KABARBURSA.COM - Di awal masa jabatannya pada periode pertama, 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan percaya diri menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7 persen. Bagaimana realisasinya?
"Kita hitung, kapan kita bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen, kami optimistis. Pak JK (Jusuf Kalla, Wakil Presiden saat itu) ngomong tiga tahun, dan saya juga ngomong tiga tahun," kata Jokowi pada akhir September 2014.
Kini, di akhir masa jabatannya di periode ke dua atau 10 tahun, ternyata pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sesuai yang diucapkan Jokowi. Faktanya pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 5 persen.
Berikut ulasan singkat kondisi perekonomian Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi selama 10 tahun, tepatnya dari 2014 hingga 2024.
Pada 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,79 persen, turun dari 5,02 persen di tahun sebelumnya.
Di rentang waktu 2016-2018, perekonomian Indonesia sempat mengalami peningkatan sedikit, yaitu 5,03 persen (2016), dan kembali meningkat di tahun 2017 menjadi 5,07 persen. Dan, kembali nai pada 2018, yakni 5,17 persen.
Di tahun 2019, bertepatan dengan Pemilu dan Pilpres, ekonomi Indonesia mengalami perlambatan menjadi 5,02 persen.
Memasuki periode kedua dirinya menjabat sebagai Presiden RI, tahun 2020 seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia, didera pandemi COVID-19, sehingga berdampak pada perekonomian Indonesia.
Saat itu, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi -2,07 persen.
Setahun kemudian, 2020, pemerintahan Jokowi berhasil mengangkat kembali perekonomian Indonesia ke angka 3,9 persen. Dan, di tahun 2022 kembali tumbuh hingga 5,31 persen.
Namun, kondisi perekonomian kembali mengalami kemunduran. Pada 2023 pertumbuhan melambat alias turun ke angka 5,05 persen.
Di tahun terakhir pemerintahannya, 2024, Jokowi memasang target di kisaran 5,1 hingga 5,2 persen, di bawah pertumbuhan tahun 2022.
Secara totalnya selama 10 tahun Jokowi sebagai presiden, rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,23 persen, jauh dari target yang disesumbarkan pada 2014.
Menanggapi itu, Andry Satrio Nugroho, Center of Industry, Trade, and Investment, INDEF, Andry Satrio Nugroho mengatakan beberapa faktor yang membuat suatu pemerintah dapat atau tidaknya mencapai target pertumbuhan ekonomi karena tata kelola pemerintahan.
Menurut dia, kabinet yang didukung oleh koalisi yang besar, memang menguntungkan bagi Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk memperlancar program-programnya. Tetapi itu juga merupakan indikasi lumpuhnya check and balances di parlemen.
"Back sliding democracy (kemunduran demokrasi) antara lain tercipta dari tiadanya resistensi parlemen terhadap segala kebijakan eksekutif," kata Andry kepada Kabar Bursa, Selasa, 2 September 2024.
Dia menegaskan, koalisi yang besar tidak dapat dijadikan jaminan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Bahkan, kata Andry, tata kelola pemerintahan Indonesia selama kepemimpinan Jokowi jika dibandingkan dengan negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) lainnya berada di ranking kedua terendah. Padahal, Jokowi memiliki bekal untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena didukung koalisi besar.
Menurut Andry, efektivitas pemerintahan secara signifikan memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
"Minimnya efektivitas tata kelola pemerintahan yang berdampak terhadap capaian target pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, susunan kabinet akan menjadi cerminan seberapa efektif pemerintahanakan dijalankan," tandasnya.
Pandangan IMF
Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tergolong baik di tengah ketidakstabilan global.
Dalam laporan terbarunya, IMF menilai kebijakan fiskal dan moneter Indonesia telah memberikan dasar bagi stabilitas makro dan manfaat sosial.
"Pertumbuhan Indonesia tetap kuat meski ada hambatan eksternal, inflasi rendah, tapi masih terkendali dengan baik, sektor keuangan tangguh, serta kebijakan umumnya sudah diambil secara teliti dan diarahkan untuk jadi penyangga," tulis laporan IMF, dikutip.
Namun, IMF juga menyoroti rendahnya rasio pajak Indonesia, yang hanya berkisar antara 8 hingga 10 persen, tertinggal jauh dari negara berkembang lainnya. Mereka merekomendasikan reformasi perpajakan, termasuk pengenalan cukai BBM untuk meningkatkan penerimaan negara.
