KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada bulan Maret 2024, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,22 juta orang atau 9,03 persen dari total penduduk.
Meskipun demikian, terjadi penurunan sebesar 0,33 persen dari angka pada Maret 2023.
"Pada Maret 2024, persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 9,03 persen atau sekitar 25,22 juta orang,” kata Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Utama BPS, Imam Machdi, dalam konferensi pers, Senin, 1 Juli 2024.
“Terjadi penurunan dari Maret 2023, di mana persentase ini turun sebesar 0,33 persen atau 0,68 juta orang,” sambung Imam.
Menurut Machdi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan angka kemiskinan, sala satunya adalah kenaikan harga komoditas pangan yang mempengaruhi tingkat pengeluaran masyarakat.
Selama periode Maret 2023 hingga 2024, tercatat kenaikan signifikan pada harga beras, telur ayam ras, dan cabai merah.
Selain itu, Machdi menyoroti disparitas antara tingkat kemiskinan di pedesaan dan perkotaan.
Pada Maret 2024, tingkat kemiskinan di pedesaan mencapai 11,79 persen, sedangkan di perkotaan sebesar 7,09 persen. Penurunan kemiskinan di pedesaan lebih besar dibandingkan dengan perkotaan selama periode tersebut.
Machdi juga memaparkan bahwa indeks kedalaman kemiskinan pada Maret 2024 mengalami penurunan menjadi 1,461 persen, sedangkan keparahan kemiskinan turun menjadi 0,347 persen dibandingkan dengan Maret 2023.
Secara regional, tingkat kemiskinan masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera, meskipun terjadi penurunan yang merata di seluruh pulau Indonesia.
Provinsi-provinsi seperti Bali dan Nusa Tenggara mencatat penurunan tingkat kemiskinan yang signifikan dari Maret 2023 hingga Maret 2024.
“Secara keseluruhan, meskipun terdapat penurunan dalam tingkat kemiskinan nasional, tantangan tetap ada dalam upaya mengurangi disparitas antara pedesaan dan perkotaan serta memitigasi dampak kenaikan harga komoditas pangan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat,” terang Machdi.
Rupiah Melemah, Kemiskinan Meningkat
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami pelemahan. Kondisi ini diyakini bisa membuat angka kemiskinan di dalam negeri meningkat.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda. Dia juga mengatakan inflasi di Indonesia akan naik signifikan akibat pembelahan rupiah terhadap dolar AS.
"Inflasi dalam negeri akan naik signifikan. Daya beli tertekan, pertumbuhan ekonomi terhambat. Kemiskinan akan semakin meningkat,” ujarnya kepada Kabar Bursa, Senin 17 Juni 2024.
Huda menyampaikan dampak pelemahan rupiah juga dinilai memberatkan masyarakat yang memerlukan bahan baku impor karena harga mengalami kenaikan.
“Rakyat menanggung barang-barang terutama yang dari luar ataupun memerlukan bahan baku impor akan cenderung lebih mahal,” katanya.
Selain itu, Huda memperkirakan harga BBM (bahan bakar minyak) akan dikorbankan. Di sisi lain, dia juga menyebut untuk belanja subsidi BBM akan membengkak dengan pelemahan rupiah ini.
“Ini yang mengkhawatirkan, di sisi lain tidak gampang untuk memangkas subsidi BBM,” ujarnya.
Huda kemudian membeberkan faktor yang membuat dolar AS semakin perkasa terhadap Rupiah. Menurut dia faktor eksternal dan internal berpengaruh signifikan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Dari eksternal, the Fed rate masih sangat perkasa dan rezim suku bunga tinggi masih belum berakhir. Permintaan dolar akhirnya meningkat, rupiah melemah,” ujarnya.
Huda menilai pasar juga masih melihat peluang untuk the Fed turun semakin kecil. Dia pun memprediksi the Fed hanya menurunkan suku bunganya satu kali.
Selain itu, Huda memperkirakan harga BBM (bahan bakar minyak) akan dikorbankan. Di sisi lain, dia juga menyebut untuk belanja subsidi BBM akan membengkak dengan pelemahan rupiah ini.
“Ini yang mengkhawatirkan, di sisi lain tidak gampang untuk memangkas subsidi BBM,” tandasnya.
Huda kemudian membeberkan faktor yang membuat Dolar AS semakin perkasa terhadap Rupiah. Menurut dia faktor eksternal dan internal berpengaruh signifikan terhadap nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS.
“Dari eksternal, the Fed rate masih sangat perkasa dan rezim suku bunga tinggi masih belum berakhir. Permintaan dolar akhirnya meningkat, rupiah melemah,” ujarnya.
Huda menilai pasar juga masih melihat peluang untuk the Fed turun semakin kecil. Dia pun memprediksi the Fed hanya menurunkan suku bunganya satu kali.
“The Fed kemungkinan hanya menurunkan suku bunganya sekali. Pasar masih melihat inflasi di US masih tinggi. Tidak memungkinkan untuk menurunkan suku bunga secara eksponensial,” jelasnya.
Untuk faktor internal, Huda melihat fundamental ekonomi Indonesia saat ini tidak begitu kuat meskipun inflasi cukup terkendali dan pertumbuhan ekonomi di angka sekitar lima persen. Namun begitu dia memandang pasar tidak bereaksi positif.
“Kemudian, pasar malah melihat kenaikan hutang secara ugal-ugalan akan membuat kemampuan fiskal jadi terbatas,” ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, berdasarkan data RTI pada Jumat, 14 Juni 2024, rupiah tertekan dolar AS hingga menyentuh menyentuh level Rp16.400. Namun pada akhirnya Rupiah bercokol di level Rp16.394 di akhir perdagangan.
Walaupun nilai tukar Rupiah telah mendekati Rp16.400, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, menilai bahwa pelemahan Rupiah masih tergolong rendah dibandingkan dengan mata uang negara lain. Depresiasi Rupiah terhadap Dolar AS masih lebih kecil dibandingkan dengan mata uang negara lain seperti Won Korea Selatan, Peso Filipina, Baht Thailand, dan Yen Jepang.
“Nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS, yang mencapai Rp16.300 ini, jika dibandingkan dengan akhir tahun lalu dan mata uang negara lain masih lebih rendah. Depresiasi kita termasuk yang paling rendah dibandingkan dengan Won Korea Selatan, Peso Filipina, Baht Thailand, dan Yen Jepang,” kata Perry di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat, 14 Juni 2024.
Dia menekankan bahwa rupiah masih merupakan mata uang yang stabil karena Bank Indonesia terus melakukan langkah-langkah stabilisasi, seperti intervensi pasar, menarik portofolio asing ke dalam negeri, serta memastikan devisa hasil ekspor (DHE) dari sumber daya alam (SDA) dikelola dengan baik.
Penguatan dolar AS yang terus berlanjut ini memberikan tantangan tambahan bagi perekonomian Indonesia. Pemerintah dan Bank Indonesia terus bekerja sama untuk menjaga stabilitas ekonomi dengan berbagai kebijakan moneter dan fiskal. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan memperkuat cadangan devisa dan mendorong ekspor non-migas.
Selain itu, pemerintah juga terus berupaya meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia di pasar global. Diversifikasi ekspor ke berbagai negara tujuan menjadi fokus utama untuk mengurangi ketergantungan pada beberapa pasar tertentu. Upaya ini diharapkan dapat membantu memperkuat nilai tukar Rupiah dalam jangka panjang. (*)