke depan.
IHSG Terjebak Volatilitas Tinggi
Dari dalam negeri, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih mengalami volatilitas tinggi di tengah ketidakpastian ekonomi global dan domestik. Hal ini disampaikan oleh Global Market Strategist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, yang menilai bahwa faktor eksternal dan internal masih memberikan tekanan bagi pasar saham Indonesia.
“Kondisi ekonomi global saat ini masih kurang kondusif, ditambah dengan sentimen negatif dari lembaga investasi seperti Goldman Sachs dan Morgan Stanley yang semakin menekan IHSG dalam beberapa hari terakhir,” ujar Myrdal dalam Dialog Analis Kabar Bursa Hari Ini, Rabu, 12 Maret 2025.
Meskipun demikian, menurutnya, volatilitas ini tetap memberikan peluang bagi investor jangka pendek untuk meraih keuntungan.
Salah satu faktor utama yang memengaruhi pasar adalah perkembangan perang dagang antara Amerika Serikat dengan China, Kanada, dan Meksiko. Ketidakpastian dari konflik dagang ini semakin memperburuk sentimen investor global terhadap pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Myrdal juga mencatat bahwa investor asing telah mencatatkan aksi jual bersih (net selling) di bursa saham Indonesia dengan nilai mencapai USD1,1 miliar sejak awal tahun 2025 hingga saat ini.
“Kita melihat banyak investor global yang mulai kehilangan kesabaran terhadap progres ekonomi Indonesia. Jika kondisi ekonomi tidak sesuai dengan ekspektasi mereka, mereka cenderung mengambil aksi jual saat IHSG mengalami penguatan atau sell on rally,” jelasnya.
Ke depan, Myrdal memprediksi pergerakan IHSG masih akan terus volatile. “Hari ini mungkin kita melihat rebound signifikan, tetapi tidak menutup kemungkinan IHSG kembali mengalami tekanan jika ada sentimen negatif baik dari global maupun domestik,” tambahnya.
Dalam kondisi seperti ini, Myrdal menyarankan agar investor jangka pendek lebih aktif memanfaatkan momentum volatilitas pasar. Sementara itu, bagi investor jangka panjang, strategi buy on weakness bisa diterapkan dengan fokus pada saham-saham berfundamental kuat dan valuasi menarik.
Ia juga menyoroti pentingnya kebijakan pemerintah dalam menciptakan stabilitas pasar. Menurutnya, jika program pemerintah seperti makan bergizi gratis dan berbagai inisiatif investasi mulai menunjukkan hasil konkret, hal ini bisa menjadi katalis positif bagi IHSG. Namun, hingga saat ini, ketidakpastian masih tinggi sehingga volatilitas pasar diperkirakan akan terus berlanjut.
“Selama belum ada perkembangan yang lebih firm terkait perang dagang dan hasil nyata dari kebijakan ekonomi domestik, pasar akan tetap berfluktuasi,” tutupnya.(*)