KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia bersikeras diri akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025 mendatang.
Menteri Koordinator Airlangga Hartarto beralasan, rencana menaikkan tarif PPN ini berdasarkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
"Di Undang Undang sudah dijelaskan, kecuali ada hal yg terkait dengan UU, jadi kita monitor saja catatan di nota keuangan,” ucap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di kantornya di Jakarta, Kamis, 8 Agustus 2024.
Dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan pasal 7 disebutkan bahwa tarif PPN yaitu sebesar 11 persen yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022. Sedangkan tarif PPN sebesar 12 persen mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Airlangga mengatakan penetapan lebih rinci terkait tarif PPN akan disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat membaca pidato nota keuangan di DPR pada 16 Agustus 2024. Kebijakan tersebut dijalankan oleh pemerintahan periode berikutnya yang dipimpin presiden terpilih Prabowo Subanto.
“Kita dengar saja di nota keuangan,” ujar Airlangga Hartarto.
Sebelumnya, Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Raden Pardede menilai elastisitas dari kenaikan 1 persen tarif PPN terhadap konsumsi tidak terlampau besar. Dengan penerimaan negara yang diterima dari kenaikan tarif tersebut diharapkan akan dibelanjakan untuk masyarakat menengah ke bawah.
“Jadi dampaknya konsumsi tidak terlalu besar. Harapan kita dengan pemerintah dapat income dari situ dia akan kembalikan ke rakyat,” terang Raden.
Menurut dia, upaya menaikkan tarif tersebut harus dijalankan dengan perhitungan waktu yang matang. Bila melihat pengalaman kenaikan tarif PPN dari 10 persen ke 11 persen tidak memberikan dampak besar ke konsumsi rumah tangga. Selama pemerintah tetap membelanjakan uang yang dia peroleh dengan baik dan digunakan untuk kepentingan rakyat.
"Pertanyaannya akan dikembalikan ke mana? kalau pemerintah mengembalikan ke masyarakat berpendapatan menengah maka dampak kenaikan PPN akan kecil. Namun, kalau di keep oleh pemerintah ini menjadi persoalan," pungkas dia.
Daya Beli Masyarakat akan Turun
Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APBBI) berharap wacana kenaikan PPN sebesar 12 persen pada 2025 ditunda karena hal ini bisa membuat daya beli masyarakat menurun.
Ketua Umum APPBI, Alphonzus Widjaja mengatakan kenaikan PPN bisa berdampak ke harga jual. Alhasil, dalam hal ini yang paling terkenal efeknya adalah masyarakat menengah ke bawah.
"Kami berharap ini (Kenaikan PPN) ditunda karena kenaikan PPN ini pasti akan berdampak ke harga jual, kalau harga jual naik, yang paling berdampak adalah kelas menengah ke bawah," ujar dia kepada media di Gedung Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa, 30 Juli 2024.
Dengan terdampaknya kalangan menengah ke bawah, Alphonzus berpandangan bahwa ini akan berimbas pada menurunnya daya beli masyarakat.
Tak hanya PPN, Alphonzus juga berharap pemerintah untuk menunda asuransi wajib third party liability (TPL) untuk kendaraan. Senada dengan sebelumnya, ia menyebut kebijakan ini akan menurunkan daya beli masyarakat menengah ke bawah.
Alphonzus paham betul pemerintah perlu pendapatan negara. Namun, kata dia, caranya bukan dengan menaikan tarif.
Di sisi lain, dia pun mengapresiasi pemerintah terkait penurunan pajak daerah di sektor seperti wahana permainan anak hingga hiburan. Menurutnya, hal ini meningkatkan transaksi pelaku usaha.
“Kami apresiasi pemerintah ada beberapa pajak daerah yang diturunkan misalnya wahana permainan anak dan hiburan, yang biasa dari 25 persen sekarang turun maksimal 10 persen. Ternyata ini meningkatkan transaksi banyak pelaku usaha baru yang berbisnis ke wahana permainan anak sehingga transaksinya berlipat,” ujar dia.
Sementara itu, Ekonom senior Faisal Basri menekankan bahwa rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 perlu ditunda. Meski diakuinya, penundaan tersebut bisa menyebabkan defisit APBN semakin besar.
Meski begitu, kata Faisal Basri, penundaan tetap dilakukan untuk meringankan beban masyarakat.
Faisal menekankan bahwa pemerintah sebaiknya mencari cara lain untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani rakyat.
"Saya kira penundaan ini wajib dilakukan, meskipun ada risiko defisit yang makin melebar," kata Faisal Basri di Gedung DPR RI, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 10 Juli 2024.
Ia menilai bahwa kenaikan PPN adalah langkah cepat pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara, namun belum memaksimalkan potensi penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
"PPN memang yang paling mudah diterapkan, berbeda dengan PPh yang sering kali dihindari," ujarnya.
Faisal juga mempertanyakan prioritas pemerintah dalam hal perpajakan. Menurutnya, pemerintah cenderung memberikan banyak insentif kepada korporasi besar dan masyarakat kelas atas, sementara beban kenaikan PPN justru dibebankan kepada seluruh rakyat.
"Banyak subsidi yang diberikan, seperti untuk mobil listrik yang mencapai Rp40 juta per mobil. Tetapi PPN yang berdampak pada semua lapisan masyarakat malah dinaikkan. Dimana rasa keadilannya?" tegas Faisal.
Dia menegaskan bahwa kenaikan PPN akan berdampak langsung pada seluruh masyarakat, dan mempertanyakan prinsip keadilan pemerintah dalam kebijakan perpajakan.
"Demi investasi, pemerintah seakan menutup dan gelap mata," tukasnya. (*)