Oleh sebab itu, IMF menyarankan agar pemerintah menutup celah dalam administrasi perpajakan yang telah lama menjadi masalah, guna mengoptimalkan pendapatan negara.
Bahkan, IMF menyarankan agar pemerintah tidak ragu untuk memperkenalkan cukai baru pada bahan bakar minyak (BBM).
Menurut IMF, penerapan cukai ini bukan hanya sekadar ide, tapi berpotensi menambah penerimaan negara hingga 0,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Pertumbuhan Ekonomi RI Kalah dari Malaysia
Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan masyarakat tidak perlu khawatir dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2024 yang melambat menjadi 5,05 persen. Menurut dia, angka ini masih lebih baik dibandingkan beberapa negara maju.
Airlangga menyebut bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi lebih rendah secara tahunan dan kuartalan, tetap lebih baik dibandingkan dengan China, Korea Selatan (Korsel), Singapura, dan beberapa negara maju lainnya yang pertumbuhan ekonominya mengalami pelemahan.
"Ini dibandingkan dengan China, kita masih lebih tinggi. China 4,7 persen, sementara Singapura sendiri 2,9 persen. Kemudian Korea Selatan 2,3 persen, dan Meksiko kira-kira 2,24 persen," kata Airlangga dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin, 5 Agustus 2024.
Namun, kinerja ekonomi Indonesia pada kuartal II 2024 tertinggal dari Vietnam yang melonjak hingga 6,93 persen dan Malaysia yang mencatatkan 5,8 persen.
Bahkan, kedua negara tetangga di kawasan Asia Tenggara tersebut, mencatatkan kenaikan yang pesat dari tahun sebelumnya, kuartal II-2023.
Menanggapi itu, Airlangga berpendapat, terjadinya pelemahan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia disebabkan ketidakpastian ekonomi global sehingga menekan laju pertumbuhan ekonomi di banyak negara di dunia. Namun, dia optimistis dengan dukungan berbagai komponen positif seperti konsumsi rumah tangga dan inflasi yang terkendali, ekonomi Indonesia tetap dalam kondisi baik.
"Inflasi tetap terkendali yaitu sebesar 2,13 persen," ujarnya.
Di kesempatan berbeda, Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS), Moh Edy Mahmud mengatakan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2024 mengalami pertumbuhan sebesar 5,05 persen secara year on year (yoy). Capaian ini lebih rendah dibandingkan kuartal I-2024 yang mencapai 5,11 persen dan kuartal II-2023 yang mencapai 5,17 persen.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2024 bila dibandingkan dengan triwulan II-2023 atau secara year on year (yoy) tumbuh sebesar 5,05 persen. Bila dibandingkan dengan triwulan I-2024 atau secara Q to Q tumbuh sebesar 3,79 persen," kata Edy dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 5 Agustus 2024.
Sementara, dari sisi lapangan usaha, pada triwulan II-2024 seluruh lapangan usaha tumbuh positif secara tahunan. Lapangan usaha utama yang memberikan kontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) yaitu industri pengolahan, pertanian, perdagangan, konstruksi dan pertambangan.
"Total kelima lapangan usaha tersebut sekitar 63,70 persen dari PDB. Lapangan usaha dengan pertumbuhan tertinggi adalah akomodasi dan makan minum yang tumbuh 10,17 persen didorong oleh adanya event yang berskala nasional maupun skala internasional,” beber Edy.
Dari sisi pengeluaran, pada triwulan II-2024 seluruh komponen juga mengalami pertumbuhan positif. Komponen pengeluaran yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB adalah konsumsi rumah tangga dengan kontribusi sebesar 54,53 persen.
Pada kuartal II-2024, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,93 persen yoy. Hal ini, kata Edy, mengindikasikan masih kuatnya permintaan domestik dan daya beli masyarakat.
"Konsumsi rumah tangga terus tumbuh didorong oleh perayaan hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, Waisak, kenaikan Isa Almasih, serta Idul Adha. Kemudian didorong oleh peningkatan mobilitas masyarakat selama periode libur hari besar keagamaan dan libur sekolah," beber Edy.
Edy menyebut komponen pengeluaran yang tumbuh tertinggi pada kuartal II-2024 adalah konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT), tumbuh 9,98 persen.
Ekspor impor juga tumbuh signifikan dengan peningkatan 8-an persen dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh 4,43 persen.
"Peningkatan ekspor didorong oleh kenaikan nilai dan volume ekspor non migas dan migas, sedangkan peningkatan impor didorong oleh kenaikan impor bahan baku dan penolong," imbuh Edy.
Ekspor Makanan dan Minuman Tembus Rp237 Triliun
Sementara itu, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyebut ekspor sektor makanan dan minuman Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan. Kenaikan itu, kata Agus Gumiwang, berperan menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kenaikan nilai ekspor ini terlihat dari kontribusinya di triwulan I-2024 yang mencapai 39,91 persen terhadap PDB industri nonmigas, dan 6,97 persen terhadap PDB nasional.
Agus Gumiwang menyebut pada triwulan I-2024, industri makanan dan minuman tumbuh 5,87 persen (year on year/yoy).
Di sisi ekspor nilainya mencapai USD14,73 miliar atau sekitar Rp237,15 triliun (kurs Rp16.100) pada periode Januari-Mei 2024, sementara impor sebesar USD7,27 miliar.
“Sehingga tren surplus dari sektor industri makanan dan minuman masih melanjutkan. Surplus neraca dagang dari sektor ini sebesar USD7,46 miliar,” katanya dalam Business Matching dan Pameran Produk Artisan Indonesia di kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jakarta Selatan, Senin, 5 Agustus 2024
Tak hanya itu, investasi di sektor ini juga mengalami pertumbuhan dan diminati oleh investor. Ini terlihat dari perkembangan realisasi investasi yang mencapai Rp26,08 triliun pada triwulan I-2024.
Agus menyebut Indonesia dikaruniai keragaman sumber daya hayati melimpah seperti kopi, teh, buah, dan kakao. Saat ini potensi tersebut telah dikembangkan oleh industri pengolahan dalam negeri dengan meningkatkan nilai tambah berorientasi ekspor.
Untuk diketahui, Indonesia merupakan produsen produk olahan kakao keempat terbesar di dunia. Selain itu Indonesia berada di peringkat ketujuh di dunia sebagai produsen biji kakao terbesar.
Pada 2023, sektor ini mampu menyumbang devisa dengan nilai ekspor lebih dari USD1 miliar. Selain itu, 78 persen atau 300.287 ton dari total volume produksi industri pengolahan kakao diekspor ke 96 negara, seperti Amerika Serikat (AS), India, China, Estonia, dan Malaysia.
Agus mencatat, ekspor produk olahan teh pada 2023 mencapai 37.878 ton atau senilai USD74,12 juta. Sementara industri pengolahan buah disebutnya cukup potensial, dengan volume ekspor olahan hasil hortikultura mencapai 328 juta ton atau setara USD449 juta pada 2023.
Produksi pengolahan kopi di Indonesia mencapai 426,5 ribu ton pada 2023 dengan nilai ekspor 97,3 ribu ton. Hal ini menjadikan Indonesia di posisi keempat penghasil kopi terbesar di dunia, di bawah Brasil (2,68 juta ton per tahun), Vietnam (1,5 juta ton per tahun), dan Kolombia (760 ribu ton per tahun).
“Meskipun demikian, variasi kopi Indonesia paling banyak di antara negara-negara lainnya. Ini bisa menjadi modal utama untuk pengembangan produk dari banyaknya varietas kopi Indonesia tersebut di masa yang akan datang,” imbuh Agus.
Apalagi, kata dia, saat ini minat masyarakat terhadap kopi berkembang pesat yang ditandai dengan tumbuhnya jumlah kedai kopi secara masif.
Industri lainnya adalah pengolahan susu, dengan produk yang sedang berkembang di pasar mencakup keju dan yogurt.
Nilai ekspor produk susu meningkat sekitar 37 persen menjadi dari USD7,8 juta pada tahun 2021 menjadi USD10,7 juta pada 2023. Untuk produk yogurt, nilai ekspor pada tahun 2021 mencapai USD20 juta dan meningkat jadi USD23,1 juta atau 15 persen pada 2023.
"Namun demikian, kedua nilai ekspor ini masih sangat kecil, dibandingkan negara tetangga, Selandia Baru, yang mengekspor produk susu hingga USD904,20 juta sehingga menguasai 8,2 persen pangsa pasar susu dunia," ungkapnya.
Agus Gumiwang berharap ke depannya akan tercipta lebih banyak lagi kolaborasi antara pelaku usaha produk speciality Indonesia dengan pelaku bisnis pengguna seperti hotel, restaurant, dan retailers internasional sehingga brand image produk speciality Indonesia dapat semakin mendunia,” pungkasnya. (*)